Kupi Beungoh

Penyakit Aceh: Imbuhan “Ter” yang Permanen

Ceritanya sangat sederhana, temuan ladang gas alam di Belanda pada tahun 1959 yang seharusnya membuat negara itu sejahtera, tidak terwujud.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Ahmad Humam Hamid, Sosilog Aceh. 

Jika penyakit Belanda, “dutch desease” ditabalkan karena kegagalan Belanda memanfaatkan sumber daya gas alam pada akhir tahun limapuluhan untuk membangun ekonominya, mungkinkah kasus Aceh hari ini dapat dijadikan sebagai contoh fenomenal tentang kegagalan sebuah provinsi  otonomi khusus pascakonflik.

Mungkinkah fenomena keterpurukan Aceh yang terus berlanjut membuat Aceh berkualifikasi untuk mendapat gelar penyakit Aceh, “aceh disease”?

Diakui atau tidak, proses perdamaian Aceh telah menguras tidak hanya energi domestik Aceh dan nasional, akan tetapi juga telah melibatkan masyarakat internasional yang tidak biasa.

Paling kurang dua kekuatan besar dunia, AS dan Uni Eropa telah memberi perhatian khusus untuk Aceh, baik sumber daya material, diplomatik maupun profesional keilmuan.

Baca juga: VIDEO Heboh Papan Bunga Ucapan Selamat Aceh Termiskin di Sumatera Depan Kantor Gubernur Aceh

Ada beberapa kawasan konflik lain di dunia paling tidak pernah menyebut ingin belajar sesuatu dari perdamaian Aceh, baik dari pemberontak, maupun dari pemerintah masing-masing.

Mindanao, Patani, dan kawasan pemberontakan Sahara di Maroko adalah kawasan yang disebut ingin menjadikan Aceh sebagai salah satu referensi mereka.

Sayangnya, dalam zaman digital seperti hari ini, apapun yang terjadi di belahan bumi manapun, segera akan diketahui dimanapun juga.

Secara umum apa yang telah dialami oleh Aceh pascadamai, terekam dengan baik dan dapat diakses setiap saat oleh siapapun.

Apapun itu, termasuk berbagai centang perenang pemerintahan, pembangunan, kemiskinan, kelemahan kelembagaan, bahkan korupsi sekalipun.

Jikapun mereka akan menjadikan Aceh sebagai kasus untuk belajar, akan ada alenia dan huruf tebal yang hati-hati setelah deskripsi era pascadamai dengan uang yang berlimpah dan kewenangan yang memadai.

Hanya ada lima kata dalam satu kalimat. Hati-hati dengan “aceh desease”.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved