Kupi Beungoh

Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (I)

Kami mendapat kabar, mereka ingin diskusi dengan delegasi Indonesia, terutama dari Aceh, tentang Jenderal Van Heutz.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Ahmad Humam Hamid, Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala. 

Jasad Hitlet menjadi bukti, bahwa keangkuhan dan kedigdayaan Belanda, salah satu kekuatan terbesar ekspansionis Eropah pada abad 17, 18, dan 19, pernah bertemu dengan lawannya yang sepadan dengan sebuah komunitas bangsa Timur yang secara teknologi dan strategi perang belum “terbukukan”

Muzakir Walad adalah pembelajar yang tak pernah berhenti bertanya dan membaca.

Ia hanya overstee- Letkol CPM ketika dilantik menjadi Gubernur Aceh.

Tapi Walad tahu apa arti kawasan dan wawasan sekaligus.

Aceh pada masa itu belum punya doktor, apalagi sejarawan berpendidikan tinggi dari Eropah atau AS.

Yang ada hanya sejumlah pemerhati dan pencinta sejarah yang kadang datang menjadi kawan diskusinya.

Muzakir Walad tahu betapa ekspedisi pertama Belanda ke Aceh tak ubahnya sebagai invasi terbesar dalam sejarah pada mada masa itu.

Dan memang benar, Belanda mengakui dan menulis dengan baik bahwa perang Aceh adalah perang termahal, tersulit, dan terparah dalam sejarah perang di kawasan jajahan Hindia Belanda.

Ekspedisi pertama itu dipimpin oleh Kohler, seorang mayor Jenderal yang memulai karirnya dari seorang kopral.

Ia berpengalaman perang di Eropah, terutama di kawasan Flandria, Belgia.

Ia berpengalaman puluhan tahun dalam perang pejajahan di di berbagai tempat,utamanya di pesisir barat Sumatera, dan juga di Pulau Bangka.

Belanda mengirim 3.000 serdadunya dengan kapal perang besar komando Citadel Antwerpen ditambah 6 kapal perang lainnya, 8 kapal peronda, 6 kapal peggangkut, dan 5 kapal layar (Alfian 1997).

Ini adalah gugus armada tercanggih untuk tidak menyamankan dengan sejumlah invasi AS kebeberapa tempat di dunia pada abad ke 20.

Yang dituju adalah sebuah kerajaan di Ujung Sumatera yang pernah besar namun saat itu sedang mengalami kemunduran yang sangat parah dan nyaris hilang dari sejarah.

Ada kalimat sangat penting yang tertulis dalam sejarah yang ingin dijadikan objek budaya material sejarah oleh Muzakir Walad.

“O, God, ik ben getroffen! (ya Tuhan aku kena)”, desah Kohler ketika ia terkena peluru sniper Aceh di kawasan Mesjid Raya.

Saat Kohler sedang menginspeksi kawasan yang menurut penilaian militer sudah dikalahkan dan dikuasai.

Tak ada yang menyangka, sang jenderal barat yang sudah kenyang asam garam perang di tingkat dunia ini, meregang nyawa dihantam peluru dari senjata pasukan Aceh yang ditembakkan dari jarak jauh.

Baca juga: Penyair Baca Puisi tentang Aceh, Airmata Fachry Ali Menetes pada Peluncuran Buku Seperti Belanda

Artefak Itu Adalah Kuburan Kohler

Sulit membayangkan entah apa namanya “sniper” dalam bahasa Aceh.

Konon katanya keahlian itu didapatkan tentara Aceh dari para pelatih militer Ottoman (Turki) di akademi militer di Bitay, puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya.

Istilah sniper ini yang kemudian sangat populer Ketika Perang Dunia ke II, dan terakhir dalam perang Balkan Bosnia Herzegovina.

Aceh telah mengenalnya lebih dari 300 tahun yang lalu, dengan korban seorang jenderal Belanda.

Jika tidak ada bukti akurat, tentu sangat sulit menjelaskan sejarah ini bagi generasi Aceh.

Lebih sulit lagi untuk menjelaskan kepada para pendatang dari luar dan orang Belanda, bahwa Aceh pernah menjadi lawan seimbang bagi Belanda.

Maka, Muzakir Walad berusaha keras mencari ikon sejarah perang Aceh melawan Belanda

Mungkin sejarah itu ada dalam tulisan dan pembahasan yang begitu banyak, tapi harus ada sebuah artefak budaya yang dapat dipahami secara ringkas, sederhana, serta dapat langsung diterima akal.

Penataan Kota Jakarta oleh Ali Sadikin, memberikan petunjuk bagi Muzakir Walad.

Benda yang dicarinya adalah adalah jasad Kohler, sang jenderal Belanda yang tewas dihantam peluru indatu sniper Aceh.

Ya, artefak itu adalah kuburan Kohler.

Muzakir Walad yang juga fasih berbahasa Inggris dalam dialog imaginer kita mungkin akan berkata kepada orang asing yang ingin tahu tentang perang Aceh kira-kira begini.

If you want to know about Aceh War against the Dutch, you don’t need to read history books. Just come and see Kohler’s grave in Aceh, then you will know everything.

(Jika Anda ingin mengetahui tentang Perang Aceh melawan Belanda, Anda tidak perlu membaca buku-buku sejarah. Datang saja dan lihat makam Kohler di Aceh, maka Anda akan tahu segalanya).

Kuburan Kohler itu adalah heritage, warisan, budaya material yang tak ternilai harganya bagi Aceh, bagi Indionesia, dan bagi kemanusiaan.(BERSAMBUNG)

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved