Opini

Tidak Ada Urgensi Qanun Hukum Keluarga  

Di tengah rumitnya persoalan negeri pascademonstrasi besar-besaran imbas lahirnya Undang-undang yang dianggap

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Tidak Ada Urgensi Qanun Hukum Keluarga   
IST
Sherly Maidelina, Aktivis Perempuan Aceh

Double burden sebagai bentuk ketidakadilan gender, masih sulit terkurangi. Ketika pilihan menjadi seorang istri yang menafkahi suami sekaligus anak-anak tidak lagi tersanggupi, tentu cerai fasakh menjadi pilihan agar tidak lagi menjadi tulang punggung bagi anak plus suami.

Sebagai negeri syariat Islam, tentu angka perceraian tinggi menjadi persoalan. Tapi menekannya dengan cara menghentikan praktek qadhi liar bukanlah jawaban. Tuan qadhi bekerja menikahi hanya sekali, tapi tanggung jawab yang berada di pundak seorang suami dalam menafkahi keluarganya itu setiap harinya. Tanggung jawab yang harusnya mereka pikul itu pula menjadi hal yang akan mereka pertanggung jawabkan di akhirat kelak, namun kesadaran akan hal ini menjadi sebuah degradasi--yang para pemikir elit--tidak merespon positif. Buktinya isi qanun hukum keluarga lebih kepada persoalan yang tak substansial.

Berbicara apakah Aceh butuh Qanun Hukum Keluarga? Ya benar, Aceh sangat butuh. Tapi bukan Raqan yang telah disahkan DPRA September lalu. Bahwa Aceh benar darurat perceraian, dimana perceraian hal yang paling dibenci Allah. Tapi angka perceraian yang paling tinggi penyebabnya adalah ekonomi, bukan praktek nikah sirri.

Aceh butuh sanksi bagi pelaku-pelaku penelantaran anak istri. Bahwa budaya warung kopi boleh diminati, tapi tidak dengan melalaikan dalam mencari rezeki. Aceh butuh lowongan kerja yang memberi kesempatan bagi semua warganya kehidupan yang layak. Aceh butuh kesejahteraan, dan ini bukan hanya urgensi di Aceh melainkan Indonesia juga. 

Jikalau urusan ekonomi, bukanlah ranah Qanun Hukum Keluarga, maka penekanan akan pentingnya menjalankan kewajiban sebagai suami atau ayah harus lebih ditekankan dengan sanksi yang pasti. Karena ketika ekonomi tidak menjadi himpitan bagi sang ibu yang bercerai, paling tidak akan mengurangi jumlah janda yang terpaksa rela menikah sirri karena terhimpit beban sekolah dan kebutuhan primer lainnya.

Kategori yang layak diberi bantuan oleh pemerintah juga menjadi hal penting ditelaah. Terkadang yatim yang kaya menjadi mutlak dapat, sementara tidak yatim namun keuangan lebih sulit, malah tidak  dimasukkan dalam kategori. Dan apapun raqan tersebut akan menjadi sia-sia, jika penyebab utama yaitu kemiskinan tidak serius dicarikan solusi.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved