13 Tahun Tsunami Aceh
13 Tahun Tsunami – Bencana Itu Merenggut Abang dan Seluruh Keluarga Mertua Saya
Tak ada yang menjawab panggilan kami di rumah ini yang baru bisa tembus pada hari ke dua kami berkunjung. Semua terasa sangat hampa.
“Tinggal di mana?,” orang tersebut bertanya dengan raut wajah heran.
“Uleekareng, menumpang di rumah kakak,” saya menjawab.
“Kenapa menumpang, dulu tinggal dimana?” orang itu bertanya lagi.
Saya menjawab, seharusnya saya tinggal di rumah mertua saya di Punge Jurong.
Singkat cerita, orang itu menyebut secara detil posisi dan bentuk rumah mertua saya.
“Rumah baru itu ya, rumah yang baru pesta minggu lalu pas seminggu sebelum tsunami itu ya?” orang itu bertanya lagi.
“Benar, sayalah dara baronya,” jawab saya.
Orang itu pun merasa terkejut, lalu memberondong saya dengan sangat banyak pertanyaan.
Bagaimana cara selamat? Pergi kemana hari itu? dan bla bla bla.
Saya menangkap pertanyaan orang tersebut menunjukkan kemungkinan saya selamat dari musibah tsunami sangat kecil.
Pasalnya, tsunami mengepung Punge Jurong dari dua arah, Lampaseh dan Ulee Lheue.
Namun jika Allah berkehendak tidak ada yang dapat menolaknya.
Saya menceritakan bahwa pada Sabtu malam (25/12/2017) atau malam minggu sebelum tsunami, saya bersama suami pergi ke Uleekareng dan menginap di rumah kakak (Halimatussakdiah M Nur, isteri dari Dr Husaini Ibrahim MA).
Tidak ada firasat apapun, hanya ada beberapa kejadian yang mengharuskan kami pergi dan menginap di Uleekareng.
Keluarga Mertua
Keluarga mertua saya pindah ke Punge Jurong pada awal Desember 2004.
Ayah mertua saya, Azhar Oesman lahir di Samalanga, terakhir menjabat sebagai kepala BP2TKI Aceh, sebelum pensiun pada tahun 2004.
Sebelumnya, keluarga suami saya tinggal di perumahan Lambheu, Aceh Besar.
Dengan niat dapat menampung famili dari kampung, serta untuk menikmati masa pensiun, beliau membangun rumah ke dua yang memiliki halaman.
Di rumah baru inilah, saya dan suami yang merupakan anak pertama Bapak Azhar Oesman melangsungkan pesta pernikahan.

Tepat pada hari Minggu 19 Desember 2004, atau seminggu sebelum gempa dan tsunami menerjang.
Saat bencana terjadi, rumah mertua saya ini masih dipenuhi oleh para keluarga yang datang dari jauh.
Sebanyak 16 orang masih berkumpul di sini, dengan keluarga inti yang terdiri dari ayah, mamak, abu nek, serta tiga adik ipar saya (dua perempuan dan satu laki-laki).
Hanya saya dan suami yang hari itu tidak ada di rumah tersebut.
Berdasarkan saksi mata, warga Blangpaseh yang kami jumpai sebulan setelah bencana terjadi, gempa dahsyat yang mengguncang pada pukul 7.58.53 WIB tidak meruntuhkan rumah ini.
Setelah gempa, penghuni rumah ini masih duduk-duduk sambil terus membaca tahlil.
“Beberapa menit setelah gempa dahsyat tersebut, kami lari dari arah Lampaseh ke arah Blang Padang sambil teriak air laut naik. Mendengar teriakan air laut naik, keluarga di sini lari ke arah masjid Punge Jurong (yang berada di tengah perkampungan),” ujar pria yang kami jumpai saat sedang membersihkan bengkalai tsunami dari rumah ini.
Ia melanjutkan ceritanya; “Saya melihat pintu rumah ini terbuka lebar, saya berpikir tak mungkin untuk lari lebih jauh lagi karena air naik sangat kencang dari sungai di depan. Saya pun memilih naik ke lantai 2 dan naik ke plafon rumah ini,” ujarnya.

Di rumah mertua saya itu, saya melihat masih bekas endapan air di dinding lantai dua rumah ini.
Sampah menumpuk sampai ke teras lantai dua.
Sebagian bangunan hanyut dan hanya tinggal lantai saja.
Tak ada yang menjawab panggilan kami di rumah ini yang baru bisa tembus pada hari ke dua kami berkunjung.
Semua terasa sangat hampa.
Hingga kami menyadari, inilah takdir dan kehendak Sang Pencipta Yang Maha Kuasa.
Hanya doa yang selalu kami hantarkan kepada Abang, Ayah, Mamak, Abu Nek, dan adik-adik tercinta. Kalian adalah syuhada: * Muharram M Nur (abang kandung) bersama tiga orang putrinya * Azhar Oesman (ayah mertua) * Asni Ilyas (ibu mertua) * Ilyas (abu nek) * Taufik Hidayat (adik ipar) * Ruhul Aflah (adik ipar) * Herawati (adik ipar)
Banda Aceh, 26 Desember 2017 (Tiga Belas Tahun Kemudian)
* Penulis adalah adik kandung dari almarhum Muharram M Nur, dan menantu dari almarhum Azhar Oesman dan almarhumah Asni Ilyas. Saat ini mengabdi sebagai Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, juga Pengurus Yayasan Ummi Gampong Aree, Kecamatan Delima Pidie