Kupi Beungoh
Meneropong Hubungan Intelektualitas Aceh (Dayah, Al- Azhar, dan Alumni Timur Tengah)
Jangan kita disibukkan dengan memperdebatkan urusan furuiyyah sehingga syaitan, kafir, dan musuh Allah lainnya kehilangan musuh untuk dilawan.
Nah, Jika manhaj dan acuannya sama, sebenarnya sekat pemisah antara dayah dan alumni Timteng sangatlah tipis.
Hanya sebatas jarang berbagi informasi dan saling komunikasi sehingga ada sebagian oknum alumni dayah salah berasumsi hampir semua alumni timteng Wahabi.
Karena jika ditarik garis lurus sungguh akan ketemu di titik yang sama dan acuan yang sama.
Salah satu paguyuban/ormas yang mewadahi alumni Timteng sudah membangun komunikasi positif dengan sejumlah ulama dayah.
Dan terlihat sudah membuahkan hasil positif sebagaimana diharapkan.
Namun dalam ormas yang beranggotakan ratusan orang tentu tak semudah membina biduk rumah tangga.
Terkadang ada saja ulah okum anggota yang menyiram nila ke dalam belanga.
Penulis yakin, semua itu berhasil dengan adanya pengiriman sejumlah alumni dayah salafiah ke Al-Azhar Kairo, Mesir, Yaman dan beberapa universitas lain di Timteng.
(Baca: Pemerintah Aceh Ikutsertakan Peran Ulama dalam RPJMA)
Sedikit masukan untuk suadara MI dan SM
Untuk saudara MI hendaknya membaca kembali sikap Imam Nawawi ra, ketika berziarah ke maqam Imam Syafi’i, hanya berdiri jauh dari makamnya.
Nawawi tidak berani mendekat sampai ke makam Imam Syafi’i, namun hanya dari luarnya saja, sangking ta'dhim dan hormatnya kepada Imam di mana ia ambil ilmu dan keberkahannya.
Juga jangan lupa mengulang kembali kisah Imam Syafi’i ra. tidak membaca qunut subuh pada salat di masjid yang dekat dengan makam Abi Hanifah.
Ketika Syafi’i ditanyakan, apa gerangan Sang Imam tidak baca qunut?, Padahal ia sebagai yang mengatakan qunut sunat ab’adh dalam salat.
Beliau menjawab, saya hormati Abi Hanifah dan pengikutnya di sini tidak berqunut pada salat subuh.
Untuk saudara SM, saudara jangan perpanjang masa pilkada yang melelahkan itu.
Pemerintah Aceh telah resmi dilantik. Dukung dan berkontriobusilah jika mampu.
Soal isu penertiban sektarian itu memang sebuah keniscayaan jika orang berpikir panjang.
Yang paling utama adalah kedewasaan sehingga berlaku bijak dan arif dalam menyikapi khilafiyah dan siyaasah.
Jadi, hampir bisa dikatakan impossible menyatukan paham 73 kaum itu. Mulai dari masa Khalifah Ali ra, Turki Utsmani hatta jaman now.
Tersebab manusia diciptakan berakal dan berfikir.
Memang sudah sunatullah manusia itu berbeda pandangan dalam segala hal. Yang paling penting cara menyikapinya.
Jangan kita disibukkan dengan memperdebatkan urusan furuiyyah sehingga syaitan, kafir, dan musuh Allah lainnya kehilangan musuh untuk dilawan.
Tersebab deskripsi di atas dengan alasan kenyamanan beribadah, bermuamalah dan menghindari perpecahan di tengah umat, Brunai Darussalam menetapkan mazhab resmi.
Begitu juga Saudi Arabia sekarang, melarang keras sekte lain berkembang.
Bahkan di bandara pun dirazia buku-buku yang dianggap berseberangan dengan mazhab resmi Negara.
Jadi sudah menjadi sebuah keniscayaan menetapkan mazhab ahlussunah wal jamaah tegak di bumi Aceh, dangan tanpa mengecualikan mazhab lain jika itu hanya sebatas kajian ilmiah di dayah dan ruang kampus.
Benarlah kata Dr Rusli Hasbi asal Jakarta, dari tinjaun historis dan realitas hari ini. Sudah sangat tepat di Aceh dan Indonesia mengamalkan mazhab Syafi’i.
Kalau mazhab lain, umat tidak punya referensi dan tempat bertanya. Toh, dari sononya kita memang sudah bermazhab syafi’i. Coba lihat ulama dan kitab di toko-toko semua beraliran syafi’i.
Cendikia dan Teungku Dayah saudara kandung, namun lain ibu.
Pemberian nama Kota Pelajar (Koperlma) dengan nama Syurga “Darussalam” oleh Prof Ali Hasyimi bukan seperti kata William Shakespeare: "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).
Sebaliknya, bagi umat muslim nama adalah doa, memberi nama sama artinya dengan mendoakannya.
Pepatah Arab mengatakan min ismika a’rifu abaaka (dari namamu, aku bisa mengetahui bagaimanakah ayahmu).
Jika ditinjau dari arti, sebagian ulama mengatakan, disebut darussalam karena surga adalah tempat yang terbebas dari hal yang kotor, hal yang membahayakan dan hal yang tidak disukai.
Kesamaan nama Darussalam, kotanya insan cendikia dengan Darussalam Labuhan Haji “Kota 101 ulama dayah” yang disematkan oleh Allahyarham Abuya Muda Waly, bukan secara kebetulan.
Namun tersirat makna yang mendalam bahwa kita bersaudara. Karena generasi Aceh jika semua teungku.
Siapa yang mengurus orang sakit, birokrasi dan segudang pekerjaan lainnya untuk bahu membahu membangun Aceh.
Hal ini diperkuat nama tiga lembaga pendidikan di Kopelma semua diambil dari nama ulama besar Aceh; Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri, Syekh Abdurrauf as-Singkili makruf dengan Syiah Kuala dan Teungku Chiek Muhammad Pante Kulu.
Jika dulu insan kampus dianggap berseberangan dengan insan dayah, hal ini juga terselesaikan dengan realitas hari ini sejumlah strata satu, dua, dan tiga diisi oleh insan dayah.
Jadi, dengan itu sudah terbantahkan dengan sendirinya. Karena pada hakikatnya, Cendikia Kopelma, dan Teungku Dayah saudara kandung namun lain ibu.
Wassalamu, Jabat Erat…!!!
* Mustafa Husen Woyla adalah Sekjen Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Fikih Modern, Jubir FPI Aceh, dan Guru Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.