Kupi Beungoh
Virus Mental, Virus Biologi, dan Nasib Rakyat (II)
Karakter Trump di AS, Boris Jhonson di Inggris, dan Bolsanero di Brazil memberikan penjelasan kenapa negara mereka gagal dalam menangani pandemi
Yang paling mengenaskan adalah indikator kematian tenaga kesehatan dibandingkan dengan jumlah kasus positif.
Aceh sampai kemarin telah menderita 8 tenaga kesehatan, 6 dokter dan 2 perawat meninggal dalam tugas memberi pelayanan kepada pasien Covid-19.
Jika angka ini dibandingkan dengan jumlah kasus positif dan dikonversikan kepada angka per 100.000 kasus maka angkanya adalah 141.
Artinya, jika tidak ada upaya pengendalian yang serius dan perlindungan ketat terhadap para tenaga kesehatan seluruh Aceh, jika angka 100.000 kasus positif Aceh tercapai, peluang korban pekerja kesehatan Aceh adalah 141 orang.
Angka ini mengantarkan Aceh menjadi salah satu juara global korban tenaga kesehatan, menggeser Indonesia, pada posisi dunia.
• Pakar Psikologi Ini Ungkap Kunci Kesembuhan Pasien Covid-19, Ternyata Simpel dan Mudah Dilakukan
• Donald Trump: Saya Kebal Covid-19
Laporan Amensty Internasonal pada pertengahan September 2020, menunjukkan 4 negara tertinggi kematian tenaga kesehatan per 100.000 kasus positif adalah Mexico (234), Inggris (219), Mesir (166), dan Indonesia (94).
Angka Aceh yang berada pada 141 jelas menggeser angka nasional dan sekaligus merapat ketat kepada angka korban tenaga kesehatan Mesir.
• Jika Anda Mengidap Penyakit Asam Urat, Jangan Coba-coba Konsumsi 12 Makanan & Minuman Ini
Covid-19 dan Mental Bencana Alam Biasa
Kecepatan pertumbuhan angka penyebaran yang semakin cepat yang terpantau dengan indikator yang bartuk nampaknya tidak ditanggapi secara cepat juga oleh pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten kota maupun propinsi. Kecuali untuk sejumlah kecil kepala daerah tingkat II yang sangat terbatas, hampir semua pemda di Aceh pada dua tingkatan ini belum menunjukkan suatu sikap kedaruratan, sikap publik dalam bahaya, dan sikap darurat.
Ada kesan yang tertangkap, pandemi ini dianggap tak lebih seperti penanganan bencana alam banjir atau bencana demam berdarah biasa yang pada akhirnya akan selesai sendiri.
Ini terbukti dengan ungkapan optimisme salah seorang kepala daerah tingkat II baru baru ini yang dengan gagah berani menyebutkan status daerahnya akan kembali ke status warna hijau.
Alasannya hanya satu, pada beberapa hari terakhir laporan kasus positif di wilayah adminstratifnya menurun, dan itu membuat dia optimis bahwa daerahnya akan segera hijau.
Padahal, yang terjadi pemerintah dibawah kewenanganya sampai hari ini sama sekali belum melakukan test yang agresif, tracing yang intensif, yang kemudian diikuti dengan isolasi mandiri, ataupun karantina terstruktur oleh pemerintah.
Statemen itu adalah sampel yang sangat khusus dan bukan kasus, karena bagi pemerintah daerah lainnya di Aceh walaupun tidak berujar seperti itu, namun tindakannya juga mencerminkan apa yang diucapkan oleh sejawatnya.
Praktis di seluruh Aceh hari ini, imbauan Presiden Jokowi untuk test dan tracing tidak dilakukan secara sungguh-sungguh.
Test tidak lebih hanya sebuah kegiatan menunggu di rumah sakit, dan tentunya hanya ditujukan kepada yang datang dengan gejala.
Jika gejala tidak ada, kadang-kadang bahkan tidak dilayani.(Bersambung)
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.