Opini
Aceh Ini Istimewa dan Khusus
Keistimewaan dan kekhususan Aceh merujuk pada tiga undang-undang yang pernah disahkan, yaitu pertama UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Butuh Pimpinan yang Istimewa dan Khusus
Dalam teori Lawrence M. Friedman disebutkan bahwa setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen yang terpenting dalam penegakan sebuah aturan hukum, yaitu komponen struktural, substansial dan kultural. Dalam teori tersebut disebutkan bahwa komponen pertama sekaligus yang utama adalah komponen struktural. Jika dikaitkan pada konteks Aceh, hal ini selaras dengan bunyi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11/ 2006 pasal 270 yang menyatakan secara tegas bahwa pelaksanaan dan wewenang pelaksanaan syariat Islam di Aceh menjadi tanggung jawab dan tugas Pemerintah.
Oleh karena itu tulisan ini mendasarkan pada argumen bahwa faktor kepemimpianan sangat mempengaruhi laju kesuksesan sebuah perjalanan hukum. Hal ini selaras dengan yang dikatakan Donald Black, bahwa dimensi keterlibatan manusia dalam penegakan hukum dinamakan dengan mobilisasi hukum. Dan yang paling berkuasa memobilisasi manusia di suatu wilayah hukum adalah penguasa.
Kekhususan dan keistimewaan Aceh jika dikaitkan dengan syariat Islam sangat khas dan unik. Di satu sisi harus menjadikan ajaran agama sebagai cita-cita idealistic, namun di sisi lain secara realistik berada dalam koridor negara kesatuan Republik Indonesia yang notabene tidak menjadikan Islam sebagai agama negara. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang berani dan memahami posisi otonomi yang diberikan untuk Aceh oleh Pemertinta Pusat adalah otonomi yang bersifat asimetris (AlYasa’: 2019), yaitu hubungan korelasi yang digunakan di mana satu variabel mempengaruhi variabel yang lain, tetapi hubungan tersebut tidak timbal balik.
Hubungan tersebut adalah hubungan yang berasal dari hubungan antarkonsep saja. Oleh karena itu tidak boleh ada keraguan bagi pemimpin Aceh dalam membuat planning dan program perencanaan untuk Aceh yang istimewa dan khusus ini. Wallahul Musta’am.