Kupi Beungoh

Menemukan Harapan di Geurutee

Gagasan tentang Terowongan Geurutee telah berhembus sejak lebih dari satu dekade lalu. Pada 2012, pemerintah daerah mulai perencanaan.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Jasman J. Ma'ruf adalah Profesor Manajemen di FEB USK 

Oleh: Jasman J. Ma’ruf

Di ujung barat laut Sumatera, sebuah jalan berkelok menempel di lereng gunung Geurutee namanya. Ia bukan sekadar jalur penghubung, tapi urat nadi vital yang menyambungkan Banda Aceh dengan wilayah pesisir barat dan selatan.

Namun, nadi ini kerap tersumbat oleh bahaya, dari longsor yang mengendap diam seperti bom waktu, hingga tikungan tajam yang menggoda maut, serta aspal yang retak-retak oleh usia dan pengabaian.

Dan seolah belum cukup, saban hari jalan ini harus menanggung beban truk-truk tangki raksasa yang mengangkut CPO seberat 40 ton, merayap pelan di tanjakan, menyeret kepadatan di belakangnya, dan menciptakan antrean kendaraan yang menjulur hingga kilometer.

Kemacetan bukan lagi insiden ia telah menjelma rutinitas. Kadang terasa begitu lama, kadang tanpa kejelasan kapan akan usai. Roda ekonomi dan urusan kemanusiaan pun ikut terjebak, tertahan, terengah-engah.

Puncaknya terjadi Agustus lalu, ketika sebuah truk tangki terguling dan muatannya minyak kelapa sawit mengalir deras di jalanan, seperti darah dari luka lama yang tak kunjung sembuh.

Lalu lintas lumpuh total. Akses terputus. Waktu beku. Masyarakat kembali dipaksa menelan kenyataan pahit bahwa melintasi Geurutee bukan sekadar perjalanan melainkan perjudian dengan nyawa sebagai taruhannya.

Baca juga: Proyek Terowongan Geurutee Dipercepat, Gubernur Mualem Target Tuntas 2028

Janji yang Terlambat Ditepati

Gagasan tentang Terowongan Geurutee telah berhembus sejak lebih dari satu dekade lalu. Pada 2012, pemerintah daerah mulai menyusun dokumen perencanaan. Tiga tahun kemudian, Menteri Pekerjaan Umum berdiri di sisi Gunung Geurutee, meninjau langsung dan menyatakan dukungannya.

Terowongan itu dirancang sepanjang 1,2 kilometer pendek memang, tapi sangat berarti. Ia bisa memangkas waktu tempuh dari 20 menit dan kadangkala satu jam menjadi hanya dua menit. Tapi lebih dari itu, ia memangkas kecemasan, mengurangi duka, dan memberi rasa aman bagi mereka yang setiap hari melintas di jalur itu.

Sebenarnya, terowongan bukanlah barang asing di Indonesia. Kita punya Terowongan Cisumdawu di Jawa Barat, Terowongan Tol Bocimi di Sukabumi, dan puluhan lainnya yang telah menembus bukit dan batuan.

Bahkan sejak era kolonial, terowongan kereta api telah membelah perut Jawa. Jadi, bukan tak mampu. Kita hanya terlalu pandai menunda.

Kita terlambat, dan dunia telah lama melesat. Di Swiss, Terowongan Gotthard menembus Pegunungan Alpen sejak 1882 (era Teuku Umar sedang berjuang), menghubungkan Eropa Tengah dengan Selatan sejauh 15 kilometer.

Di Jepang, Terowongan Seikan menghubungkan dua pulau besar di bawah laut dimulai sejak 1946, rampung 1988. Dan bahkan kini, dunia telah mencatat sejarah baru: Terowongan Base Gotthard di Swiss, dibuka tahun 2016, membentang sejauh 57 kilometer, dan menjadi terowongan terpanjang di dunia yang menembus jantung Alpen.

Sementara kita? Terowongan 1,2 kilometer saja sudah jadi wacana yang layu sebelum mekar. Bukan karena tidak mampu, tapi karena terlalu biasa menormalisasi ketertinggalan. Di tempat lain, terowongan dibangun untuk mengejar masa depan. Di sini, sekadar ingin selamat hari ini pun masih harus berjuang dengan harapan yang terus dipeti-eskan.

Apa yang menghalangi kita? Bukan medan, bukan pula teknologi. Yang tertinggal justru adalah niat, keberanian, dan keberpihakan. Di negeri ini, jarak antara rencana dan kenyataan kadang lebih panjang dari terowongan manapun termasuk Gotthard Base sekalipun.

Ketukan dari Aceh

Oktober 2025 menjadi angin segar yang lama dinantikan. Tim dari Bappenas dan Kementerian PUPR datang ke lokasi, membawa peta, alat ukur, dan barangkali sepotong harapan yang belum hilang seluruhnya. Namun, langkah mereka tak muncul begitu saja.

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dalam beberapa pertemuan lintas kementerian, kembali menyuarakan kegelisahan masyarakat. Ia mengingatkan bahwa Geurutee bukan hanya soal pembangunan, melainkan soal nyawa. Seruan itu menggugah, dan menjadi alarm bagi pusat untuk tak lagi membiarkan rencana ini menjadi fosil dalam dokumen perencanaan.

Kini, pembicaraan menyentuh hal-hal teknis: pembebasan lahan, Amdal, hingga skema pembiayaan baik melalui APBN, kerja sama pemerintah dengan badan usaha, atau pinjaman luar negeri. Semua itu penting. Tapi lebih penting lagi adalah menjadikan ini prioritas, bukan sekadar wacana tahunan.

Terowongan Harapan 

Di balik lengkung batu dan tanah, terowongan tak hanya menyambungkan tempat ia menyambungkan rasa. Ia menjadi jembatan dari kerentanan menuju keselamatan, dari keterpencilan menuju keterhubungan, dari dilupakan menuju diakui.

Seperti kata Khalil Gibran, "Dari penderitaanlah muncul jiwa-jiwa terkuat; karakter terbesar dibentuk oleh luka yang paling dalam." Dan luka itu telah lama didera oleh masyarakat di sepanjang barat selatan Aceh dipinggirkan infrastruktur, dilupakan dalam prioritas, dan dijadikan angka statistik dalam laporan tahunan.

Tapi kita tidak boleh terus menunggu. Terowongan ini tak akan hadir hanya dengan proposal atau rapat-rapat di ruangan ber-AC. Ia akan hadir jika rakyat Aceh bersuara lantang, bergerak serempak, dan menolak untuk dilupakan lagi.
Kita harus bangkit bukan sebagai penerima keputusan, tapi sebagai penentu arah. Karena pembangunan yang manusiawi hanya mungkin terjadi jika rakyatnya sendiri tidak tinggal diam.

Terowongan Geurutee adalah terang kecil di ujung gelap itu tetapi cahaya itu hanya akan menyala jika kita semua ikut meniup bara harapannya.
Ia bisa menjadi simbol bahwa negara hadir. Tapi lebih dari itu, ia juga bisa menjadi bukti bahwa rakyat Aceh tidak lagi diam.

 Jangan Tunda Lagi

Jika negara ingin benar-benar berpihak pada yang tak terdengar suaranya, inilah saatnya membuktikan.

Terowongan Geurutee tidak bisa terus menjadi kisah yang tertunda. Tidak untuk kesekian kali.

Karena ini bukan sekadar soal konstruksi ini soal denyut ekonomi rakyat kecil yang selama ini tersendat. Terowongan ini akan memangkas waktu dan biaya distribusi hasil pertanian dan perikanan dari kawasan barat selatan Aceh, yang selama ini terkungkung mahalnya logistik dan lamanya perjalanan. 

Akses yang aman dan cepat akan menjadi jalan masuk bagi kebangkitan sektor pariwisata. Bayangkan Geurutee bukan lagi dikenal karena tikungannya yang mematikan, tetapi karena pemandangan eksotis yang bisa dinikmati tanpa cemas membuka ruang tumbuh bagi homestay, UMKM lokal, dan sektor jasa lainnya.

Namun jika terus ditunda, biaya diam itu jauh lebih mahal daripada biaya membangun. Kita akan terus membayar dalam bentuk kecelakaan, keterisolasian, mahalnya logistik, dan potensi ekonomi yang menguap setiap hari. Bahkan lebih dari itu kita membayar dengan kepercayaan publik yang semakin luntur, dan harapan rakyat yang pelan-pelan padam.

Pemerintah daerah dan pusat mesti berjalan seiring, bukan saling menunggu. Legislatif harus ikut mengawal.
Dan yang terpenting: publik Aceh harus menjaga nyala ini menjaga agar harapan ini tak kembali menjadi bangkai wacana akibat pergantian jabatan dan musim anggaran.

Karena kadang, pembangunan yang paling berarti bukan yang paling besar, melainkan yang paling manusiawi yang menjawab tangis sunyi di tempat-tempat yang selama ini terabaikan.

 

Penulis adalah Jasman J. Ma'ruf adalah Profesor Manajemen di FEB USK

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved