Sejarah Kedatangan Pengungsi Rohingya di Aceh, Terusir dan Menjadi Etnis Paling Teraniaya di Dunia

Meski telah tinggal puluhan hingga ratusan tahun di Rakhine, orang-orang Rohingya ini tidak pernah diakui sebagai warga negara oleh Pemerintah Myanmar

Penulis: Zaki Mubarak | Editor: Faisal Zamzami
SERAMBINEWS.COM/ZAKI MUBARAK
Warga etnis Rohingya ditampung Gedung Balai Latihan Kerja (BLK) di Desa Meunasah Mee, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, September 2020. 

Kemunculan permukiman muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman kerajaan Mrauk U khususnya pada zaman raja Narameikhla (1430-1434).

Setelah dibuang ke Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali berkat bantuan sultan bengal.

Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk muslim dari bengal ke wilayah Arakan, Rakhine.

Dalam perkembanganya jumlah pemukim muslim dari Bengal terus bertambah.

Terutama ketika Ingris menguasai Rakhine. Karena kurangnya populasi Rakhine, Ingris memasukan banyak orang Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani.

Pada tahun 1785, kerajaan Burma (Myanmar) menginvasi wilayah Rakhine sehingga berhasil dikuasai namun tidak mengakui keberadaan Etnis Rohingya.

Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukiman muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang.

Jumlah itu terus bertambah dari tahun ke tahun, penduduk lokal yang mayoritas merupakan penganut Budha merasa khawatir.

Sehingga timbul lah konflik.

Terdapat beberapa eskalasi konflik di Myanmar terhadap etnis Rohingya, antara lain: pada tahun 1942 pemerintah Myanmar mempropakasi penganut Budha di Arakan hingga terjadi kerusuhan besar yang menyebabkan 100.000 Etnis Rohingya terbunuh dan ratusan ribu lainnya melarikan diri ke bengal Timur.

Pada tahun 1949 kerusahaan yang dicetuskan Burma Territorial Forces (BTF) terjadi lagi dengan menewaskan ribuan muslim serta ratusan rumah dan masjid dimusnahkan.

Tahun 1962 terjadi kudeta di Myanmar oleh Jenderal Ne Win terhadap Presiden Aung San, disusul dengan adanya operasi militer terhadap etnis Rohingya yang dikenal dengan operasi King dragon (Naga Min) pada tahun 1978 yang mengakibatkan 200.000 Etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh dan negara-negara tetangga.

Pada tahun 2014 pemerintah Myanmar melarang penggunaan istilah Rohingya dan mendaftarkan orang-orang Rohingya sebagai orang bengali dalam sensus penduduk saat itu.

Pada bulan Maret 2015 pemerintah Myamar mencabut kartu identitas penduduk bagi orang-orang Rohingya yang menyebakan mereka kehilangan kewarganegaraan dan tidak mendapatkan hak-hak politik.

Akibatnya etnis Rohingya mencari perlidungan ke kamp pengusian di India dan Pakistan, sehingga karena atas dasar itulah Etnis Rohingya ditolak warga negaranya untuk kembali lagi ke Burma atau Myanmar, serta terjadi penolakan terhadap Etnis tersebut.

Namun berbeda dengan negara lain, sejak tahun 2009, Provinsi Aceh selalu menjadi tempat terdamparnya para manusia perahu tersebut, tujuan utama mereka adalah ingin menuju ke Negara Malaysia.

Namun karena susahnya untuk masuk ke Negara Jiran itu, sehingga mereka terkantung-kantung di perairan Selat Malaka, sehingga terdampar ke perairan Provinsi Aceh.

Secara geografis, Aceh memang berbatasan dengan Selat Malaka.

Hal itu dibenarkan oleh salah seorang Etnis Rohingya saat dijumpai SerambiWiKI di Gedung BLK Lhokseumawe, yang bernama Ziabur Rahman (33) Rohingya gelombang pertaman, Kamis (24/9/2020) dirinya tidak bisa membayangkan bagaimana kekejaman dan peristiwa pembantaian di negaranya.

Pembantaian tersebut berada di banyak-banyak desa, sehingga membuat sebagian besar para Etnis Rohingya meninggalkan tanah kelahirannya, untuk menyelamatkan diri agar tidak dibantai.

“Saya tidak sanggup membayangkan tentang pembantaian disana dan saya pusing untuk menjelaskannya, karena sangat mengerikan sekali. Banyak sekali desa-desa yang dibakar, pokoknya sangat mengerikan sekali,” ujar Ziabur.

 Dirinya sempat terombang-ambing selama empat bulan di kapal, ketika belum terdampar di perairan Aceh. Sehingga segala kebutuhan logistik sangat terbatas, kondisi kapalnya juga sangat tidak memadai.

Ketika dalam perjalanan tersebut, dirinya bersama para mmigran Rohingya yang lainnya terpaksa harus minum air laut, karena ketersediaan air minum sudah habis sama sekali. Bahkan sebagian ada yang meninggal dunia.

“Karena sering minum air laut, maka sebagian teman-teman kami mengalami sesak nafas karena terlalu banyak minum air asin, selama berada di kapal memang semua logistik menjadi terbatas,” terang Ziabur Rahman.

 Sementara itu, Ketua PMI Kota Lhokseumawe Junaidi Yahya mengatakan, Ketua PMI Kota Lhokseumawe Junaidi Yahya mengatakan, mengatakan berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) terhadap perempuan Rohingya, yang terdampar di penampungan India, Malaysia dan Indonesia.

Maka menunjukkan bahwa, ada sekitar 60 persen perempuan tersebut terpaksa menikah dalam usia dini sebelum usia 16 dan 17 tahun.

Sehingga pengantin anak-anak itu, disinyalir sebagai korban perdangangan manusia.

Tambahnya, terhitung sejak bulan Agustus tahun 2017, maka lebih dari 740.000 warga Rohingya telah meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, karena mengalami kekerasan secara brutal.

 “Pengungsi Rohingya memiliki hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat, namun Pemerintah tidak diperbolehkan melakukan pemulangan kecuali hal tersebut berlangsung aman, sukarela,” ucapnya.

 Sambungnya, kita dari PMI yang terus berupaya untuk mendampingi dan berusaha untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai pengungsi dapat terpenuhi. (SerambiWIKI/Zaki Mubarak)

(Artikel ini telah tayang Serambiwiki.tribunnews.com)

Pemuda 18 Tahun Perkosa Mayat Bocah di Kebun Karet, Masih Ada Hubungan Keluarga, Terungkap Motifnya

Cegah Penanaman Ganja, Ini yang disarankan Kapolres Aceh Besar

DN Aidit Pentolan PKI Paling Diburu TNI, Begini Nasib Istri dan Anaknya Setelah Peristiwa G30S PKI

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved