Berita Subulussalam

Mengenang 12 Tahun Wafatnya Abuya Tanah Merah, Pejuang Pendidikan di Aceh Singkil dan Subulussalam

Ungkapan duka cita tersebut terus mengalir dari ponsel ke ponsel yang kala itu hanya bisa menggunakan aplikasi pesan singkat SMS

Penulis: Khalidin | Editor: Mursal Ismail
For Serambinews.com
Almarhum Syekh Tgk Haji Bahauddin Bin Muhammad Tawar atau Buya Tanah Merah 

Ungkapan duka cita tersebut terus mengalir dari ponsel ke ponsel yang kala itu hanya bisa menggunakan aplikasi pesan singkat SMS  (sebelum zaman BBM dan android).

Laporan Khalidin Umar Barat | Subulussalam

SERAMBINEWS.COM, SUBULUSSALAM - Kalimat Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, meluncur dari mulut ke mulut dan sebagian melalui pesan singkat SMS di ponsel, sejak pagi Kamis (3/4/2008) di Aceh Singkil hingga ke Kota Subulussalam.

Ungkapan duka cita tersebut terus mengalir dari ponsel ke ponsel yang kala itu hanya bisa menggunakan aplikasi pesan singkat SMS  (sebelum zaman BBM dan android).

Ini menyusul kepulangan seorang ulama besar al-’Alim al-Allamah al-’Arif bi-Allah asy-Syekh Tgk Haji Bahauddin Bin Muhammad Tawar ke hadirat Ilahi Rabbi.

Yah, 12 tahun atau sudah 1,5 windu, sang ulama besar di Aceh Singkil hingga Kota Subulussalam tersebut berpulang ke rahmatullah.

Kala itu, kabar meninggalnya sosok pejuang pendidikan dan ulama yang kharismatik membuat masyarakat di Aceh Singkil dan Subulussalam kehilangan.

Baca juga: Cuaca Buruk, Banyak Nelayan tak Melaut, Harga Ikan di Pasar Meulaboh Naik Drastis, Ini Rinciannya

Adalah Haji Bahauddin Tawar yang akrab di telinga muslimin-muslimat Aceh Singkil dan Kota Subulussalam dipanggil Abuya.

Dia meninggal dunia dalam usianya ke-81 tahun di kediamannya, Komplek Pondok Pesantren Darul Muta’alimin, Desa Tanah Merah, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil.

Almarhum Abuya dimakamkan di pemakaman keluarga, selepas Shalat Zhuhur sekitar pukul 14.00 WIB, di sebelah Mushalla yang tak jauh dari rumahnya tepatnya areal kompleks Ponpes Darul Muta’laimin.

Abuya Tanah Merah adalah pejuang pendidikan yang sederhana lahir pada tanggal 5 Februari 1927 di Desa Seping, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil.

Di zaman Belanda, Desa Seping dikenal sebagai daerah transit para pedagang yang berniaga ke daerah ini.

Dalam kiprahnya di dunia pendidikan, beliau berhasil mempelopori berdirinya ratusan lembaga pendidikan baik formal maupun non formal.

Baca juga: VIDEO Adu Cantik Ikan Cupang Pada Ajang Koetaradja Betta Battle di Banda Aceh

Tak hanya itu, sebanyak 68 muridnya saat 2008 telah memimpin pesantren dan lembaga pendidikan lainnya.

Beliau dinilai patut menyandang gelar pejuang dan tokoh pendidikan.

Pasalnya, kala Aceh Singkil termasuk Kota Subulussalam belum mekar dan jauh dari lembaga pendidikan, Buya Tanah Merah membangun pesantren untuk para putra-putri sekolah.

Dia juga mengirimkan para muridnya untuk mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) di mana kala itu lembaga sekolah level Sekolah Dasar (SD) saja masih minim apalagi tingkat SMP dan SMA.

Walau dia bukan  penulis yang piawai merangkai bunga-bunga kata. Namun sosok Buya Tanah Merah termasuk orator yang bisa membakar massa di podium.  

Ia berbicara secara bersahaja. Beliaupun menulis dengan kalimat sederhana. Almarhum adalah guru yang ingin agar murid-muridnya mudah menangkap apa yang diterangkannya. Dengan ketulusan dan kesederhanaan itulah dia berjuang.

Baca juga: Bangsamoro Godok RUU Pemakaian Kalender Hijriah dan Masehi, Digunakan Pada Seluruh Surat Resmi

Penjabat Wali Kota Subulussalam yang kala itu dipangku sosok H Asmauddin SE mengatakan, kepergian almarhum Abuya Tanah Merah benar-benar merupakan kehilangan besar bagi umat Islam di Kota yang dipimpinnya. "Kami kehilangan ulama besar," katanya.

Hal yang sama juga diungkapkan Keluarga Besar Rabithah Thaliban Aceh (RTA) Cabang Aceh Singkil. "Kami dari kalangan santri sangat kehilangan. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosanya," ujarnya Tgk Maksum LS S.PdI yang tak mampu menahan dukanya.

Semasa hidupnya, Tgk Bahauddin Tawar aktif menyiarkan agama Islam di tanah Syekh Abdurrauf Assingkily.

Sejak tahun 1977-an, seperti yang tertulis pada salah satu buku karangan Ust Umma Abidin S.PdI salah seorang murid Abuya Tanah Merah dijelaskan, sang guru berdakwah keliling Aceh Singkil meskipun tidak diundang oleh masyarakat.

Malah beliau tampak proaktif memberikan pengertian kepada umat dengan memberikan sepucuk surat jadwal ceramah yang dikirim ke seluruh pelosok Aceh Singkil.

Minimal satu minggu bahkan sampai satu bulan beliau bersafari dakwah dari satu desa ke desa lain.

Tercatat dalam perjalanan dan kehidupan sang abuya ini, banyak pemikiran emas beliau diseputar dunia pendidikan Islam yang dapat dijadikan sebagai penambah wawasan dan khazanah keilmuan kepada para pecinta dunia pendidikan Islam.

Antara lain Sang Guru itu berpendapat tujuan dari proses pendidikan Islam adalah pengabdian total kepada Allah Murrabby (pendidik) yang hakiki dan tujuan akhir pengabdian kepada Allah secara total (kaffah) itu adalah kemenangan islam bagi diri pribadi kepada ummat.

Dalam perkembangan berikutnya, ulama panutan ini, bergerak khusus di bidang dakwah islamiyah, meningkatkan pendidikan Islam melalui Pondok Pesantren Darul Muta’alimin dan majelis persulukan Tariqat Na’sabandiyah, memperbaiki akidah umat dari peribadatan yang salah.

Semua tampaknya dilakukan ulama panutan itu, untuk mengeluarkan umat Islam dari kebodohan menuju petunjuk Islam dalam bidang masing-masing.

Bagian lain yang dapat dirasakan dalam kehidupan bermasyarakat, dakwah Islam dan pendidikan Islam melalui majelis taklim dan suluk memberikan ketenangan tersendiri di hati umat Islam.

Almarhum meninggalkan seorang istri Hj Siti Khadizah Binti Abdul Majid (53) dan tujuh orang anak masing-masing, Ustz Nur Laila Binti Bahauddin Tawar, Alm. Abidah Binti Bahauddin Tawar, Drs H Khazali Bin Bahauddin Tawar, Ust Halimi BA Bin Bahauddin Tawar, Alm.

Rafi’I Bin Bahauddin Tawar, Ustzah Hj Maizarah Binti Bahauddin Tawar dan Alm Ustz Rohana Binti Bahauddin Tawar. (sebagian anak beliau juga sudah meninggal dunia)

Almarhum juga meninggalkan ribuan santri yang diasuh di pondok yang ia pimpin.

Ribuan umat muslim dan muslimat yang lazim ikut pengajian rutin di pondok pesantren, merasakan kesejukan akan petuah dari sang abuya tersebut.

Kini umat Islam di Aceh Singkil maupun Kota Subulussalam, hanya dapat menantikan hadirnya generasi baru ulama panutan yang akan menggantikannya.

Atau paling paling tidak sama dengan kharisma yang dimiliki sang abuya, untuk memimpin umat ini menuju kedamaian abadi di bawah ridha Allah SWT.

Hari ini, sudah genap 12 tahun atau sekitar 1,5 windu sang abuya menghadap ke hadirat Allah SWT.

Sebagian umat muslim mungkin tidak mengingat tangal atau hari, bulan dan tahun sang abuya meninggal dunia.

Namun hati kaum muslimin dan muslimat di Aceh Singkil maupun Kota Subulussalam tak pernah lekang mengenang sang abuya.

Kami hanya dapat berserah kepada Allah SWT atas takdir-Nya menjemput buya, sebelum kami sempat lebih banyak lagi menimba ilmu.

Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.

Semoga teladan dan nasihat buya dapat kami ikuti. Semoga ilmu dan kearifan yang Buya ajarkan terus memandu kami. Amin Ya Rabbal Alamin. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved