Kupi Beungoh
Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (3- Habis)
Cerita Aceh sebagai salah satu kerajaan maritim Islam terbesar Nusantara nyaris hanya ada dalam tulisan pengembara dan beberapa catatan sejarah.
Pernahkan kita membayangkan Aceh akan memiliki statue tiga tokoh penting dunia yang pernah ke Aceh dan memberikan kesaksiannya tentang masyarakat dan peradabannya?
Pernahkan kita membayangkan akan ada statue Marco Polo di Peureulak, dan Ibnu Batutah di Samudra Pasai?
Pernah kita berpikir tentang statue Zeng-He atau Cheng-Ho di Banda Aceh?
Cukup banyak statue pengembara global terbesar abad ke 15 Marco Polo di dunia, mulai dari Venesia, Barcelona, Bejing, dan Ulan Bator, dan cukup banyak lagi di tempat lain yang disinggahinya.
Bukankah Ibnu Batutah yang menulis dalam catatannya pada abad ke 14 tentang Sultan Al Malik Zahir Jamaludin yang memerintah negeri Pasai yang sangat taat dan sedang memerangi penyembah berhala ketika ia tiba dan tinggal di Pasai.
Bukankah laksamana terkenal dinasti Ming, Zeng-He atau Cheng Ho pernah mengunjungi Pase dan membawa hadiah kaisar Yonglee berupa lonceng Cakra Donya yang hari ini kita lihat di Museum Aceh?
Jejak Laksamana Cheng Ho di Aceh
Mampukah Aceh membuat narasi material tentang kedatangan Islam ke Aceh, menyelesaikan berbagai versi, atau bahkan menampakkan berbagai versi yang ada tentang tanah pertama Islam antara Peurelak, Samudera Pasai,dan terakhir kerajaan Jeumpa.
Tahukah kita bahwa Barus yang dahulunya berama Fansur berikut dengan seluruh kawasan Singkil yang terkenal dengan kapur barusnya ke Persia, India, dan Timur Tengah adalah bagian dari kawasan kerajaan Aceh, dan bahkan memiliki dua ulama besar legendaris Aceh, Nusantara dan Dunia Melayu.
Gampong Pande Saksi Bisu Aceh Pernah Jaya di Abad ke 13
Jejak Akademi Militer Turki Usmani di Aceh, di Sini Ratusan Tentara Ottoman Dimakamkan
Tanggung Jawab Kepada Anak Cucu
Elite Aceh sudah saatnya menyadari dan bersikap untuk sebuah upaya sistematis revitalisasi budaya Aceh secara menyeluruh di tengah gempuran berbagai elemen baru budaya dan kehidupan melalui konektivitas fisik dan digital yang tak terhindarkan.
Tidak dapat dibantah evolusi peradaban global kini semakin gencar dan akan semakin menganggu identitas berbagai pelosok masyarakat di dunia.
Di tengah hiruk pikuknya gelombang modernitas, jawaban apa yang mesti kita berikan kepada anak cucu kita, ketika mereka bertanya “siapa kita”? yang sebenarnya.
Peristiwa Gampong Pande sebaiknya menjadi pemicu bagi elit Aceh untuk berpikir dan bertindak yang didasari kepada tangung jawab sejarah yang mereka pikul.
Janggal rasanya ketika ada partai lokal, konon lagi Partai Aceh yang tidak pernah diketahui posisi politiknya dalam penguatan identitas daerah yang direstui oleh konstitusi, seperti yang terjadi dengan Gampong Pande.
Penyelesaian kasus Gampong Pande adalah sebuah keniscayaan agar supaya tidak terjadi “casus belli” yang membuat publik Aceh terbelah, dan akan menjadi ingatan buruk yang permanen.
Sulit membayangkan bukti tulisan Denys Lombard tentang Aceh sebagai kerajaan maritim, ketika situs jantung maritim di kawasan sekitar Kuala Krueng Aceh sampai ke Ulee Lheue dan Krueng Raya hilang tak berbekas, ditelan oleh logika ekonomi, kesejahteraan, dan derap pembangunan.
Mudah-mudahan tidak ada label baru untuk mayarakat Aceh, terutama elitenya sebagai masyarakat yang bebal sejarah.(*)
Masya Allah, Indahnya Mushaf Alquran Kuno Aceh, Bainah Indatu di Kertas Impor dari Eropa
BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA >>>>> DI SINI
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.