Kupi Beungoh

Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (II)

Walaupun tidak sangat menonjol, Bakongan terkenal sebagai salah satu kawasan penghasil ikan laut di kawasan pantai barat selatan.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Sama dengan di banyak tempat kasawan  pedesaan lain di Aceh, walaupun di tengah deras “monetisasi”, pedesaan, keakraban dan kekerabatan komunitas masih sangat terasa.

Dalam kehidupan masyarakat, baik di perkotaan dan pedasaan sehari-hari, pengeluaran rumah tangga tidak hanya berurusan dengan konsumsi, pakaian, dan biaya sekolah anak, akan tetapi juga berhubungan banyak dengan biaya sosial.

Kemalangan, penderitaan, dan kegembiraan adalah hal-hal yang sangat sering menjadi sesuatu yang “diperkongsikan” dalam kehidupan komunitas.

Hal itu juga masih sangat kuat terpelihara dengan baik di Bakongan.

Paling kurang ada dua alat ukur untuk melihat keakraban dan keeratan  hubungan komunitas, ketika ada anggotanya mengalami persitiwa kemalangan, ataupun peristiwa kegembiraan.

Alat ukur yang pertama adalah kontribusi tenaga kerja yang diberikan oleh komunitas, dan yang kedua adalah sedekah uang, baik karena reusam-adat, maupun sebagai pernyataan keikutsertaan sesama anggota komunitas.

Ada perobahan yang sangat mendasar yang menyangkut dengan pemberian yang sangat mendasar yang ditemui dalam hal sedekah sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat Bakongan.

Tanda bukti kemiskinan, yang sebelumnya berhubungan dengan nilai nominal uang yang diberikan kini telah mengalami sebuah lompatan besar.

Recehan uang rupiah yang nilainya 2.000 dan 5.000, kini semakin jarang didapat.

Sedekah 2000 rupiah yang dahulunya mayoritas dalam kaleng sedekah khanduri “udep” atau “mate, kini hampir tidak ada lagi, atau paling kurang menjadi sangat langka.

Lembaran rupiah yang bernilai 5.000 masih ada, walaupun dalam jumlah yang juga kecil.

Rata-rata lembaran uang yang ada dalam kotak sedekah, atau kantong kanan-kiri baju koko pemilik khanduri, berkisar antara Rp 10.000-20000.

Bahkan tidak berlebihan untuk mengatakan, lembaran 20.000 kini menjadi mayoritas uang sedekah, diikuti oleh lembaran 10.000 rupiah.

Baca juga: Harga Sawit kembali Terjun Bebas, Ini Permintaan Apkasindo Aceh

Baca juga: Digeluti Mayoritas Masyarakat Subulussalam, Sawit Jadi Penopang Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19

Kalau dahulunya lembaran Rp 50.000 adalah barang yang sangat langka, dalam beberapa bulan terakhir tidak mustahil untuk mendapatkan lembaran rupiah beberapa lembar rupiah nilai 50.000 dalam kotak uang sedekah.

Tidak ada sumber pendapatan lain yang dapat diklaim sebagai bentuk kuat asosiasi dengan pengeluaran sosial masyarakat. Satu-satunya alasan penjelas yang dapat diandalkan adalah kenaikan jumlah pendapatan yang sangat mencolok akibat kenaikan harga sawit.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved