Kupi Beungoh
Penyakit Aceh: Imbuhan “Ter” yang Permanen
Ceritanya sangat sederhana, temuan ladang gas alam di Belanda pada tahun 1959 yang seharusnya membuat negara itu sejahtera, tidak terwujud.
Akhir-akhir ini tak jarang perselisihan antara kelompok pembaharu dan kelompok konservatif dalam berbagai organisasi dan perusahaan juga sering dijelaskan dengan kerangka “Young Turk” itu.
Baca juga: Kisah Film Ottoman Bantu Kerajaan Aceh, Pria Turki Ini Penasaran Hingga Jatuh Cinta Pada Gadis Aceh
Baca juga: Erdogan Marah Besar, Joe Biden Sebut Kekaisaran Ottoman Genosida Armenia
Penyakit Belanda: Kutukan Sumber Daya
Pada tahun 1977, majalah the Economist, memperkenalkan istilah “dutch desease”, penyakit Belanda, yang kemudian dikembangkan dengan lebih detail oleh Max Corden dan Peter Neary (Oomes,Kalcheva1982).
Yang dimaksud adalah kontradiksi antara melimpahnya sumber daya alam Belanda dengan kegagalan pembangunan.
Ceritanya sangat sederhana, temuan ladang gas alam di Belanda pada tahun 1959 yang seharusnya membuat negara itu sejahtera, tidak terwujud.
Yang terjadi justeru sebaliknya.
Alih-alih negara itu berpegang pada prinsip keunggulan komparatif, yang terjadi justru mereka terfokus pada sektor ekstraktif migas semata.
Sebagai akibatnya, ekonomi Belanda anjlok, terjadi penurunan pembangunan dan pertumbuhan dalam sektor pertanian dan manufaktur, pengangguran meningkat, dan negara itu menjadi contoh besar dalam teori pembangunan “kutukan sumber daya”- resource curce.
Dalam perkembangannya, fenomena “dutch desease” juga dialami oleh negara penghasil dan kaya sumber daya alam di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, namun juga gagal dalam pembangunan.
Kegagalan itu dalam kenyataannya lebih banyak berurusan dengan konflik dan instabilitas, korupsi, dan lemahnya kelembagaan.
Baca juga: Sifan Hassan Atlet Belanda Sebut Minum Kopi Jadi Kunci Menangi Medali Emas Olimpiade Tokyo
Baca juga: VIDEO Melihat Jembatan Bekas Rel Kereta Api Jaman Belanda di Pedalaman Pidie
Imbuhan “Ter” yang Permanen
Jika kasus penyakit Belanda menjadi fenomenal dan mendapat perhatian besar dalam diskursus ekonomi pembangunan, maka apa yang sedang terjadi di Aceh hari ini walaupun sama sekali tidak sama, namun adalah sesuatu yang juga tidak biasa.
Mulai dari era otonomi khusus semenjak 14 tahun yang lalu Aceh setidaknya telah menerima 88,4 triliun Rupiah, dan semenjak itu apa yang semestinya di dapatkan oleh masyarakat Aceh sangat tidak setimpal dengan apa yang terjadi.
Seperti yang telah menjadi pengetahuan umum, rahmat yang telah dialirkan begitu banyak belum menjelma menjadi “nikmat” yang berarti untuk rakyat Aceh.
Anugerah keuangan dan kewenangan otonomi, berikut dengan perhatian besar dari masyarakat internasional pada lima tahun awal belum mampu membuat Aceh lebih sejahtera, apalagi berprestasi.