Kupi Beungoh

Moustapha Akad, Ertugrul, dan Cut Nyak Dhien: Tentang Wajah Asli Yang Sering Terabaikan (II)

Tema besar Ertugrul yang ditampilkan oleh Mehmet Bozdag memang sangat berlawanan dengan mayoritas penampilan Islam versi media barat

Editor: Amirullah
TRT World and Agencies
Sebuah terobosan seri Ottoman Dirili? (Resurrection), yang bercerita tentang kisah asli kehidupan nyata dari Kekaisaran Ottoman, langsung menjadi hit ketika pertama kali diluncurkan pada akhir 2014. 

Aceh, dan bahkan Indonesia beruntung karena gambaran Cut Nyak Dhien belum pernah dinarasikan oleh “pihak jahat” seperti yang ditayangkan tentang Islam dan Ottoman oleh beberapa pihak di Barat yang salah.

Bahkan kehebatan Cut Nyak Dhien diakui secara kesatria oleh musuhnya, Belanda sampai hari ini.

Bayangkan saja, pemerintah Belanda  membayai restorasi film yang disutradarai oleh Erios Djarot, sehingga memungkinkan peluncuran barunya seperti yang sedang dan akan tampil saat ini.

Dalam racıkan Eros Djarot Cut Nyak Dhien telah menjadi sebuah ikon tentang “perempuan” Aceh yang kehidupannya tidak semata diputuskan oleh lelaki, hatta sehebat Teuku Umar sekalipun.  

Dhien dan Umar adalah setara, mereka adalah sejoli yang berperang melawan musuh untuk keadilan dan martabat bangsanya.

Dalam konteks ke Indonesiaan, komentar penonton perdananya, Menteri BUMN Erick Thohir cukup memadai.

Disamping semangat perlawanan, Thohir mencatat dua hal pesan penting Cut Nyak Dhien, kehancuran bangsa berasal dari ulah sendiri, tidak disiplin, dan tidak kompak.

Dalam konteks kekinian Aceh, film Cut Nyak Dhien mengirim pesan untuk kita agar tidak semena-mena mencabut keberadaan perempuan Aceh dengan menggagahi penafsiran fiqih seperti yang diperagakan oleh kekuasaan lelaki Aceh selama ini.

Pesan Cut Nyak Dhien untuk lelaki Aceh abad ke 21 adalah tidak mempersepsikan perempuan apalagi menjadikan perempuan sebagai pangkal “bala” dan kutukan dari Tuhan untuk bumi Aceh.

Wacana kekuasaan yang didominasi laki-laki yang membuat seruan bersama untuk melarang perempuan Aceh untuk duduk “mengangkang” kendaraan roda dua di salah satu daerah tingkat dua pantai Timur-Utara Aceh, tidak hanya absurd, tetapi juga sangat mengada-ngada dan itu jelas sangat menyimpang dengan semangat Cut Nyak Dhien.

Tidak hanya di Pantai Timur Utara Aceh, di Pantai Barat Selatan tidak kurang ketika kekuasaan laki-laki yang pernah melarang perempuan bercelana.

Perempuan Aceh seolah telah dijadikan sebagai “buruan” yang mesti dijinakkan oleh pemburu yang didominasi oleh laki-laki.

Pesan dari film Cut Nyak Dhien dalam konteks kekinian adalah sebuah penegasan tentang warna asli keberadaan perempuan Aceh.

Ketika peran perempuan Aceh diceritakan dengan benar, maka panggung kehidupan publik menjadi berbeda.

Cut Nyak Dhien mengirim pesan tegas kepada kita hari ini bahwa perempuan Aceh bukan hanya sebagai teman tidur, pengasuh anak, apalagi sebagai tukang masak di dapur. Cut Nyak Dhien tidak hanya berbicara tentang siapa wanita Aceh 150 tahun yang lalu, tetapi juga membawa muatan sarat “zeigstat”-semangat zaman tentang keberdaan dan peran perempuan kini dan hari sok dalam kehidupan yang sangat disruptif dan cepat berobah.

Bagi penonton yang berada di luar Aceh, film Cut Nyak Dhien barangkali akan memberikan gambaran bahwa tidak semua yang ditulis oleh media tentang Aceh, terutama tentang masyarakat dan perempuannya sama sekali benar. Hukum besi kemajuan yang menyatakan salah satu ukuran kemajuan masyarakat adalah ketika “destiny” kehidupan perempuan tidak berada total dalam kendali laki-laki.

Paling kurang film Cut Nyak Dhien akan menjadi titik awal pengertian pemirsa non-Aceh untuk tahu lebih banyak tentang Aceh.

Perbedaan misi antara Moustapha Akkad, Mehmed Bozdag-Metin Gunay, dan Eros Djarot sama, namun sangat berbeda.

Dua yang pertama menampilkan warna asli Islam dan untuk menjadi kontra naratif terhadap narasi sebelumnya yang dibuat di barat sana.

Dalam bentuk “manifest” pesan Eros Djarot sebenarnya sangat sederhana.

Di sebalik dominasi cerita kepahlawanan Indonesia yang di dominasi laki-laki, di ujung Sumatera sana, di Aceh,  ada perempuan yang berperang secara fisik melawan dan memusuhi Belanda, hatta ketika ia dalam status tahanan Belanda, dan bahkan dibawa ke alam kubur.

Pesan “latent” edisi restorasi film Cut Nyak Dhien kali ini sungguhnya lebih relevan ditujukan kepada generasi muda, generasi milenial Aceh untuk “mengawal” nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Cut Nyak Dhien untuk tidak dibelokkan oleh elit Aceh sendiri.

Kontra naratif yang mesti dilakukan bukan untuk mengimbangi pihak luar, akan tetapi justru terhadap para aktor domestik yang memproklamirkan dirinya sebagai pendukung nilai-nilai ke Acehan seperti yang diperjuangkan Cut Nyak Dhien.

Kasus duduk “ngangkang” kendaraan roda dua dan “larangan” celana perempuan adalah contoh nyata sebuah “puncak” gunung es dari nafsu dominasi sebagian elit Aceh terhadap perempuan Aceh.

Perang narasi dalam kehidupan tak pernah berhenti.

Industri film Turki belum puas dengan hanya menampilkan Ertugrul.  

Serial itu kini menjadi bagian dari sequel Kurolus Usman, serial yang melanjutkan peran keturunan Ertugrul dalam kehebatan Ottoman Turki.

Sebenarnya kita di Acehpun punya segudang sumber yang membuat film Cut Nyak Dhien memungkinkan untuk disquelkan-dilanjutkan, dengan segudang petempuan pemikir dan pemberani Aceh.

Bukankah di sini masih ada Cut Mutia, Laksamana Malahayati, Pocut Baren, Pocht Meuligoe, dan cukup banyak perempuan bangsawan maupun perempuan biasa lainnya.  

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca juga: Lowongan Kerja Fresh Graduate di PT United Tractors, Ada 2 Posisi, Ini Kualifikasi & Batas Daftarnya

Baca juga: Jejak Digital Terbongkar, Suami Terkejut saat Mengetahui Istri yang Baru Dinikahinya Punya 19 Suami

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved