Kupi Beungoh

813 Tahun Kota Banda Aceh, Sejajar Usianya dengan Moskow dan London, Begini Sejarahnya

Kerajaan ini didirikan tepat pada 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205 di Gampong Pande dan ditetapkan sebagai hari jadi Kota Banda Aceh.

Editor: Zaenal
IST
Tuanku Warul Waliddin 

Makna 813 Tahun Kota Banda Aceh (22 April 1205 - 22 April 2018)

Oleh: Tuanku Warul Waliddin

SETIAP kota di seluruh penjuru dunia memiliki identitas, karakter, dan latar belakang yang sangat spesifik.

Sudah sewajarnya bagi pemimpin dan rakyatnya yang menetap/mendiami dan mengunjungi kota tersebut harus mengetahui dan memahami latar belakang kota yang didiaminya.

Ketika peradaban Hindu-Budha berkembang pesat di Pulau Jawa,  wilayah Aceh di utara garis khatulistiwa tampak nun jauh di sana.

Penduduk wilayah Aceh hampir tidak tersentuh oleh peradaban besar Sriwijaya dan Majapahit.

Aceh membangun tradisi sendiri yang unik sebagai jembatan antara dua dunia, dunia atas angin dan bawah angin.

(Baca: Kupi Meulisan Geuchik Yasin Woyla, Gratis Tanpa Batas untuk Jamaah Jumat)

(Baca: VIDEO – Mencicipi Aneka Hidangan Asli Turki di Taman Sari Banda Aceh)

Namun, dari sudut pandang budaya Islam, Aceh selama 5 Abad (Abad 13-17) menjadi titik pusat kepulauan Nusantara, dan membawa Aceh ke dalam hubungan yang lebih dekat dengan kawasan Timur Tengah.

Pada zaman pra-islam, di Aceh ada kerajaan Lamuri yang beragama Hindu-budha dan beribukota di Indrapuri.

Kerajaan ini menggunakan Krueng Aceh sebagai sarana transportasi. 

Sebagaimana lazimnya kerajaan Hindu-Budha, Lamuri menerapkan pandangan dewa-raja, dan pusat kerajaan terletak di daerah pedalaman, jauh dari laut.

Ketika Islam masuk ke Aceh, kegiatan perdagangan di daerah pesisir menjadi prioritas.

Pada tahun 1205 ibukota kerajaan baru muncul di Gampong Pande, sebuah tempat yang terletak dekat kuala, muara Krueng Aceh.

(Baca: Gampong Pande, di Sini Kuta Raja Bermula)

(Baca: Ini Kisah Gampong Pande dan Masa Depannya di Mata Pegiat Sejarah Tarmizi A Hamid)

Dengan demikian sultan dapat dengan mudah terlibat aktif mengatur kegiatan perdagangan.

Berbeda dengan perilaku dewa-raja yang memandang profesi pedagang sebagai kasta yang rendah, dalam Islam pedagang justru lebih mulia dan membanggakan.

Oleh karenanya, banyak kerajaan Islam di pesisir Selat Malaka menjadi negara pelabuhan dagang, salah satunya Bandar Aceh sebagai Ibukota Kesultanan Aceh Darussalam.

Adalah Meurah Johan bernama Lengkap Abdul Azis Almulaqqab Sultan DjohanSyah bin Machdum Abi Abdillah Assjech Abdul Rauf (Tuan di Kandang Sjech Bandar Darussalam), Menjadi Sultan Islam Pertama Kesultanan Aceh Darussalam.

Kerajaan ini didirikan tepat pada 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205 di Gampong Pande dan ditetapkan sebagai hari jadi Kota Banda Aceh.

Penerapan ini dilakukan dalam seminar Hari jadi Kota Banda Aceh pada tanggal 28 Maret 1988.

(Baca: Komandan Al-Asyi: Pemusnahan Situs Sejarah di Gampong Pande Harus Segera Dihentikan)

(Baca: Pewaris Raja Gelar Zikir di Gampong Pande)

Pada tahun 1296, istana Sultan dipindahkan dari Gampong Pande ke Daruddonya, yaitu lokasi Keraton Sekarang, kira-kira 6 km dari muara. 

Pindahnya pusat kerajaan ini dapat diduga disebabkan oleh adanya gelombang laut yang melanda daerah Gampong Pande, di mana pada saat tsunami 26 Desember 2004 gelombangnya terhenti pada batas lokasi keraton (Daruddonya).

Pasar yang semula berada di pantai, karena peristiwa itu juga bergeser ke pedalaman, yaitu ke Pante Pirak di daerah pertemuan anak sungai Krueng Daroy dengan Krueng Aceh.

Lokasi istana baru ini juga amat dekat dengan pasar (Peukan Aceh)  tersebut.

Sejak itu pusat pemerintahan bertahan di sana, dan berlanjut terus hingga ke zaman kolonial dan zaman sekarang ini.

Sebagai kota tua yang tahun ini genap berusia 813 tahun, Banda Aceh sejajar usianya dengan Moskwa/Moskow (871 tahun), London (952 tahun), dan lebih tua 70 tahun dari Kota Amsterdam yang hari ini berusia 743 tahun. 

(Baca: Karena Sejarah Dikira Dongeng (Meratapi Gampong Pande)

Unsur dualitas, dimana harmoni antara darat dan air sangat terasa di dimasa kesultanan Aceh.

Dari sungai hingga Pelabuhan (bandar), lalu lintas kapal-kapal menggambarkan kesibukan kota.

Sementara di darat, barisan gajah menjadi kebanggaan dan meningkatkan wibawa kota.

Di Krueng Aceh terdapat Pulau Gajah yang kini sudah hilang. 

Demikian pula kapal-kapal dan perahu yang di masa lalu begitu sibuk hilir mudik, kini tidak terlihat lagi.

Budaya aquatik telah pudar, sungai menjadi lengang, diganti dengan kehidupan darat yang terlampau mengeras. Pelabuhan tidak lagi memiliki kapal.

Sebagai kota tua yang kami sebut dengan istilah Kota Tamaddun alias kota tempat lahirnya peradaban baru bagi Bangsa Aceh, tempat berkumpulnya berbagai suku, bangsa dan etnik, dan diakui dalam berbagai catatan sejarah perjalanan pelaut dunia, mulai dari Portugis, Inggris, Denmark, dan Belanda.

Banda Aceh juga disebut sebagai Kota Bustanussalatin karya Sultan Iskandar Muda yang mengambil filsosofi taman surgawi dalam Alqur'an yang mengalir sungai-sungai yang indah di tengah-tengahnya, sehingga disebut taman para raja/sultan.

Maka inilah identitas sesungghnya Kota Banda Aceh yang di usia 813 Tahun semakin bergeser identitasnya, dari cita-cita pendirinya sebagai pusat lahirnya peradaban Aceh sebagai founding father lahirnya Islam di Nusantara dan Asia Tenggara.

Secangkir informasi di atas kami harap mampu memberi inspirasi segar bagi pemimpin dan para stakeholder Kota Banda Aceh yang hari ini di usia genap 813 tahun.

Selamat Hari Lahir Kota Bustanussalatin, Kota Tamaddun, Waterfront City.

Penulis, Tuanku Warul Waliddin, SE, Ak adalah Pang Ulee Komandan Al Asyi.

* KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved