Pojoh Humam Hamid

MSAKA21: Gender Aceh Abad 15, Ratu Nahrisyah dari Pasai – Bagian XIX

Keunikan Samudera Pasai terletak pada kemampuannya menerima dan menempatkan perempuan sebagai penguasa

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, 

Di atas marmer putih berkaligrafi indah tertulis doa panjang: “Allahumma irham al-Malikat al-‘Alimah al-Mu’minah al-Hakimah, hakimah al-Bilad al-Pasai.” 

Terjemahan: “Ya Allah, rahmatilah Ratu yang berilmu, beriman, dan bijaksana, penguasa negeri Pasai.” 

Dari nisan itu, kita tahu: ia dihormati bukan hanya karena darahnya, tetapi karena ilmu dan kebajikannya.

Baca juga: Danrem Resmikan Meunasah Ratu Nahrisyah

Fenomena Kepemimpinan Perempuan

Ratu Nahrisyah menjadi simbol terakhir kemegahan Pasai--seorang pemimpin perempuan di tengah dunia yang dikuasai pria, yang menutup babak sejarah dengan ketenangan dan martabat.

Keunikan Samudera Pasai terletak pada kemampuannya menerima dan menempatkan perempuan sebagai penguasa--sebuah fenomena yang amat jarang ditemukan di dunia Islam abad ke-14. 

Ketika Ratu Nahrisyah naik takhta pada 1406, Pasai tidak hanya menegaskan stabilitas dinasti, tetapi juga menunjukkan kelenturan sosial dan politik.

Pasai mampu berkreasi dalam tradisi Islam Nusantara, yang mampu mengadaptasi nilai-nilai lokal mengenai kekerabatan dan kepemimpinan. 

Berbeda dengan banyak kerajaan Muslim lain pada masa itu--seperti Kesultanan Delhi atau Mamluk Mesir--yang hanya sesekali dipimpin perempuan dan seringkali menghadapi resistensi besar.

Sebaliknya, Pasai justru menempatkan pemimpin perempuannya dalam posisi yang dihormati, bahkan diakui oleh para ulama dan pedagang internasional. 

Bahkan di Asia Tenggara sendiri, tradisi ini baru terlihat secara kuat seabad kemudian di Kerajaan Patani yang dipimpin oleh empat ratu berturut-turut.

Sementara di Jawa, Majapahit memang pernah dipimpin oleh Tribhuwana Wijayatunggadewi, tetapi bukan sebagai kerajaan Islam.

Dengan demikian, naiknya Ratu Nahrisyah menandai sebuah momen sosiologis penting, bukti bahwa Islam di Pasai tidak berkembang secara rigid, melainkan berbaur dengan budaya lokal yang memberi ruang lebih besar bagi perempuan dalam struktur politik. 

Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat Pasai--sebagai pusat perdagangan dan pernah menjadi kosmopolitanisme Hindu-Buddha, yang kemudian berkembang hebat pada masa Islam.

Pasai memiliki kapasitas adaptif yang memungkinkan legitimasi perempuan bukan sebagai pengecualian, tetapi sebagai bagian dari norma politik lokal.

Untuk memahami konteks kepemimpinannya, kita perlu melihat Samudera Pasai bukan sekadar kerajaan Islam, tetapi pusat pragmatisme religius dan ekonomi maritim. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved