Gubernur Nova dan Long Covid-19, Fenomena yang Masih Menjadi Misteri
Saat ini Long COVID-19 masih terus diteliti untuk memantau perkembangannya.
Laporan Yocerizal | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Publik Aceh belakangan ini heboh dengan kabar Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, yang terinfeksi Covid-19.
Ada beberapa sebab:
Pertama, karena Gubernur telah divaksin sebanyak dua kali dan juga sangat ketat dalam menjalankan protokol kesehatan (prokes).
Kedua, proses kesembuhannya yang lama. Hingga Jumat (25/6/2021) hari ini, Gubernur sudah 26 hari menjalani isolasi mandiri.
Padahal, infeksi yang menyerang gubernur bukanlah kategori parah, atau dalam istilah pandemi saat ini disebut OTG alias orang tanpa gejala.
Tim medis menyebutkan, Gubernur Aceh mengalami Long Covid-19, yakni infeksi dengan gejala yang berkepanjangan.
Baca juga: Gagal Jadi Negara Minyak, Timor Leste Kini Malah Terjebak dalam Jurang Kemiskinan
Baca juga: Pemutakhiran Data Pegawai Dimulai 1 Juli, Segera Aktifkan Akun MySAPK Agar tak Jadi ‘PNS Gaib’
Baca juga: Kisah Keluarga Nelayan Aceh yang Jemput Rohingya, Istri Faisal Menangis Saat Terima Bantuan
Ketiga, sakitnya Nova bertepatan dengan giat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI yang tengah menyelidiki sejumlah kasus dugaan korupsi di Aceh.
Hingga hari ini, sudah belasan pejabat Pemerintah Aceh diperiksa, termasuk juga dari unsur swasta/pengusaha.
Tak heran, isu liar pun berkembang di masyarakat bahwa Gubernur sakit untuk menghindari pemeriksaan KPK.
Tapi terlepas dari segala praduga tersebut, Long Covid-19, meski terdengar baru di telinga, tetapi memang benar adanya.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, ternyata juga pernah mengalami hal serupa pada Desember 2020 kemarin.
Anies masuk dalam kriteria asimptomatik atau tanpa gejala. Bedanya, ketika terinfeksi, Anies belum mendapatkan vaksinasi.
Anies menjalani isolasi mandiri selama 28 hari, nyaris hampir satu bulan.
Ia diumumkan terinfeksi pada 1 Desember 2020 dan baru pada 28 Desember 2020 dinyatakan sembuh alias negatif.
Terinfeksi setelah vaksinasi
Spesialis penyakit menular Lyssette Cardona, MD dari Cleveland Clinic, mengatakan, vaksinasi memang menjadi salah satu senjata terbaik dalam memerangi Covid-19.
Tapi mendapatkan vaksin Covid-19 tidak membuat siapapun kebal terhadap Covid-19, sekalipun telah mendapat dosis lengkap.
Dr Cardona seperti diberitakan Kompas.com, mengatakan bahwa tidak ada vaksin yang menawarkan perlindungan 100% terhadap penyakit.
Baca juga: Buka Cadar Pasangannya Usai Akad Nikah, Pengantin Pria Ini Kaget Ternyata Sosok Berkumis
Baca juga: Obat Cacing Ivermectin Disebut Jadi Obat Terapi Covid-19, Ternyata Corona Bisa Hilang Pakai Cara Ini
Baca juga: Persiapan Munas Kadin Indonesia Terus Berjalan, akan Dihadiri Presiden Jokowi
“Tetapi vaksin memberikan kesempatan yang lebih baik untuk melawan efek infeksi,” ujarnya.
Hal itu dikuatkan dengan studi terbaru dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.
Riset yang dilakukan CDC mengamati lebih dari 3.900 pekerja medis di garda depan.
Hasilnya, vaksinasi lengkap (dua dosis) akan melindungi seseorang dari infeksi hingga 90 persen.
Sementara orang yang baru mendapat satu dosis vaksin, memiliki kemungkinan 81 persen lebih kecil untuk terinfeksi dibanding orang yang belum divaksin.
"Ini menambah bukti keefektifan vaksin di dunia nyata," kata CDC Senin dalam sebuah pernyataan seperti dilansir dari CNN, Selasa (8/6/2021).
Baca juga: Instagram Tambahkan Fitur Reels, Disebut-sebut Mirip TikTok, Begini Cara Pakainya
Baca juga: CPNS 2021 - Ini Syarat CPNS Khusus Cumlaude, Catat Jadwal Pendaftarannya
Baca juga: Sindikat Pencuri Toyota Innova dan Honda Jazz Digulung, 9 Pelaku Jaringan Antar Kabupaten Diciduk
Sementara studi yang mengamati petugas medis yang sudah divaksin sejak Desember 2020 menunjukkan bahwa sejauh ini ada 5 persen yang positif Covid-19.
Data menunjukkan, 16 dari 204 orang yang terinfeksi telah divaksinasi.
"Dan orang yang divaksinasi penuh yang masih terkena Covid-19 cenderung memiliki penyakit yang lebih ringan, lebih pendek, dan tampaknya kecil kemungkinannya untuk menyebarkan virus ke orang lain," kata CDC.
