KUPI BEUNGOH
Tata Kelola dan Sistem Akuntansi Masa Sultan Iskandar Muda dalam Perspektif Good Governance Modern
Refleksi Tata Kelola dan Sistem Akuntansi Pemerintahan Masa Sultan Iskandar Muda dalam Perspektif Good Governance Modern”
Refleksi Hari Pahlawan 10 November 2025
Oleh: Tuanku Warul Waliddin, S.E, Ak*)
Di tengah derasnya arus modernisasi dan digitalisasi keuangan negara, menarik jika kita menoleh
ke masa lalu — khususnya ke masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607–1636).
Dalam berbagai catatan sejarah, Iskandar Muda dikenal bukan hanya sebagai panglima perang yang gagah, tetapi juga sebagai arsitek pemerintahan yang visioner, dengan sistem tata kelola dan pengelolaan keuangan kerajaan yang teratur, berwibawa, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Sebagaimana tersirat dalam naskah-naskah sejarah dan sumber tertulis klasik, Kesultanan Aceh pada masa Iskandar Muda merupakan kerajaan maritim yang maju, dengan struktur birokrasi pemerintahan dan keuangan yang mencerminkan bentuk awal dari apa yang kini kita sebut sebagai “akuntansi sektor publik”.
Sentralisasi dan Hierarki Tata Kelola Pemerintahan Iskandar Muda membangun pemerintahan yang terpusat namun berjenjang.
Baca juga: Peran Besar Ulama Aceh, dari Masa Sultan Iskandar Muda
Sultan bertindak sebagai otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan fiskal dan politik.
Di bawahnya, terdapat jaringan pejabat kerajaan seperti Uleebalang (kepala wilayah), Syahbandar (kepala pelabuhan), Orang Kaya (bangsawan ekonomi), dan Qadhi (hakim).
Struktur ini bukan sekadar simbol kekuasaan, tetapi merupakan sistem manajerial yang memastikan arus informasi, pelaporan, dan pertanggungjawaban berjalan secara vertikal.
Setiap pejabat memiliki kewajiban administratif untuk melaporkan hasil pengelolaan wilayahnya
— baik berupa hasil bumi, pajak, maupun pendapatan perdagangan — kepada pusat kerajaan.
Hal ini menandakan adanya bentuk pencatatan dan pelaporan fiskal tradisional yang berfungsi mirip
seperti sistem pembukuan keuangan publik saat ini.
Dalam konteks kekinian, pola tersebut sejalan dengan prinsip centralized treasury atau kas umum negara yang menjadi dasar sistem akuntansi pemerintahan modern.
Sumber Pendapatan Kerajaan: Fondasi Sistem Akuntansi Tradisional
Dalam naskah-naskah sejarah Aceh yang diabadikan oleh para penulis kolonial dan peneliti lokal,
seperti Denys Lombard dan A. Hasjmy, dijelaskan bahwa Sultan Iskandar Muda mengatur sumber
pendapatan kerajaan secara sistematis.
Pendapatan Kesultanan Aceh pada masa itu terbagi menjadi tiga kategori besar:
1. Pendapatan dari Tanah (Land Revenue)
Tanah di Aceh pada masa itu merupakan aset strategis kerajaan. Petani yang mengolah tanah kerajaan wajib menyerahkan sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak atau bajeh.
Di samping itu, Sultan memiliki tanah-tanah khusus (tanah wakaf kerajaan dan tanah hasil rampasan perang) yang hasilnya disetorkan langsung ke perbendaharaan istana.
Sistem ini memperlihatkan kesadaran ekonomi yang kuat terhadap fungsi redistributif tanah, sekaligus menjadi bentuk awal akuntansi pertanian di dunia Melayu-Nusantara.
2. Pendapatan dari Laut (Maritime Revenue)
Sebagai kerajaan maritim, Aceh memperoleh pendapatan besar dari aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Setiap kapal asing yang berlabuh di pelabuhan Aceh diwajibkan membayar bea masuk (custom duties).
Syahbandar berperan penting sebagai pejabat pengelola pelabuhan, mencatat arus barang dan pungutan dagang.
Catatan Syahbandar berfungsi layaknya ledger atau buku kas — mencatat siapa yang berdagang, berapa jumlah barang, dan berapa besar pajak yang diterima kerajaan.
Ini menjadi bentuk awal dari akuntansi perdagangan internasional yang tertata.
3. Pendapatan dalam Negeri (Domestic Revenue)
Sultan juga memperoleh pemasukan dari pasar-pasar lokal, hasil tambang, dan perdagangan dalam negeri.
Pasar di bawah pengawasan langsung pejabat kerajaan berfungsi bukan hanya sebagai pusat ekonomi, tetapi juga sarana kontrol fiskal.
Setiap aktivitas jual beli dikenai retribusi kecil yang kemudian dikumpulkan dan disetorkan secara periodik ke istana.
Ketiga sistem ini menunjukkan bahwa pemerintahan Sultan Iskandar Muda telah mengenal konsep klasifikasi pendapatan publik — sesuatu yang dalam akuntansi modern dikenal sebagai revenue classification by source.
Transparansi dan Akuntabilitas Berbasis Moral
Meskipun belum mengenal laporan keuangan formal seperti Budget Realization Report atau Balance Sheet, tata kelola pada masa Iskandar Muda berlandaskan pada akuntabilitas sosial dan moral.
Pejabat kerajaan yang bertugas memungut pajak, hasil bumi, atau bea dagang wajib mempertanggungjawabkan hasilnya langsung kepada Sultan dalam sidang istana.
Pengawasan dilakukan melalui jalur moralitas, keagamaan, dan reputasi sosial, bukan melalui sistem audit
tertulis seperti sekarang.
Hal ini mencerminkan bahwa transparansi dan akuntabilitas pada masa lalu dibangun dari nilainilai kejujuran dan loyalitas, bukan sekadar prosedur administratif.
Dalam konteks saat ini, nilai tersebut dapat menjadi cermin untuk memperkuat kembali dimensi etika dalam pengelolaan keuangan publik Indonesia.
Baca juga: Nasib Miris Wanita Jatim, Dijanjikan Pekerjaan Oleh Warga Aceh Jaya, Malah Terlantar 2 Tahun di Aceh
Relevansi bagi Tata Kelola Pemerintahan Modern Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan Sultan Iskandar Muda ternyata masih relevan dengan tata kelola pemerintahan modern:
• Sentralisasi fiskal dengan desentralisasi pelaksana.
Sultan memusatkan kekuasaan keuangan di istana, namun memberi wewenang kepada pejabat daerah untuk mengelola sumber daya lokal — konsep yang sejalan dengan fiscal decentralization.
• Akuntabilitas vertikal dan moral.
Pejabat wajib melapor langsung kepada Sultan; hari ini, konsep itu hidup dalam bentuk pelaporan pertanggungjawaban keuangan daerah ke pemerintah pusat dan DPR.
• Pencatatan berbasis kas (cash basis).
Penerimaan dicatat saat diterima dan pengeluaran saat dibayarkan — sama seperti sistem akuntansi pemerintahan yang digunakan sebelum reformasi 2003 menuju basis akrual.
• Peran Syahbandar sebagai auditor ekonomi.
Syahbandar memastikan semua aktivitas perdagangan terekam dan sesuai dengan ketentuan kerajaan.
Dalam konteks modern, fungsi ini mirip dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Meneladani Spirit Iskandar Muda dalam Reformasi Keuangan Daerah
Jika ditarik ke masa kini, Aceh dan berbagai daerah di Indonesia tengah berjuang untuk mewujudkan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas dalam tata kelola keuangan publik.
Tantangan utama kita bukan hanya pada sistem digital atau regulasi, tetapi pada integritas dan kepemimpinan moral, sebagaimana yang dicontohkan Sultan Iskandar Muda empat abad lalu.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VIII) - Al Mukammil: Soft Power dan Dansa Diplomasi
Sultan Iskandar Muda menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa kontrol akan menimbulkan keserakahan, tetapi kontrol tanpa kepercayaan akan mematikan semangat pengabdian.
Oleh karena itu, sistem akuntansi dan tata kelola keuangan yang baik tidak hanya bergantung pada teknologi,
melainkan juga pada nilai moral dan rasa tanggung jawab terhadap amanah publik.
Penutup
Belajar dari masa Sultan Iskandar Muda berarti mengakui bahwa sejarah bukan sekadar catatan
masa lalu, tetapi sumber inspirasi untuk masa depan.
Ketika dunia modern berbicara tentang good governance, transparency, dan accountability, Aceh telah mempraktikkannya dalam bentuk yang sesuai dengan zamannya 389 Tahun silam.
Belajar dari sejarah bukanlah sekadar mengenang kejayaan, tetapi menggali nilai-nilai tata kelola
yang relevan untuk masa kini.
Pemerintahan Sultan Iskandar Muda menunjukkan bahwa akuntabilitas dan integritas bukan produk modernitas, melainkan bagian dari tradisi politik dan spiritual Nusantara.
Di tengah tantangan transparansi keuangan daerah dan pengawasan publik yang masih lemah,
warisan tata kelola Kesultanan Aceh bisa menjadi inspirasi.
Baca juga: Mengenang Kembali Masa Kejayaan Sultan Iskandar Muda
Bahwa pemerintahan yang kuat adalah yang mengatur, mengelola, dan mempertanggungjawabkan sumber daya publik dengan rasa tanggung jawab—baik di hadapan rakyat, maupun di hadapan Tuhan.
Kini, tugas kita adalah melanjutkan semangat itu — membangun sistem akuntansi pemerintahan
yang tidak hanya akurat dalam angka, tetapi juga jujur dalam niat dan luhur dalam tujuan.
Selamat Hari Pahlawan 10 November 2025, Sultan Iskandar Muda, bukan sekedar Pahlawan, namun inspirator kita semua.
*) PENULIS adalah Mahasiswa Magister Akuntansi Sektor Publik FEB USK
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Tuanku-Warul-Waliddin_20251109.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.