Konservasi Perairan

Sidang Kasus Dugaan Penganiayaan Nelayan di Simeulue, Lima Anggota Pokmaswas Sampaikan Pledoi

Para terdakwa meminta majelis hakim menjatuhkan putusan secara adil, mengingat peristiwa ini terkait dengan penertiban alat tangkap yang dilarang.

Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
Foto kiriman warga
Sidang Pembacaan Pendapat JPU atas Eksepsi Pokmaswas, beberapa waktu lalu. 

SERAMBINEWS.COM, SINABANG - Sidang kasus dugaan penganiayaan oleh anggota Kelompok Masyarakat Pengawasan (Pokmaswas) Air Pinang terhadap nelayan pengguna kompresor di Simeulue, berlanjut pada Senin (21/6/2021) dengan agenda mendengarkan Pledoi dari lima terdakwa.

Kasus ini terjadi pada Minggu (29/11/2020) dini hari, saat nelayan yang tergabung dalam Pokmaswas Desa Air Pinang, Kabupaten Simeulue, terlibat bentrok fisik dengan nelayan dari desa tetangga yang melakukan pelanggaran karena menggunakan mesin kompresor untuk mencari teripang dan lobster di wilayah KKP PISISI.

Senin kemarin, kelima terdakwa yakni FIT, AL, RAS, RAD dan YOY menyampaikan Pledoi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sinabang, yang dipimpin Hakim Ketua Jamaluddin SH.

Secara umum isi dari Pledoi tersebut meminta majelis hakim menjatuhkan putusan secara adil, mengingat peristiwa ini terjadi dalam rangka menertibkan pelanggaran penggunaan alat tangkap di Kawasan Konservasi Perairan, sesuai program pemerintah dengan pembentukan Pokmaswas.

Baca juga: Konflik Antarnelayan di Simeulue, Dipicu Soal Penggunaan Kompressor di Kawasan Konservasi Perairan

Baca juga: Jelang Vonis Hakim terhadap Anggota Pokmaswas, KuALA Kritik Kegagalan Pemerintah Lindungi Nelayan

Berikut isi Pledoi dari Aliadin (AL), satu dari lima terdakwa kasus ini.

Majelis hakim yang mulia, dan saudara jaksa penuntut umum yang kami hormati. Saya Aliadin Bin Jasiah yang saat ini duduk sebagai Terdakwa dalam perkara pengeroyokan perlu menerangkan bahwa. Saya merupakan Suami dari Dewi Ekarini, Ayah dari Azizah (16 Tahun) dan Zainal (10 Tahun).

Saya dibesarkan bersama 5 orang saudara saya oleh Ayah yang merupakan seorang nelayan dan ibu saya yang merupakan seorang ibu rumah tangga. Karena alasan ekonomi keluarga, keluarga saya hanya mampu menyekolahkan saya hingga SMP. Saya sudah ikut ayah ke laut sejak SD, setelah tamat SMP saya langsung menekuni pekerjaan sebagai nelayan.

Seperti ayah saya, sampai saat ini saya bertanggung jawab mememuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan pendidikan anak juga dari hasil melaut. Saya bersama saudara kandung juga memiliki tanggung jawab untuk menghidupi orang tua kami yang sudah lanjut usia.

Baca juga: Panglima Laot di Simeulue Minta Gubernur Aceh Bantu Anggota Pokmaswas yang Ditahan

Baca juga: PN Sinabang Sidangkan Kasus Nelayan Kompresor di Simeulue

Majelis hakim yang mulia, dan saudara jaksa penuntut umum yang kami hormati. Keluarga saya dan sebahagian besar masyarakat Desa Air Pinang adalah nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut di Lhok Air Pinang dan sekitarnya.

Kami dan saya khususnya menggarap ikan menggunakan cara-cara tradisional, dengan ukuran rata-rata perahu robin adalah (Panjang 3 meter dan lebar 50 sentimer. Alat tangkap yang kami gunakan untuk menangkap ikan sejak dahulu sampai saat ini sangat sederhana dan masih sama. Untuk menangkap ikan dan gurita saya menggunakan pancing tangan, untuk menangkap lobster saya menggunakan Nyap (atau jaring penjebak), untuk menangkap teripang saya menggunakan Ladung (atau tombak seperti peluru).

Itu semua adalah alat tangkap yang dioperasikan dari atas perahu robin. Karena ukuran perahu robin yang sangat kecil, kami hanya mampu menggarap di laut sekitar desa Air Pinang, Ujung Tinggi, Kuala Makmur dan Pulau Siumat. Untuk menangkap Lobster, Gurita dan Teripang kami menggarap di daerah dangkal (kedalaman nol sampai 15 meter), pancing tangan kami gunakan di daerah yang lebih dalam.

Setiap pergi menggarap saya  dan sebahagian besar nelayan Air Pinang selalu membawa alat-alat ini (Pancing, Nyap dan Ladung). Saya dan teman-teman lebih sering menggarap dimalam hari.

Baca juga: DKP Aceh Dukung Penertiban Kompressor, Perlu Perlakuan Khusus untuk Lindungi Kawasan Konservasi

Baca juga: Pengawasan di Kawasan Konservasi Perairan Terhenti, Nelayan Kompresor di Simelue Kembali Beraksi

Majelis hakim yang mulia, dan saudara jaksa penuntut umum yang kami hormati. Kami hidup di laut, dalam sehari selama kurang lebih 10 jam hidup kami ada dilaut, oleh karena itu selama menjalankan pekerjaan sebagai nelayan saya mengalami langsung perubahan-perubahan yang terjadi. Dulu kami menyaksikan jaring setan dan bom ikan beroperasi di sekitar desa kami.  Alhamdulilah sekarang sudah tidak terlihat lagi.

Adapun kompresor, sampai saat ini kami masih melihat mereka beroperasi. Dan kalau ditanya dampak alat-alat tersebut terhadap lingkungan dan kehidupan nelayan tradisional, maka kami yang lebih mengetahui, karena kami yang merasakannya.

Sebelum tahun 2013 saya sama sekali tidak mengetahui kalau tempat kami biasa menggarap ikan adalah kawasan konservasi. Saat itu saya tidak paham apakah jaring setan, bom dan kompresor dibenarkan oleh Pemerintah menggarap di kawasan konservasi. Yang saya ketahui adalah alat-alat tersebut sangat menyebabkan kerusakan lingkungan dan berdampak terhadap kesejahteraan kami.

Akhirnya, sekitar tahun 2013 atau 2014 saya bersama nelayan, tokoh kampung bersepakat untuk menata kembali kawasan laut di sekitar desa kami. Saat itu juga dihadiri oleh Kepala DKP Simeulue dan stafnya. Sejak saat itulah saya mulai ikut andil dalam kegiatan-kegiatan DKP Simeulue dan Panglima Laot dalam menjaga kelestarian di Lhok Air Pinang dan kawasan konservasi Pisisi, hingga di SK-kan juga oleh Bupati Simeulue sebagai Anggota Kelompok Masyarakat Pengawas Kawasan Konservasi.

Sejak saat itu kami aktif melakukan sosialisasi kepada nelayan di laut tentang aturan adat Lhok Air Pinang. Kami mulai menegur dan memperingatkan nelayan-nelayan yang melanggar setelah diizinkan oleh Panglima Laot.

Saya juga menegur dan memperingatkan nelayan kompresor yang selalu menggarap di daerah dangkal dan diatas karang. Sama seperti kami, kebiasaan nelayan kompresor juga menggarap dimalam hari.

Sejak saat itu saya juga sering ikut dalam pengawasan yang dilakukan oleh Panglima Laot. Ada juga pengawasan bersama DKP dan Airud yang saya ikuti. Saya juga mengetahui ada banyak pelanggaran  yang telah dilaporakan sebelumnya kepada DKP Simeulue.

Baca juga: Jaringan KuALA Minta Bupati dan Panglima Laot Aceh Bantu Selesaikan Konflik Nelayan di Simeulue

Baca juga: Tim Patroli Polairud, DKP dan Pokmaswas Tertibkan Penggunaan Kompressor, 9 Nelayan Ditangkap

Saya juga mengetahui ada satu pelanggaran yang pelakunya kami serahkan kepada DKP Simeulue dan akhirnya dihukum penjara oleh Pengadilan Negeri Sinabang. Termasuk yang terbaru, Hakim pengadilan Negeri Sinabang telah memvonis bersalah 14 nelayan kompresor. Beberapa kasus diselesaikan dalam sidang adat laut di Desa Air Pinang.

Namun sangat disayangkan, hingga saat ini pelanggaran terus terjadi sehingga akhirnya kami yang dipercayakan oleh Pemerintah menjaga Kawasan Konservasi pada akhirnya harus menjadi tumbal di kursi pesakitan ini.

Padahal Pemerintah memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam pencegahan dan pengawasan penangkapan ikan yang merusak. Setiap tahun DKP melakukan pengawasan, apa hasil dari pengawasan yang dilakukan DKP kami juga tidak mengerti. Kalau hanya karena alasan ekonomi kegiatan nelayan kompresor dibebaskan, berapa ribu nelayan tradisional Simeulue yang akan menjadi korban keserakahan dan ketidak adilan ini.

Sementara kami sudah berbuat semampu kami, oknum-oknum yang kami peringatkan, yang kami tegur, kami usir dan kami laporkan adalah orang-orang yang melanggar hukum (undang-undang), bukan hanya karena melanggar aturan adat semata. Dan apabila karena kejadian ini saya dituduh dan dituntut secara membabibuta, seperti dipaksa mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan (sebab ini menjadi poin yang memberatkan saya), dan hanya menggunakan alat bukti dari keterangan saksi korban saja, sungguh itu akan menjadi kedzaliman yang nyata.

Baca juga: PSDKP Lampulo Kirim Penyidik ke Simeulue, Tindaklanjuti 3 Kasus Pelanggaran di Perairan Konservasi

Baca juga: Panglima Laot Air Pinang Laporkan Lambannya Proses Hukum Anggota Pokmaswas ke Komnas HAM

Sebagai warga negara yang baik dan sebagai Pokmaswas yang diakui dan ditetapkan oleh Pemerintah, saya telah melaksanakan tugas dengan baik. Yaitu menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah terjadinya kerusakan ekosistem akibat ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan serakah.

Dan ketika melakukan pengawasan pada tanggal 28-29 November 2020, saya juga sudah melakukan tugas saya dengan semestinya, memberikan pengarahan kepada anggota dan melakukan komunikasi yang baik dengan nelayan kompresor.

Adapun mengenai kecelakaan dan keributan yang terjadi memang sangat saya sesalkan juga. Namun semua itu merupakan diluar kontrol kendali saya. "Sangat tidak adil apabila saya dihukum karena itu yang mulia," kata Aliadin.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved