Kupi Beungoh
Taeun Corona dan 7 Local Wisdom di Aceh, Mulai dari Sira, Ie Lam Guci, Toet Leumang, Hingga On Ranup
Penelitian demi penelitian untuk menemukan vaksin terus dilakukan, tapi belum juga berbuah hasil yang tepat.
Oleh: Ayah Panton dan Hasan Basri M. Nur*)
Berawal dari Cina pada akhir tahun 2019 virus corona (covid-19) secara perlahan menyerang penduduk bumi.
Hampir tidak ada negara yang terbebas dari virus ini, sehingga WHO sebagai lembaga kesehatan dunia menetapkannya sebagai pandemi global.
Para kepala negara di dunia tampak kawalahan dalam melawan serangan virus corona, tak terkecuali negara super power Amerika Serikat (AS).
Teknologi super canggih yang dimiliki AS tak berdaya menghentikan laju virus “taeun” ini.
Setiap hari korban corona berjatuhan di AS, sebagaimana jatuhnya korban warga Palestina akibat kebijakan AS yang selalu membela kebiadaban Negara Zionis Israel.
Virus corona dengan mudah menyerang warga negara polisi dunia itu sebagaimana mudahnya Presiden AS memerintahkan serangan militer mematikan ke Iran, Irak, Suriah, Libya, Afghanistan, dan negara-negara lemah lainnya di Timur Tengah.
AS yang dikenal angkuh di dunia tak berdaya melawan covid-19.
Negara Paman Sam menduduki peringkat pertama dunia jumlah korban.
Menurut laporan The New York Times, hingga Rabu (8/4/2020), dari sekitar 1,4 juta kasus covid-19 di dunia, sebanyak 429.060 penderitanya terdapat AS dengan jumlah kematian mencapai 14.809 jiwa.
Sementara itu, para pakar kedokteran dan farmasi terus mencari fomat dalam menghentikan laju virus dan mengobati korbannya.
Penelitian demi penelitian untuk menemukan vaksin terus dilakukan, tapi belum juga berbuah hasil yang tepat.
Para ilmuwan dan pemerintah sepakat menganjurkan masyarakat untuk menjaga jarak antarmanusia dalam pergaulan (physical distancing) dan tidak menggelar acara keramaian (social distancing).
Sebaliknya warga dianjurkan untuk rutin mencuci tangan dengan sabun, menutup mulut saat bersin/batuk, memakai masker, mengisolasi orang yang dicurigai terkontaminasi, berdoa, dan lain-lain.
Wabah penyakit sudah sering menimpa penduduk bumi.
Hanya saja wabah yang melanda dunia pada masa lampau penyebarannya tidak cepat ke belahan bumi lain karena teknologi transportasi dan media informasi kala itu masih sangat terbatas.
Aceh sendiri disebutkan pernah ditimpa wabah kolera pada akhir abad ke-19 yang dibawa oleh serdadu Belanda dari Batavia (Jakarta).
Orang Aceh menyebut wabah penyakit sebagai “taeun” atau “taeut” yang diadopsi dari Bahasa Arab “thaun”.
Pengalaman pernah didera wabah tentu melahirkan pengetahuan baru (local wisdom/kearifan lokal) yang diwariskan kepada generasi pelanjut.
Kata orang bijak, pengalaman adalah guru paling berharga dalam hidup.
Melalui tulisan ini kami hendak menyajikan beberapa local wisdom Aceh yang relevan dalam menghadapi wabah “taeun”.
• BREAKING NEWS - Hasil Rapid Test, Satu Warga Pidie Positif Corona
• Produksi Masker, Solusi Jitu Taiwan Tekan Korban COVID-19
1. Garam dan Mandi Laut
Garam dipercaya menjadi media imunitas tubuh.
Beberapa pakar kesehatan menganjurkan manusia agar berkumur-kumur dengan air garam guna membentengi tubuh dari serangan virus.
Dalam tradisi masyarakat Aceh, garam digunakan saat “peucicap” (memperkenalkan rasa) kepada bayi yang baru lahir.
Tradisi peucicap sudah berlangsung lama dalam masyarakat Aceh.
Selain memperkenalkan rasa asin yang melekat pada garam, kepada bayi juga diperkenalkan rasa manis yang ada pada madu.
Garam dan madu dipercaya mampu memperkuat imun tubuh sehingga berfungsi semacam imunisasi bagi anak.
Selain itu, dalam hidangan pada acara kenduri di Aceh lazim disediakan garam dalam piring kecil.
Selain berfungsi sebagai penambah rasa, garam juga dipercaya menjadi penangkal berbagai virus terhadap makanan yang disajikan.
Terdapat tradisi lain dalam masyarakat Aceh yaitu mandi laut untuk merendam tubuh dengan air garam.
Tradisi mandi laut pada bulan Safar setahun sekali yang lazim disebut “manoe rabu abeh” atau “manoe safa” adalah bagian dari penghilangan berbagai kuman dan penyakit yang ada di tubuh manusia.
Orang Aceh masa lampau percaya ada korelasi antara mandi laut dengan imunitas tubuh dalam menangkal penyakit sebagaimana adanya korelasi antara air pasang di laut dengan pergerakan urat-urat dalam tubuh manusia.
• Dana Desa Bisa Digunakan Biayai Warga yang Sedang Menjalani Masa Isolasi Corona, Ini Syaratnya
2. Ie Lam Guci (Air dalam Guci)
Kearifan lokal lainnya dalam masyarakat Aceh dalam menghadapi penyakit adalah selalu menjaga kebersihan.
Setiap rumah orang Aceh zaman dahulu pasti menyediakan guci (kendi, pasu) berisi air bersih lengkap gayung di depan rumah.
Air ini digunakan untuk mencuci kaki, tangan, bahkan muka oleh siapa saja yang hendak masuk ke dalam rumah.
Seseorang harus dipastikan bersih dan steril sebelum melangkah ke dalam rumah.
Tidak hanya itu, rumah-rumah orang Aceh masa lampau juga menyediakan sumur (mon: kamar mandi) di bagian depan pekarangan rumah.
Pemilik rumah yang baru pulang dari kerja mencari nafkah biasanya membersihkan tubuhnya dengan mandi di luar rumah sebelum masuk dan melakukan kontak fisik dengan anggota keluarga yang standby di rumah (stay at home).
Gerakan rajin cuci tangan dan mandi setelah pulang dari pasar yang dikempanyekan ahli medis belakangan ini ternyata sudah dipraktikkan orang Aceh zaman dahulu.
Sayangnya local wisdom ini tidak disosialisasikan sehingga dianggap budaya baru.
• Aminullah: Usaha Jalan, Corona Harus Kita Cegah
3. Pakek Gaca (Pakai Inai)
Tradisi lain yang dilakukan orang Aceh dalam menghadapi wabah adalah memakai inai (gaca) di jari tangan secara selang seling, tidak di semua jari.
Sekilas tradisi pakai inai secara selang seling ini terlihat tidak mempunyai makna, tidak logis, “o-on”, bahkan ada berkesimpulan mendekati musyrik. Nauzubillahi min zalik.
Semoga kita tidak cepat menuding saudara-saudara seiman dengan kata-kata bid’ah dan sesat sebelum mampu memahami pesan utama yang hendak diajarkan indatu.
Pesan yang hendak disampaikan indatu terkait pemakaian inai itu adalah selalu “jaga jarak” (physical distancing) ketika wabah melanda negeri.
Kalau bukan pesan “jaga jarak” yang hendak dititipkan tentu saja indatu orang Aceh akan memakai inai di setiap ujung jari.
Menangkap isyarat jaga jarak ini pernah diposting oleh Sayuti M. Nur di akun Facebooknya beberapa waktu lalu.
Oleh sebab itu, jagalah jarak selama wabah masih melanda.
Jangan berkumpul atau nongkrong berjamaah di warung kopi, jangan adakan pesta untuk sementara waktu, jangan berdesak-desakan di pasar, bus, pesawat dan sebagainya.
Tak ada guna memakai inai di jari tangan kalau jaga jarak dalam aksi nyata tidak mau diwujudkan.
Kesimpulannya, inai di jari tangan itu hanyalah sekedar simbol dalam mengingatkan publik agar selalu jara jarak.
• Di Aceh, Dewi Sandra Pertama Kalinya Makan Sirih
4. Pajoh Ranup (Makan Sirih)
Tradisi lainnya adalah makan sirih (pajoh ranub).
Hampir semua orang Aceh zaman dahulu adalah pengunyah sirih.
Mereka mengunyahnya bersama pinang dan kapur sehingga mengeluarkan air kemerahan laksana darah.
Di pekarangan rumah orang Aceh masa lampau pasti terdapat tanaman sirih.
Mereka selalu mengonsumsi daun sirih segar setiap harinya.
Di ruang tamu biasanya tersedia daun sirih agar dapat dicicipi oleh tamu yang berkunjung sehingga terbebas dari virus saat melakukan obrolan.
Daun sirih diakui oleh pakar kesehatan sebagai antiseptik dan antimicroba yang mampu membunuh virus sars-cov-2, penyebab penyakit covid-19 (tempo.co, 21/3/2020).
• Tradisi Peziarah Sumbar, Masak Lemang dalam Kompleks Makam Syekh Abdurrauf As-Singkili
• FOTO-FOTO : Lemang Bambu Lambaro Skep, Banda Aceh
5. Toet Leumang (Bakar Lemang)
Kebiasaan lainnya yang dilakukan orang zaman dahulu ketika wabah penyakit melanda negeri adalah membakar lemang dan kemudian membagi-bagikannya ke tetangga.
Secara kasat mata, tradisi ini tak terlihat memiliki hubungan dengan pencegahan virus penyakit.
Namun, ada baiknya kita melihat dua pesan yang ada di balik tradisi bakar lemang pada masa lampau.
Pertama, membakar lemang dari beras ketan mengisyaratkan orang tersebut sudah tidak lagi memiliki stok beras sebagai pangan utama di rumahnya.
Orang Aceh selalu memiliki dua jenis beras di rumahnya; beras nasi dan beras ketan.
Ketika beras ketan sudah dipakai dalam kondisi darurat, ini menandakan stok pangan dalam keluarga tersebut sudah menipis.
Pesannya adalah orang-orang yang punya kemampuan harus segera mengulurkan bantuan sembako untuk warga miskin di lingkungannya.
Kedua, di balik aksi bakar lemang terkandung pesan untuk membiasakan berbagi (sedekah) walau dalam kondisi sulit sekalipun.
Lemang yang telah dibakar itu tidak dimakan sendiri oleh sebuah keluarga, melainkan dibagi-bagi kepada tetangga.

6. Isolasi yang Sakit
Kearifan lokal lainnya adalah mengisolasi yang sakit.
Tradisi ini biasa dilakukan ketika wabah “taeun” melanda ayam (manok keunong taeun).
Ayam yang memperlihatkan tanda-tanda terjangkit virus (seperti menggeleng-geleng kepala atau air liurnya meleleh) segera dikurung (isolasi) dalam sangkar sehingga terpisah dari ayam lain.
Setelah itu, petugas kesehatan binatang (mantri) diundang untuk memberi vaksin kepada “manok keunong taeun” dan juga kepada ayam yang belum terjangkit virus sebagai upaya pencegahan.
Karena itulah di Aceh terkenal istilah “meuntri manok”.
• Perang di Yaman Tak Hanya Membunuh Puluhan Ribu Jiwa, Wabah Kolera Juga Serang Hampir 1 Juta Orang
7. Berdoa
Tradisi dan kepercayaan lainnya dalam menangkal wabah penyakit di Aceh adalah menggelar doa tolak bala (let taeun) dengan membaca “wa qul jaa-al haqqul wa zahaqal baathil. Innal baathila kaana zahuuqa”, anjuran membaca Alquran terutama surah al-Kahfi, Surah Yaasin, dan lain-lain.
Berdoa adalah upaya penyerahan diri kepada Sang Pencipta.
Orang Aceh percaya bahwa manusia memiliki keterbatasan sehingga terkadang tidak mampu mengendalikan wabah walau sudah berusaha dengan maksimal.
• Cegah Covid-19 dengan Social Distancing, Polisi Bubarkan Aksi Tolak Bala di Sultan Daulat
• UPDATE Taushiyah MPU, Kegiatan Ibadah Harus Ikuti Prosedur Kesehatan, Bagaimana Doa Tolak Bala?
Dalam kondisi sangat sulit manusia pasti membutuhkan perlindungan dari kekuatan gaib yang mempunyai kekuasaan tanpa batas.
Berdoa dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta mampu menciptakan ketenangan dan ketenteraman jiwa sehingga lahirlah kebahagiaan hidup.
Pakar kesehatan dan psikologi berkesimpulan adanya korelasi antara kebahagiaan dengan imunitas tubuh.
Makanya anjuran “bek stress”, “bek that meupikiran” adalah kata pertama yang disampaikan pada saat konsultasi kesehatan pada dokter dan psikolog.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak percaya adanya Tuhan (atheis) kehidupan mereka akan galau ketika dilanda musibah karena tidak memiliki tempat mengadu dan berkeluh kesah.
Orang-orang semacam ini kerap melakukan tindakan bunuh diri ketika stress berat karena tidak mampu menyelesaikan masalah.

Itulah 7 (tujuh) local wisdom di Aceh dalam menghadapi wabah penyakit.
Di luar ini tentu saja masih terdapat kearifan yang lain, seperti mengonsumsi makanan herbal yang dicatat oleh HC Hurgronje dalam buku The Atjehnese seperti dikisahkan ulang oleh Zahrul Fadhi Johan rubrik Kupi Beungoh serambinews.com edisi 23 Maret 2020. Wallahu’alam.*
Banda Aceh, 9 April 2020
*) Ayah Panton atau Syamsuddin Jalil (Budayawan Aceh, tinggal di Pasar Panton Labu Aceh Utara, WA: 08126964929)
*) Hasan Basri M. Nur (Mahasiswa University Utara Malaysia, tinggal di Changloon, Kubang Pasu, Negeri Kedah, email: hasanbasrimnur@gmail.com)