Kupi Beungoh
Menanggapi Ejekan Benny K Harman terhadap Perdamaian Aceh dan Kata Helsinki
Perdamaian adalah hasil dari ikhtiar panjang, perundingan melelahkan, dan kompromi yang menuntut kerendahan hati dari kedua pihak.
*) Tgk. Mukhsin, MA
PERNYATAAN Benny K Harman yang mengolok-olok perdamaian Aceh dengan mempermainkan kata Helsinki adalah tindakan yang tidak hanya menyinggung perasaan masyarakat Aceh, tetapi juga menunjukkan ketidaktahuan mendasar terhadap sejarah, pengorbanan, dan luka panjang yang dialami oleh rakyat Aceh.
Helsinki bukan sekadar nama kota.
Ia adalah saksi bisu dari babak baru yang mengakhiri puluhan tahun konflik bersenjata di Aceh.
Di sanalah rasa sakit dipertemukan dengan harapan, di sana pula jalan pulang dibuka bagi ribuan keluarga yang terpisah oleh perang.
Mengolok-olok Helsinki sama halnya dengan meremehkan ribuan nyawa yang hilang syuhada, warga sipil, ulama, perempuan, dan anak-anak yang tidak pernah sempat menikmati indahnya kedamaian yang kita rasakan sekarang.
Ketika Beny dengan mudahnya menjadikan perdamaian Aceh sebagai bahan candaan, hal itu menunjukkan betapa dangkalnya pemahamannya terhadap nilai sejarah dan kemanusiaan.
Ia mungkin tidak pernah merasakan bagaimana dentuman senjata memisahkan anak dari orang tua, bagaimana suasana duka mengelilingi desa-desa, atau bagaimana air mata ibu Aceh mengiringi jenazah para pejuang.
Sebab kalau ia pernah menyaksikan itu, tentu ia tidak akan berani mempermainkan perdamaian seolah itu sesuatu yang remeh.
Perdamaian Aceh bukan hadiah. Bukan pula hasil transaksi politik.
Perdamaian adalah hasil dari ikhtiar panjang, perundingan melelahkan, dan kompromi yang menuntut kerendahan hati dari kedua pihak.
Para tokoh Aceh pergi ke Helsinki bukan untuk jalan-jalan, tetapi untuk mempertaruhkan martabat bangsa Aceh di meja dunia.
Mereka berangkat dengan tekad, dan pulang dengan harapan harapan yang kini dinikmati oleh seluruh masyarakat Aceh tanpa memandang warna politik.
Dengan demikian, ketika seseorang seperti Beny mencoba mempermainkan kata Helsinki, ia sebenarnya sedang memperlihatkan kualitas dirinya sendiri: kekerdilan berpikir, ketidakpekaan pada sejarah, dan miskinnya adab dalam memahami derita sebuah bangsa.
Helsinki bukan bahan ejekan. Helsinki adalah tonggak peradaban bagi Aceh.
Ia adalah tanda bahwa Aceh memilih jalan damai setelah melewati badai panjang.
Orang boleh berbeda pendapat tentang pelaksanaan MoU, tentang politik, atau tentang tokoh tertentu.
Tetapi menghina simbol perdamaian adalah garis merah yang tidak seharusnya dilewati.
Saya ingin mengingatkan Benny K Harman satu hal yang sangat sederhana namun fundamental: Aceh telah membayar sangat mahal untuk berdamai.
Lebih mahal dari apa pun yang mungkin Anda pahami.
Karena itu, berhentilah menjadikan Helsinki bahan olokan.
Hargailah pengorbanan orang-orang yang sudah pergi, hormatilah air mata keluarga yang telah lama menunggu kepastian, dan sadarlah bahwa perdamaian yang Anda nikmati hari ini bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi hasil dari penderitaan panjang yang tak terbayangkan.
Menghina perdamaian Aceh adalah menghina kemanusiaan. Dan itu bukan tindakan orang beradab.(*)
*) PENULIS adalah Dosen Ma'had Aly Darussalam
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
| Jauhi Zina dan LGBT: Karena Itu Merusak Diri, Keturunan, Agama, Nusa dan bangsa |
|
|---|
| Komunikasi Damai Dalam Konteks Aceh dan Era Digital |
|
|---|
| Empat Mesin Produktivitas Aceh: Lahan, Tenaga Kerja, Modal, hingga Jiwa Wirausaha |
|
|---|
| Syarifah Aceh: Dari Benteng Seuneulop ke Kampus Gadjah Mada |
|
|---|
| Ambiguitas dalam Merayakan Kemenangan Mamdani |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Dosen-Mahad-Aly-Darussalam-Tgk-Mukhsin-MA.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.