Kupi Beungoh
“Being and Becoming Aceh”: Pengaruh Corak Kebudayaan Islam dalam Pembentukan Identitas Aceh
Tulisan ini akan mengulas mengenai bagaimana identitas Aceh yang dibangun dengan pengaruh kebudayaan Islam yang melekat erat
Oleh: Cut Novita Srikandi, M. Hum *)
Identitas selalu menjadi topik yang hangat untuk dibahas. Identitas selalu ingin dimiliki oleh setiap orang, tetapi tidak jarang juga identitas menjadi sumber ketegangan dan konflik.
Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sering mengalami ketegangan dan konflik terkait identitas.
Adanya konflik dan ketegangan disinyalir karena adanya konsep yang keliru mengenai identitas, yakni saat identitas dimaknai sebagai sesuatu yang stabil dan tidak bisa berubah.
Tulisan ini akan mengulas mengenai bagaimana identitas Aceh yang dibangun dengan pengaruh kebudayaan Islam yang melekat erat dan melingkupi seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Identitas bersifat cair. Dengan kata lain, identitas dapat berubah-ubah, tidak tetap dan terus mengalami perkembangan.
Pernyataan ini didapat dari pembacaan terhadap tulisan Hall (1993) yang berjudul Cultural Identity and Dispora.
Hall menempatkan identitas sebagai 'produksi', yang tidak pernah lengkap, selalu dalam proses, dan selalu didasari di dalam, bukan di luar dan merupakan suatu representasi (hal. 222).
Pernyataan ini seolah menentang autentikasi dari identitas budaya.
Menurut Hall (Hal. 223), terdapat dua cara berpikir yang berbeda tentang 'identitas budaya'.
• Para Miliarder Dunia Ini Makin Kaya di Tengah Pandemi Covid-19, Dari Jeff Bezos hingga Mukesh Ambani
Pertama, ia mendefinisikan 'identitas budaya' sebagai budaya bersama, semacam pengejawantahan ingatan kolektif, bersembunyi di dalam banyak 'identitas' lainnya baik yang lebih dangkal maupun buatan yang dipaksakan, yang dimiliki orang-orang dengan sejarah bersama dan kepemilikan leluhur bersama.
Dalam pengertian definisi ini, identitas budaya mencerminkan pengalaman sejarah umum dan kode budaya bersama yang memberi kita 'satu tubuh', dengan kerangka acuan dan makna yang tetap, tidak berubah dan terus menerus.
Kedua, identitas selalu terkait dengan 'being' dan ‘becoming’. Dengan kata lain identitas tidak hanya terikat dengan masa lalu tetapi juga masa depan.
Identitas bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan ia melampaui tempat, waktu, sejarah dan budaya. Namun, seperti segala sesuatu yang besifat historis, identitas akan terus mengalami transformasi.
Idenitas jauh dari makna ‘tetap’ ataupun ‘kekal’, melainkan tunduk pada 'permainan' sejarah, budaya, dan kekuasaan secara terus-menerus.
Identitas adalah nama yang kita berikan untuk berbagai cara yang kita diposisikan oleh, dan memposisikan diri di dalam, narasi masa lalu (hal. 225).
• Refleksi 3 Tahun Aceh Hebat, Teladanilah Abu Bakar dan Umar Bin Abdul Aziz, Bukan Pinokio
Aceh memiliki keunikan tersendiri dibanding daerah lain yakni melekat kuatnya identitas keislaman yang menjiwai seluruh aspek kehidupan. Islam merupakan identitas sudah melekat erat bagi masyarakat Aceh.
Bahkan kuatnya identitas Islam yang menjadi karakter masyarakat Aceh telah ada sejak zaman kolonialisme dan menjadi simbol pemersatu dalam melawan penjajahan.
Namun apabila ditinjau dari masa sebelum datangnya Islam ke Aceh, sebenarnya identitas Aceh jauh berbeda.
Lombard (1991) menyatakan bahwa jauh sebelum awal abad XVI, daerah yang sekarang dikenal sebagai bumi serambi Mekkah ini sangat jauh dari identitas keislamannya.
Di abad ke IX, ditemukannya beberapa catatan dan prasasti seperti prasasti Tamil di Thanjavur tahun 1030 beberapa teks Arab menunjukkan bahwa daerah Aceh disebut sebagai daerah Lamuri.
Lamuri sebuah tempat yang menjadi pusat kontak budaya dan perdagangan dengan berbagai komunitas dunia mulai dari Cina hingga pantai Coromandel di India.
Pada tahun 1323, Padre Odoric de Pordenone dengan marah menunjuk pada adat kebiasaan “biadab” (poligami dan kanibalisme) di negeri Lamuri tersebut.
Bahkan, di tahun 1365 Nagarakertagama menyebut Tamiang, Perlak, Samudra, Barus, Lamuri berada dibawah pengaruh Majapahit.
• Kunjungi Imigran Rohingya di Lhokseumawe, Tim Kemenko Polhukam RI Minta TNI-Polri Bantu UNHCR
Dari catatan sejarah ini, terlihat bahwa identitas Aceh dengan corak keislaman yang begitu kental merupakan sebuah proses “becoming” dari sebelumnya.
Terbukti, dengan berubahnya identitas Hindu dan Budha menjadi Identitas Islam sebagai akibat dari masuknya jalur perdagangan timur Tengah dan India ke Aceh dengan membawa ajaran Islam masuk ke Aceh sehingga mampu mengubah identitas seluruh masyarakat Aceh.
Identitas Islam yang menjadi corak kebudayaan masyarakat Aceh bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni sejak zaman pra-kemerdekaan (kerajaan) hingga pasca-kemerdekaan.
Oleh karena sifat identitas tidak tetap, maka terkadang identitas membutuhkan suatu upaya untuk dipertahankan oleh seseorang ataupun kelompok masyarakat.
Upaya tersebut hadir dalam bentuk artikulasi sebagai cara mengekspresikan suatu identitas yang dilatarbelkangi oleh suatu kondisi dan kepentingan.
• Begini Kronologis Mantan Napi Asimilasi Covid-19 dan Rekannya Membobol Kedai di Lhokseumawe
Aceh juga memiliki kepentingan untuk mengartikulasi identitas mereka. Secara geografis, letak Aceh memiliki potensi alam yang cukup besar.
Aceh merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam, terutama gas dan minyak bumi, hasil hutan dan lautan.
Potensi alam yang tersimpan di Aceh tidak hanya sumber daya alamnya saja, melainkan juga keindahan alamnya yang mampu dikembangkan menjadi pariwisata.
Artikulasi identitas dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengekspresikan simbol-simbol budaya yang menjadi penanda identitas suatu daerah.
Aceh juga memiliki cara tersendiri untuk membentuk artikulasi, baik itu dilakukan melalui simbol-simbol budaya maupun melalui berbagai perayaan.
• 15 Hektar Padi Terancam Gagal Panen Akibat Banjir Rob di Meulaboh, Tambak Ikan Juga Kena Dampak
Di Aceh, artikulasi indentitas keislaman biasanya ditunjukkan melalui perayaan hari-hari besar kegamaan yang dibuat dalam berbagai festival.
Festival ini biasanya diisi oleh ragam keseniaan bernuansa Islam, seperti tari seudati yang berisi nilai-nilai sufistik Islam, kesenian Rapai’yang memuat ajaran Islam, tari Saman yang diisi oleh lantunan syair-syair keagamaan, dan berbagai bentuk kesenian lainnya.
Berbagai bentuk kesenian daerah ini telah dikenal tidak hanya di seluruh Indonesia, tetapi telah dikenal juga secara mancanegara.
*) PENULIS merupakan dosen prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah Tangerang yang saat ini tengah menyelesaikan disertasinya pada Program Studi Ilmu Susastra Universitas Indonesia.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis