Kupi Beungoh

Ekonomi Gampong Bakongan: Aceh, ‘Daerah Modal’ Sawit & Kebutuhan Minyak Nabati Global Abad XXI (IV)

Asbabun nuzul kelapa sawit yang ditanam di Bakongan hari ini sesungguhnya punya sejarah panjang.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Sejarah nutrisi dan perobahan pola konsumsi masyarakat yang hari ini disebut sebagai negara-negara maju adalah sejarah perpindahan dari pengurangan jumlah asupan karbohidrat kepada penambahan protein dan lemak.

Penelitian Marc Roda (2019) tentang pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan perobahan pola konsumsi sejak abad ke 18 di Prancis menemukan, ketika asupan kalori per kapita mencapai puncaknya- 3000-3500 kalori perhari, jumlah kalori dari karbohidrat menurun, sementara asuman kalori dari pangan lemak meningkat.

Pengalaman Prancis menunjukkan ketika konsumsi pangan dirasakan sudah mencukupi, masyarakat akan menaikkan konsumsi lemak ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan ke titik maksimal.

Temuan Roda (2019) berlaku secara umum di hampir semua negara maju dengan variasi yang berbeda baik jumlah, maupun jenis-hewani vs nabati.

Semenjak tahun delapanpuluhan konsumsi lemak hewani telah berpindah secara perlahan dan akhirnya semakin tajam kepada lemak nabati.

Negara-negara yang baru maju, yang dicirikan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan urbanisasi yang juga tinggi juga mengukuti pola yang serupa, yakni konsumsi lemak nabati yang relatif lebih tinggi dari lemak hewani.

Pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi akan memberikan profil baru konsumsi bahan makanan dimasa yang akan datang.

Mengikuti perkembangan konsumsi minyak nabati di negara maju dan negara yang baru maju dan ikutannya diperkirakan permintaan lemak nabati pada pertengahan abad ke 21 akan meningkat tajam.

Perkiraan kebutuhan global minyak nabati pada tahun 2050 diperkirakan berkisar antara 240 (Coorley 2009) sampai dengan 350 juta ton (Roda 2019).

Sebagai perbandingan konsumsi global minyak nabati dunia saat ini berada pada posisi 170-180 juta ton per tahun.

Dengan melihat kepada kondisi saat ini, dan tantanan ketersediaan lahan, produkstivitas tanaman, dan tantangan permintaan tahun 2050, jelaslah ada persoalan  besar ketimpangan yang akan terjadi.

Pertanyaannya adalah tanaman apa yang mungkin digunakan, di lahan yang bagaimana, dan di kawasan dunia bagian mana produksi itu akan terjadi.

Jawabannya sangat singkat. Tanaman yang paling memungkinkan adalah sawit, dan tempatnya adalah di kawasan tropis.

Baca juga: Dilema Petani Kelapa Sawit di Musim Trek, Produksi Menurun Saat Harga Tinggi

Baca juga: Anda Ingin Coba Pola Makan Berbasis Nabati? Ayo Ikuti Program Gratis Ini dan Nikmati Manfaatnya

Pohon Minyak vs Tanaman Minyak

Membandingkan sawit dengan pesaingnya yang lain sebagai sumber minyak hayati-kedele, jagung, rape seed,  bunga matahari, adalah membandingkan pohon minyak yang terus menerus berproduksi semenjak umur 4 tahun sampai dengan umur 30 tahun.

Sebaliknya, semua pesaing sawit adalah tanaman yang berumur 3 bulan yang harus terus menerus ditanami.

Saat ini penggunaan konsumsi global minyak nabati terbanyak  adalah minyak  kelapa sawit -34 persen, diikuti oleh minyak kedelai 27 persen, selebihnya terbagai kepada minyak rapa, minyak bunga matahari dan lainnya.

Dalam kenyataannya tingkat kompetitif sawit jauh lebih tinggi dari jenis minyak apapun, untuk ukuran apapun.

Dengan satuan luas yang sama, katakan saja satu hektare, sawit mampu menghasilkan minyak 5-8 kali lebih banyak dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya.

Ini artinya, tanaman lain membutuhkan 5-8 kali tanah lebih banyak dibandingkan dengan sawit untuk menyamai produktivitas yang sama dengan sawit.

Perhitungan ekonomi lanjutan, terutama input seperti pupuk dan bahan-bahan perawatan lainnya berikut dengan tenaga kerja menunjukkan sawit jauh lebih sedikit biayanya dibandingkan dengan jenis-jenis tanaman sumber minyak nabati lainnya.

Dengan proyeksi kebutuhan dunia pada tahun 2050 yang mendekati 2 kali lipat dari konsumsi hari ini, harus diakui hanya sawit yang paling memungkinkan untuk menyelamatkan ancaman kekurangan minyak nabati yang dibutuhkan.

Indikator apapun yang digunakan seperti kebutuhan lahan, efisiensi produksi, dan penggunaan tenaga kerja, tetap menunjukkan sawit adalah tanaman yang sangat memungkinkan dan menjanjikan.

Disamping itu, karena agribisnis sawit hanya memungkinkan di kawasan tropis, seperti Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara Afrika, agribisnis ini juga berkontribusi penting untuk mengurangi kemiskinan, terutama di kawasan pedesaan.

Memang benar ada persoalan lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan dalam persoalan sawit.

Persoalan itu adalah ancaman kerusakan lingkungan.

Hal itu memerlukan pembahasan tersediri yang lebih khusus dalam serial lanjutan.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved