Kupi Beungoh
Hengkangnya PT Trans Continent dan Cet Langet Investasi Aceh Naik 370 Persen
Bagai disambar petir, obsesi Boss Trans Continent, Ismail Rasyid, dipatahkan oleh segelintir “oknum” elite Pemerintah Aceh.
Oleh: T. Murdani*)
HARIAN Serambi Indonesia edisi 16 Mei 2020 melaporkan “Trans Continent Tarik Alat Kerja dari Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, Aceh Besar.
Mendengar kabar investor multinasional yang telah menanamkan modal puluhan miliar rupiah di Aceh itu hengkang dari Bumi Iskandar Muda terasa bagai sesuatu di siang bolong.
Awalnya, saya sempat optimis bahwa PT Trans Continent akan menjadi tonggak baru dalam sejarah investasi ril (sektor non-tambang) di Aceh.
Saya yakin Ismail Rasyid, putra Aceh yang sukses dalam bisnis cargo dan ekspor impor di Indonesia dan mancanegara, akan menjadi sosok yang “memecah telor” dalam menghidupkan dunia inevstasi di KIA Ladong.
Namun, bagai disambar petir, obsesi Boss Trans Continent, Ismail Rasyid, dipatahkan oleh segelintir “oknum” elite pemerintah Aceh yang tidak becus dalam memberikan pelayanan bagi investor.
Alasannya sangat tidak masuk akal, sudah lebih dari 9 bulan semenjak ground breaking belum ada kepastian hukum, belum ada fasilitas infrastruktur dasar; air bersih, listrik belum memadai, jalan di dalam kawasan belum teraspal, drainase belum ada, pagar masih seperti dalam cerita Abu Nawas, jaringan internet, telepon belum ada, serta adanya preman yang melarang keluar masuk armada Trans Continent pada malam hari.
Bagaimana bisa diterima oleh akal sehat kalau sebuah kawasan industri namun fasilitas air bersih, listrik, jaringan internet dan telepon belum jelas.
Hal ini sangat tidak relevan dengan laporan kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, yang menyebutkan investasi di Aceh naik 371,6 persen, dimana kenaikan yang paling signifikan tercatat pada air, listrik dan gas (Serambi Indonesia, 11/3/2020).
• Investasi di Aceh Naik 371,6 Persen, Sepanjang Tahun 2019 Mencapai Rp 5,8 Triliun, Ini Datanya
• Investasi Aceh Naik 371 Persen? Lagee Meukat Mie Lam Eumpang
• Investasi di Aceh, What Wrong?
Hampir dapat dipastikan laporan naiknya investasi Aceh 371 persen adalah sejenis laporan “cet langet” demi Asal Bapak Senang.
Atas laporan bawahan yang semacam ABS inilah kemudian Plt Gubernur Aceh berkoar-koar di ranah publik bahwa pemerintahannya sangat berprestasi. Duh! Tertipu Pak Plt.
Agak sulit untuk memahami bagaimana korelasi kedua berita ini (Trans Continet hengkang dan angka investasi meroket) sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kondisi Aceh hari ini masih dalam bingkai rasional atau memang dalam fase ‘olah-meng-olah’ tingkat tinggi terhadap dana otonomi khusus (otsus).
Jalan pintas adalah “main olah” atas limpahan dana otsus yang digunakan seenak perut pejabat dan terkesan tidak ada waktu untuk merencanakan pembangunan Aceh yang berkelanjutan sehingga meninggalkan legacy (warisan) untuk anak cucu.
KIA Ladong Bersama KEK Lhokseumawe dan BPKS Sabang yang diharapkan menjadi legacy monumental di sector ekonomi ternyata hanya mimpi buruk, yang mana arang habis besi binasa.
Kenapa ini terjadi? Jawabnya elite yang SK-kan oleh Plt Gubernur tidak punya kapasitas dan tidak memiliki rasa malu ketika gagal.
Penting untuk kita ingat semua, dana otsus didapat setelah konflik kurang lebih 32 tahun dengan korban nyawa dan harta masyarakat yang tidak bisa dihitung.
Pemberian dana otsus itu adalah untuk mengejar ketertinggalan pembangunan Aceh dari provinsi lain, bukan untuk memperkaya pejabat.
Kondisi angkat kakinya Trans Continent dari KIA Ladong jelas menimbulkan respon dari berbagai kalangan.
Karena di tengah gencarnya promosi investasi dan di tengah banyaknya MoU yang telah ditandatangani dengan para investor, malah putra Aceh sendiri meninggalkan Aceh.
Ini sangat memalukan dan bercitra buruk bagi Pemerintah Aceh.
Istilah CEO Trans Continent yang lagi viral adalah “Pemerintah Aceh gadoh jak keliling dunia jak let boh pu’uk, tapi ro breuh lam eumpang”.
Saya pikir istilah ini terucap tidak sesederhana dari yang kita bayangkan, tetapi terdapat masaalah yang sulit diurai di tataran elite Aceh saat ini.
Investor yang nyata-nyata telah hadir dan membawa uang puluhan miliar rupiah untuk memulai usaha malah ditelantarkan, ini pungo alias salah jep ubat namanya.
Anehnya, mulut pejabat Aceh berbusa-busa ketika berbicara tentang kemandirian pangan dan ekonomi di media massa.
“Kita harus memutus ketergantungan pada provinsi tetangga,” menjadi puisi pemanis lidah pejabat Aceh dari tahun ke tahun.
• VIDEO - Aceh Pelajari Peluang Ekspor Pasir dan Kerikil ke Andaman India
PT. Trans Continent
Terlepas CEO nya salah seorang putra Aceh, masuknya Trans Continent ke KIA Ladong merupakan sebuah keputusan yang cukup berani.
Berani dalam artian sudah memikirkan secara matang kondisi Aceh setelah konflik bersenjata yang lebih dari tiga dekade.
Sebagai seorang pebisnis internasional tentu saja Ismail Rasyid sudah melakukan pengkajian dan pemetaan terhadap peluang, resiko, dan tantangan yang akan dihadapi.
Ada nilai utama yang perlu ditangkap, yaitu komitmen yang tinggi dari sosok Ismail Rasyid untuk mengabdi pada Aceh di saat investor lain masih ragu-ragu.
Ke luarnya Trans Continent secara langsung berkaitan dengan elite PT. PEMA yang tidak memiliki kapasitas untuk mengelola KIA Ladong sebagai sebuah Kawasan Industri.
Anehnya, Sang Direktur malah mengatakan kalau masaalah tersebut akan diklarifikasi oleh Jubir Pemerintah Aceh.
Pernyataan itu adalah bentuk tak mau bertanggungjawab atas kegagalannya.
Ini persis seperti ditulis Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia (1991) bahwa salah satu ciri orang Indonesia adalah enggan bertanggung jawab.
Bagaimana logikanya sebuah perusahaan yang ditunjuk oleh Pemerintah Aceh dengan segala otoritas yang melekat dalam penunjukan tersebut untuk mengelola sebuah kawasan industri, tetapi ketika ada masaalah, klarifikasinya ada di Pemerintah Aceh.
Apakah PT. PEMA tidak ada yang berkompeten untuk memberi klarifikasi atau memang tidak ada hak klarifikasi?
Kondisi ini juga dapat ditafsirkan bahwa pemerintah Aceh selama ini hanya menjadikan PT. PEMA sebagai boneka dalam mengelola KIA Ladong.
Ataupun menjadikan KIA Ladong untuk menguras dana otsus semata dan dalam situasi dengan Trans Continent “Ka beukah kanot”.
Kalau memang ini kondisinya, selesaikanlah sendiri tidak perlu go public, karena publik tidak pernah dapat fee apapun dalam kasus KIA Ladong ini.
Karena kondisi ini sudah mengelinding ke ranah publik, maka para pihak sangat perlu untuk memperjelas, apakah Trans Continent masuk ke KIA Ladong berdasarkan hasil analisa yang mendalam terhadap kelayakan investasi atau karena ada “ple meulisan” oleh Pemerintah Aceh.
Semua pihak harus memahami bahwa kondisi ini akan berakibat buruk terhadap iklim investasi Aceh ke depan.
• PT PEMA Akan Penuhi Fasilitas KIA Ladong
• DPRA Minta Eksekutif Kaji Ulang Skema KIA Ladong
Ego Sektoral
Tidak bisa dipungkiri, setelah Gubernur Aceh ditangkap komisi pemberantas korupsi, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah sampai saat ini belum mendapatkan surat keputusan definitif untuk dilantik sebagai gubernur, Pemerintah Aceh berjalan seperti orang mabuk yang tidak jelas arah kebijakan pembangunan.
Legislatif dan eksekutif lebih memilih berbicara di media daripada duduk bersama untuk menyelesaikan masaalah.
Ego sektoral semakin tinggi dan menjadi konsumsi publik.
Para elite Aceh seperti tersekat dalam blok-blok sendiri, saling menyalahkan dalam melihat masaalah bukan saling memberi solusi untuk kebaikan Aceh.
Isu People In dan People Out semakin hangat di media sosial, perseteruan yang tidak jelas arah dan maknanya membuat masyarakat yang tidak paham kondisi ril ikut-ikutan membuli bahkan mencaci maki.
Sebagai solusi alternatif untuk persoalan ini saya kira sudah saatnya Plt Gubernur Aceh mengakhiri politik balas budi, karena tujuan pembangunan adalah untuk membuat hidup semua orang lebih baik.
Bukan hanya orang-orang yang punya akses terhadap lingkaran kekuasaan semata.
Pembangunan adalah proses untuk memperluas kebebasan nyata kepada rakyat dengan memberikan peluang untuk bebas dari kemiskinan, tirani, peluang ekonomi yang buruk, perampasan hak sosial yang sistematis, dan intoleransi.
Semua rakyat Aceh mesti mendapatkan hak dan peluang yang sama dalam pembangunan Aceh, lebih-lebih dengan dana Otsus yang berasal dari darah dan nyawa rakyat Aceh.
Sudah saatnya semua pos-pos penting di dalam pemerintahan Aceh dievaluasi, khususnya yang berkaitan dengan investasi dan KIA Ladong, kalau ingin membangun Aceh yang lebih baik.
Atau mohon maaf saja kalau sudah tidak mampu demi kemaslahatan untuk semua.
Demi menorehkan nama dalam sejarah Aceh yang akan dibaca oleh anak cucu kita dikemudian hari, sudah waktunya “the right man ditempatkan in the right place”.
Akhirnya, keihlasan dan keseriusan dalam bekerja membangun Aceh sangat penting, agar Aceh dithei lei donya kembali.
Hilangkanlah kebiasaan mengedepankan fee dan tumpok dalam berkerja serta membuat laporan asal bapak senang, karena ketika rakyat diam bukan berarti tidak paham dan ketika rakyat tidak berbuat bukan berarti tidak berani.
Semoga Aceh ke depan semakin gemilang.
Canberra Australia, 19 Mei 2020
*) PENULIS, T. Murdani adalah mahasiswa program Doktor dalam bidang International Development, Fakultas Art & Design, University of Canberra, Australia, mengajar pada jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
