Kupi Beungoh
Mengenal Sosok Habib Abdurrahman Al-Zahir
Belanda didukung oleh persenjataan dan pasukan yang memadai, sedangkan Aceh pada awal lima tahun pertama mengalami kekurangan pasukan dan senjata
Dalam catatan Jacobus Diderik Jan van der Hegge Spies (Kapten Kapal Curracao) yang membawa Habib ke Jeddah dari tanggal 24 November 1878 M sampai Januari 1879 M (catatan ini kemudian diterjemahkan oleh Anthony Reid) disebutkan:
"……Sekali Masjid Montasiek jatuh ke tangan Belanda, ia sekali lagi mengadakan pertemuan dengan panglima perang. Waktu itu ia dengan terus terang mengatakan pada mereka, bahwa ia tidak melihat harapan lagi dan bahwa adalah bijaksana untuk menghentikan perlawanan bersama-sama dia. Mengenai dirinya, ia ingin agar dibebaskan dari tugasnya yang dipercayakan padanya, karena akan meninggalkan mereka dan kembali ke Jeddah. Dari dua belas panglima yang hadir dalam pertemuan ini, tujuh orang dari mereka condong untuk menyerahkan diri, sedang lima orang tetap hendak meneruskan perang."
Apabila kita melihat catatan di atas, dapat kita pahami bahwa di sana Habib mengundurkan diri dari tanggung jawab yang diberikan kepadanya dan beliau khawatir akan menimbulkan kerugian yang lebih besar baik secara moril dan materil apabila perlawanan terus dilakukan. Di satu sisi, beliau juga bermusyawarah dengan para pemimpin Aceh lain atas pandangannya itu.
Artinya, beliau melakukan ini tidak secara diam-diam atau tanpa sepengetahuan pemimpin Aceh lainnya (dimana ada 7 pemimpin yang setuju dengan pandangan beliau). Sedangkan masalah "hadiah" yang diberikan oleh Belanda sebesar 10.000 gulden/ $ 1.000 tersebut perlu dilakukan investigasi tentang kebenaran informasi ini.
Banyak yang diberi tunjangan oleh Belanda namun ada juga yang tidak diberikan. Tetapi, pemberian kepada Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur menjadi isu utama oleh sebagian kalangan di Aceh, walaupun belum ada bukti yang jelas tentang benar tidaknya beliau menerima tunjangan tersebut.
Menurut keterangan keturunan beliau, Syarifah Kahiriah binti Hasan Bafaqih, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur tidak menerima sepeser pun uang dari pihak Belanda, bahkan ketika anak-anak beliau ingin bersilaturahmi ke Batavia menjumpai sanak keluarga, Belanda justru menangkapnya. Lebih lanjut, beliau menceritakan bahwa neneknya, Syarifah Maryam, yang merupakan putri dari Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, harus berjualan secara kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan selalu dalam pengawasan Belanda.
Baca: Bertemu Presiden Filipina, Mahathir Mohamad Ingatkan Duterte Hati-hati Terima Pinjaman Dari China
Melihat kondisi ini, penulis berkeyakinan bahwa pemberian uang tersebut hanya sebuah propaganda Belanda untuk merusak karakternya di mata masyarakat Aceh. Selama ini informasi hanya didapatkan dari pihak Belanda, tanpa kita berusaha melakukan cross check dengan pihak keluarga Habib Abdurrahman.
Kenapa Belanda ingin merusak karakter Habib Abdurrahman?
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah beliau dahulunya terlalu banyak menyusahkan dan merugikan pihak Belanda, baik sebelum maupun ketika masa peperangan. Kedua, pengaruh Habib masih ada di Aceh. Terakhir, untuk membuat masyarakat Aceh lupa terhadap jasa-jasa Habib baik sebelum dan sesudah perang. Karena pengaruh tokoh-tokoh Arab yang menyebar di seluruh nusantara menjadi fobia bagi pihak Belanda, karena pembelaan-pembelaan mereka terhadap umat Islam di Nusantara.
Ketika di Jeddah, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur diangkat menjadi Syaikh as Sadat (syaikh para Sayyid) oleh Gubernur Turki pada tahun 1886 dan beliau di sana banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para keluarga Sayid dan juga para pelajar yang berasal dari nusantara. Di antaranya kepada Habib Hasyem bin Umar Bafaqih Aidid, Habib Husein bin Umar Bafaqih, dan Tengku Ali Lampaseh (Montasik).
Ketika Habib berada di Tanah Hijaz, beliau tetap memberikan masukan tentang Aceh dengan pandangan-pandangan positif yang bertujuan untuk kedamaian Aceh. Tetapi sayang, banyak pandangan beliau yang dibelokkan oleh para sejarawan sehingga menimbulkan perspektif negatif tentang beliau. Hal inilah tentunya yang di inginkan oleh beberapa tokoh orientalis supaya kita kaum muslimin membeci tokoh dan ulama di kalangan kita.
*) Sayed Murtadha Al-Aydrus MSc adalah Ketua Asyraf Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis