13 Tahun Tsunami Aceh

13 Tahun Tsunami – Bencana Itu Merenggut Abang dan Seluruh Keluarga Mertua Saya

Tak ada yang menjawab panggilan kami di rumah ini yang baru bisa tembus pada hari ke dua kami berkunjung. Semua terasa sangat hampa.

Editor: Zaenal
IST
Almarhum Muharram M Nur dan putri ketiganya (jongkok) serta almarhum mertua dan adik ipar penulis (Lailatussa'adah) 

Muharram mendedikasikan dirinya untuk memberikan berita yang seimbang dan benar.

Beberapa orang yang pernah bekerja dengan Muharram M. Nur menceritakan kepada saya, bahwa beliau orang yang sangat idealis, berita akan ditelusuri sampai valid.

Penggemar lagu-lagu Bimbo dan Iwan Fals ini memiliki karir yang mentereng dalam dunia jurnalis, pernah menjabat kepala biro Serambi Indonesia di Sigli, Kepala Biro Serambi Indonesia di Lhokseumawe, serta Wakil Redaktur Pelaksana Tabloid KONTRAS.

Muharram juga masuk dalam daftar penggagas lahirnya Aliansi Jurnalis  Independen (AJI) Kota Banda Aceh, dan menjabat ketua AJI Banda Aceh pada tahun 2002-2004.

Melihat karir yang bagus sangat mungkin menjadikan sang jurnalis hidup mewah, namun Muharram M. Nur hidup sangat sederhana sampai akhir hayatnya.

Prinsip hidup sederhana Bang Muharram ini tergambar jelas dari kalimat hadih maja (peribahasa Aceh) yang tertulis di pintu lemari pakaiannya.

Ngui balaku tuboh, pajoh balaku atra (pakailah sesuai dengan keadaan tubuh, dan makanlah sesuai dengan harta yang dimiliki).

Idealis dan kesabarannya dalam memberitakan suara rakyat membuat Muharram M. Nur mendapatkan anugerah “Membangun Perdamaian melalui Media”.

Anugerah ini diterima oleh istrinya Maisarah, beberapa waktu setelah musibah gempa dan tsunami merenggut nyawanya.

Nama Muharram M. Nur diabadikan sebagai nama sebuah sekolah jurnalis MJC Banda Aceh (Muharram Jurnalism College), dengan harapan akan melahirkan jurnalis-jurnalis yang idealis dan sabar dalam memberikan berita dan kebenaran.

(Baca: Ditolak di Hongkong, Ustaz Abdul Somad Isi Tausiyah Peringatan 13 Tahun Tsunami di Banda Aceh)

Kehendak Allah

Suatu hari di tahun 2005. Beberapa bulan setelah peristiwa gempa dan tsunami, saya bersama suami (Bastian Azhar) berkunjung ke sebuah toko elektronik di kawasan Simpang Surabaya Banda Aceh.

Kala itu, suasana Banda Aceh masih sangat sepi.

Seorang pengunjung di toko tersebut memulai percakapan dengan saya. Ia merasa heran karena saya dan suami hendak membeli peralatan elektronik dapur. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved