Jurnalisme Warga
‘Neuduk Neubai’, Tradisi yang Kian Jarang Dipraktikkan
PADI merupakan pertanian terbesar yang ada di Indonesia sebagai negeri agraris. Seiring dengan perkembangan zaman, teknik

Di era modern atau era milenial, karea sudah ada mobil mesin pemotong padi, otomatis, dan canggih yang siap terjun ke sawah untuk memotong padi, lalu diproses hingga keluar dari mesin tersebut butiran padi, cara seperti ini sangatlah efisien dan tidak ribet. Sehingga para petani zaman now lebih tertarik untuk menggunakan jasa mesin pemotong padi buatan asing ini.
Hadirnya mesin otomatis membuat petani mendapatkan hasil maksimal. Namun, di balik banyaknya hal positif dari mesin pemotong padi itu, ternyata ada juga negatifnya. Misal, sebagian pengguna mesin ini mengatakan hasil biji padi tidak sebersih jika diolah di kilang padi. Soalnya, mesin ini sekali proses, mulai dari memotong hingga merontokkan padi, dilakukan sambil jalan. Tentu ada terselip sedikit potongan batang dan daun padi ke dalam karung.
Mesin pemotong padi otomatis ini pun masih terbatas, sehingga petani harus antre untuk mendapatkan layanan. Kemudian, area terjunnya mesin ini ada batasnya, yakni tak bisa jalan di ladang yang berlumpur terlalu dalam. Mesin otomatis ini hanya bisa beroperasi di medan kering dan ladang yang tidak terlalu dalam lumpurnya. Ini membuat sebagian petani tak mendapatkan kesempatan pelayanan mesin memotong padi otomatis. Maka lagi-lagi petani terpaksa potong padi secara manual yang belum tentu siap dalam sehari, bahkan ada yang dua atau tiga hari. Sebab, mulai dari memotong cara manual dengan tangan, selanjutnya memindahkan neubai ke tumpukan padi (neuduk), baru dirontokkan dengan perontok klasik. Karenanya, proses pun terbilang lama.
Saya tahu, tradisi ini makin jarang dipraktikkan di era milenial ini, tapi saya perlu tetap mereportasekannya agar kaum milenial tahu bahwa kita di Aceh punya satu tradisi dalam bertani, yakni ‘neuduk neubai’. Semoga tradisi ini tak musnah ditelan masa.