Kupi Beungoh
Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (I)
Kami mendapat kabar, mereka ingin diskusi dengan delegasi Indonesia, terutama dari Aceh, tentang Jenderal Van Heutz.
Bahkan seorang wartawan dan penulis yang juga anggota ketenteraan Belanda pada masa itu menulis kesaksiannya tentang bagaimana Van Heutz melakukan pembunuhan dan bumi hangus kantong-kantong perlawanan rakyat Aceh.
Terakhir saya mengetahui permugaran monumen Van Heuzt itu dilanjutkan dengan mengganti tema monumen itu menjadi monumen persahabatan Indonesia-Belanda.
Narasinya telah diubah, tetapi tetap saja ada Van Heuzt di situ dengan dua memori yang berbeda.
Satu ia mewakili keserakahan dan kekejaman, satu lagi adalah heroisme dan patriotisme kebangsaan Belanda.
Bagi Belanda secara keselurahan cerita penjajahan Indonesia oleh Belanda, termasuk cerita “kehebatan” Van Heutz dan penaklukan Aceh yang tak pernah tuntas adalah heritage, adalah “warisan kultural “ yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Belanda hari ini.
Masalah baik atau buruk diserahkan kepada warga Belanda atau siapapun yang menilainya.
Dan itu adalah sekali lagi warisan.
Baca juga: Sejarah Aceh dan Turki - Ketika Ratusan Tentara Turki Usmani Menikahi Perempuan Aceh
Baca juga: VIDEO - Pecinta Sejarah Aceh Teliti Seni Arsitektur Kuno di Pidie
Semangat Muzakir Walad
Semangat menjaga warisan itu tidak hanya dimiliki oleh pemerintah kota Amsterdam rupanya.
Semangat itu juga dimiliki oleh Allahyarham Muzakir Walad, gubernur Aceh pada masa awal Orde Baru.
Apa yang dilakukan oleh Muzakir Walad sesungguhnya lebih hebat dari apa yang dilakukan oleh pemerintah kota Amsterdam, bahkan pemerintah Belanda sekalipun.
Apa yang ia lakukan adalah memberi tempat kepada penguburan kembali Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler di pemakaman Peucut pada tahun 1978, di Kota Banda Aceh.
Ia “membawa” kembali tulang belulang jenderal “kaphe” itu ke Aceh sekaligus memberi penghormatan terhadap musuh secara kesatria.
Hal itu dilakukan dengan jujur dan cerdas oleh Muzakir Walad.
Bahkan menurut sebuah cerita, Ketika ia diundang ke Belanda setahun setelah itu, hal pertama yang ia lakukan setelah berbagai acara resmi adalah mengunjungi dan menunjukkan rasa hormat di monumen Van Heutz.