Kupi Beungoh
Membaca Ulang “Semak Liar/Nipah”sebagai Masa Depan Ekonomi Hijau Aceh Barat
Festival ini, oleh karena itu, bukan sebatas selebrasi, tetapi koreksi. Koreksi atas cara kita memandang sumber daya alam kita sendiri.
Festival ini berperan sebagai etalase gagasan yang menunjukkan bahwa pembangunan tidak harus selalu merusak dan bahwa ekonomi masyarakat dapat tumbuh justru ketika alam dipulihkan, bukan dieksploitasi.
Tantangannya tentu bukan hanya festival. Dibutuhkan perubahan cara pandang pemerintah daerah, dunia pendidikan, dan masyarakat pesisir bahwa wilayah nipah bukan “tanaman tidur”, tetapi “aset masa depan”.
Diperlukan pula roadmap yang jelas dari konservasi kawasan, pengembangan produk UMKM, pelatihan masyarakat, hingga integrasi ekowisata.
Tanpa kebijakan yang terukur, festival akan berhenti sebagai seremoni tanpa dampak.
Karena itu, Festival Nipah di Suak Timah Aceh Barat patut diapresiasi sebagai titik awal gerakan.
Sebuah langkah simbolik bahwa Aceh Barat mulai berani membaca ulang ruang hidupnya sendiri, melihat peluang ekonomi hijau yang selama ini tersembunyi di balik rawa-rawa sunyi.
Jika konsisten, festival ini dapat menjadi preseden bahwa pelestarian lingkungan tidak bertabrakan dengan kesejahteraan bahkan justru menjadi fondasi barunya.
Nipah, yang dulu dianggap liar dan tak berguna, kini mungkin menjadi ikon baru Aceh Barat.
Ikon tentang bagaimana alam dan manusia bisa tumbuh bersama, berkelanjutan, dan saling menguatkan. (*)
*) PENULIS adalah Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Guru-Besar-Bidang-Geologi-Kelautan-USK-Prof-Muhammad-Irham.jpg)