Pojoh Humam Hamid

MSAKA21: Gender Aceh Abad 15, Ratu Nahrisyah dari Pasai – Bagian XIX

Keunikan Samudera Pasai terletak pada kemampuannya menerima dan menempatkan perempuan sebagai penguasa

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, 

Dalam sejarah Asia Tenggara, sebagaimana ditulis oleh Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Pasai menempati posisi penting sebagai pelabuhan pertama di dunia Melayu yang memeluk Islam. 

Reid menekankan bahwa penyebaran Islam di kawasan ini tidak terjadi karena penaklukan politik, melainkan karena proses pragmatis dan kosmopolitan yang tumbuh dari dunia perdagangan.

Menurut Reid, Islam di pelabuhan-pelabuhan seperti Pasai, Malaka, dan Aceh hadir sebagai “bahasa moral dan komersial baru”--sebuah sistem nilai yang memfasilitasi kepercayaan antar pedagang dari Gujarat, Arab, Pegu, dan Tiongkok. 

Islam di sini bukan semata doktrin spiritual, melainkan juga mekanisme sosial-ekonomi. 

Ia menyediakan etika transaksi, kejujuran dalam muamalah, dan jaringan solidaritas lintas etnis yang memperlancar arus niaga. 

Bergabung dalam komunitas Muslim berarti memperoleh jaminan kepercayaan, status sosial, dan akses ke pasar global.

Dalam konteks Pasai, pragmatisme Islam ini juga menjadi landasan legitimasi politik.

Baca juga: IAIN Lhokseumawe Resmi Jadi UIN Sultanah Nahrisyah, Kado Indah Milad ke-56, Buka Prodi Baru

Warisan Ratu Nahrisyah

Sultan-sultan Pasai, termasuk Ratu Nahrisyah, memahami bahwa kekuasaan tidak cukup didasarkan pada darah keturunan, tetapi juga pada kesalehan dan dukungan moral para ulama.

Pemerintahan yang adil, sesuai syariat, menciptakan kepercayaan publik di tengah masyarakat pelabuhan yang majemuk. 

Seperti diamati Reid, hubungan timbal balik antara agama, perdagangan, dan kekuasaan membentuk “the moral economy of the port” - ekonomi moral pelabuhan, di mana spiritualitas dan pragmatisme saling menopang.

Dalam sistem nilai itu, seorang penguasa tidak cukup kuat karena pasukannya, tetapi karena integritas moralnya. 

Pedagang dihormati karena kejujuran, dan pemimpin diukur dari kemurahan serta kesalehannya. 

Ratu Nahrisyah berdiri tepat di tengah orbit nilai tersebut: seorang perempuan yang menguasai adab dan ilmu agama, tetapi juga memahami realitas politik dan ekonomi zamannya. 

Ia menjaga kesinambungan kerajaan di masa ketika jalur rempah mulai bergeser ke Malaka, memastikan Pasai tetap menjadi pelabuhan yang bermartabat meski tak lagi dominan.

Sebagaimana disimpulkan Reid, kekuatan Islam di Asia Tenggara tidak lahir dari kekerasan, tetapi dari kemampuannya beradaptasi dengan kebutuhan praktis dunia dagang dan pemerintahan. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved