Pakar Nilai SKB 3 Menteri Tentang Penggunaan Pakaian Seragam di Sekolah Bakal Timbul Persoalan
Ia mengungkapkan dalam keputusan itu, Pasal 29 ayat 2 menggunakan kata 'kemerdekaan', bukan 'kewajiban' memberikan ruang kepada siapa pun untuk memelu
Ia mengungkapkan dalam keputusan itu, Pasal 29 ayat 2 menggunakan kata 'kemerdekaan', bukan 'kewajiban' memberikan ruang kepada siapa pun untuk memeluk agama apa pun.
SERAMBINEWS.COM - Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri), yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Agama (Kemenag) dinilai akan menimbulkan persoalan.
Ya, keputusan ini mengatur tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri, menyampaikan hal ini, Sabtu (6/2/2021).
Ia mengungkapkan dalam keputusan itu, Pasal 29 ayat 2 menggunakan kata 'kemerdekaan', bukan 'kewajiban' memberikan ruang kepada siapa pun untuk memeluk agama apa pun.
Lebih lanjut, ia mengatakan kata 'kemerdekaan' dapat ditafsirkan sebagai jaminan bahwa anak atau peserta didik, bisa berperilaku sekehendak mereka sendiri.
• Alhamdulillah, Kemendikbud Lanjutkan Bantuan Kuota Internet Gratis, Akan Dimulai Maret 2021
• Dibuang Manchester United, Jesse Lingard Langsung Unjuk Gigi di West Ham United
• Tawarkan Jalan Tengah, KPU Usul Pilkada Serentak Digelar 2026 & Jabatan Kepala Daerah Diperpanjang
"Anak atau peserta didik, berkat kata 'kemerdekaan', seakan bisa mengabaikan kewajiban mereka untuk berbusana tidak sesuai dengan ketentuan agama mereka.
Spesifik, siswi muslimah merdeka untuk berjilbab maupun tak berjilbab," ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (6/2/2021).
Lantaran hal tersebut, ia berharap perlu dilakukan perumusan ulang atas pasal 29 ayat 2 UUD, untuk menutup celah bagi interpretasi menyimpang.
Lebih lanjut, ia memberikan saran untuk mengganti kata "kemerdekaan" pada pasal tersebut.
"Kata "kemerdekaan" perlu diberikan penjelasan tentang seberapa jauh kemerdekaan itu diterapkan dan tidak diterapkan pada subjek anak-anak," ujarnya.
Reza juga mengungkapkan, bahwa frasa 'memberikan kebebasan kepada peserta didik' dapat bertentangan dengan dinamika psikologis anak itu sendiri.
Ia menyebut, tidak ada pasal dalam undang-undang (UU) yang mewajibkan dipenuhinya pendapat anak.
"UU Perlindungan Anak memang menjamin bahwa anak berhak mengeluarkan pendapatnya.