"Manfaat ini adalah alasan penting lainnya untuk melakukan vaksinasi," imbuhnya.
Lalu apa sebenarnya Long Covid-19 itu?
Fenomena Long Covid-19 memang merupakan hal baru dalam perjalanan pandemi Covid-19.
Long Covid-19 merupakan efek jangka panjang bagi penyintas Covid-19.
Indikasi penyebabnya karena masih ada sebagian kecil virus yang bertahan dalam tubuh pasien yang sudah dinyatakan sembuh.
Namun, belum ada pengetahuan yang komprehensif terkait fenomena ini.
Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN), dilamannya menjelaskan, Long Covid-19 adalah gejala sakit berkepanjangan yang diketahui diderita pasien penyintas, meski sudah dinyatakan sembuh dari covid.
Disebutkan, 5-20 persen pasien Covid-19 mengalami yang namanya long covid lebih dari 4 minggu.
Diperkirakan 1 tiap 10 pasien Covid-19 dapat mengalaminya hingga lebih dari 12 minggu.
Baca juga: Harga Set Top Box DVB-T2 untuk TV Digital Bersertifikat Kominfo, Ada Polytron, Akari hingga Nexmedia
Baca juga: Ini 10 Buah Rendah Kalori, Bisa Membantu Menurunkan Berat Badan dengan Cepat
Baca juga: EURO 2020 Belum Selesai, Ini Daftar Rekor Sudah Diborong Cristiano Ronaldo Bersama Timnas Portugal
Gejala atau gangguan kesehatan yang dialami bermacam-macam, dari kerap kelelahan, peradangan jantung, kesemutan, dan lain-lain.
“Saat ini Long COVID-19 masih terus diteliti untuk memantau perkembangannya,” tulis laman tersebut.
Ketua Dewan Pakar IDI Profesor Menaldi Rasmin, sebagaimana dilansir Tribunnews.com, menyebutkan, berdasarkan data yang ada, sebanyak 21 persen yang sembuh akan mengalami Long Covid-19.
"Ini jadi masalah pada paru-paru, karena 21 persen pasien akan mengalami gejala Long Covid-19," ujar Menaldi dalam jumpa pers 1 tahun pandemi di Indonesia virtual, Senin (1/3/2021).
Menaldi mengatakan, dari data tersebut, Long Covid-19 dapat menyebabkan adanya gangguan struktur di paru-paru.
"Sehingga ada infeksi berulang dan berobat berulang," ujar dia.
Selain mengganggu fungsi paru-paru, Long Covid-19 ujarnya juga akan membuat fungsi jantung, organ lain, maupun saraf terganggu.
"Gangguan fungsi karena oksigennya gak pernah terserap bagus ke paru-paru, akibatnya jantung sengsara juga," katanya.
Hal yang sama juga diungkap dokter spesialis penyakit dalam Eka Ginanjar. Menurut Eka sampai saat ini penelitian Long Covid-19 masih terus berjalan.
Sama seperti gejala Covid-19 yang bervariasi, gejala Long Covid-19 berbeda-beda dirasakan setiap orang.
"Kebanyakan sesak karena ada jaringan parut, tidak bisa beraktivitas normal, satu dua ada yang rambut rontok, ini masih diselidiki," kata Eka.
Dikutip Serambinews.com dari medix-global.com, CDC AS menyimpulkan bahwa, Covid -19 dapat menyebabkan penyakit yang berkepanjangan.
Baca juga: Dua Tersangka Korupsi BBM di Dishub Sabang Ditahan Jaksa, Barang Bukti Uang Rp 493 Juta Disita
Baca juga: Arab Saudi Hadapi Ancaman Berat Serangan Siber, 93 Persen Organisasi Diserang Hacker
Baca juga: VIDEO Kondisi Terkini Gubernur Aceh Nova Iriansyah, Masih Positif Covid-19
Bahkan di antara orang dewasa muda tanpa kondisi medis kronis yang mendasari.
Hal ini harus ditanggapi dengan menyampaikan pesan kesehatan masyarakat yang menargetkan kaum muda, mengingat betapa banyak yang percaya usia mereka akan melindungi mereka.
Pakar medis berhipotesis sejumlah alasan mengapa Covid-19 bisa memicu masalah kesehatan yang kadang berubah menjadi kondisi kronis.
Ada yang berpendapat bahwa kantong sisa virus tetap ada bahkan setelah pasien dinyatakan sembuh secara klinis.
Ini mungkin menjelaskan mengapa gejala kadang kambuh lagi, di hari-hari dimana penderita merasa mereka sudah sembuh total.
Pendapat lain percaya bahwa sistem kekebalan yang terlalu peka terus bereaksi terhadap virus yang sudah tidak ada lagi, meradang dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada organ yang semula terinfeksi.
Meksi masih sedikit yang diketahui peneliti, tetapi apa yang dialami Gubernur Aceh Nova Iriansyah, setidaknya bisa menjadi pelajaran tentang betapa seriusnya pandemi Covid-19.
Virus ternyata tidak hanya menyasar para orang tua seperti yang selama ini diyakini, tetapi juga menyasar anak-anak muda yang rentan menjadi OTG.(*)