Kupi Beungoh
Pemanasan Global: Ancaman Senyap bagi Dunia
Penghasil emisi gas rumah kaca terbanyak adalah dari proses pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan
Oleh dr Hilwa Salsabila *)
Hampir 500 orang tewas akibat gelombang panas ekstrem yang melanda Desa Lytton, Kanada pada akhir Juni lalu.
Wilayah ini mengalami suhu terpanasnya, yakni 49,6 derajat celcius, hampir menyentuh angka 50.
Di Afrika, dampak pemanasan global terlihat mencolok saat salah satu keajaiban dunia, air terjun Victoria tiba-tiba mengering pada tahun 2019.
Di Eropa dan Australia, banjir besar yang sebelumnya belum pernah terjadi, merendam kota-kota besar.
Menengok Indonesia, tentu masing-masing kita merasakan suhu yang lebih panas dari biasanya, dan lebih dingin saat hujan.
Belum lagi cuaca yang tidak menentu, hujan bisa saja turun di musim kemarau dan sebaliknya, tidak lagi sesuai dengan musimnya. Titik-titik rawan banjir sulit diprediksi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga mengeluarkan peringatan sebagai antisipasi terjadinya fenomena La Nina yang akan menyebabkan peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia.
Baca juga: PBB Ingatkan Pemanasan Global Tingkatkan Jumlah Bencana Alam hingga Lima Kali Lipat
Pemanasan global sendiri adalah fenomena meningkatnya suhu rata-rata baik di daratan, laut, dan atmosfer bumi sebagai akibat dari meningkatnya emisi gas rumah kaca (green house effect).
Pada kenyataannya, hal ini terjadi setiap tahun, bahkan kenaikan suhu setiap tahunnya selalu bertambah dari tahun sebelumnya.
Penghasil emisi gas rumah kaca terbanyak adalah dari proses pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan.
Secara sederhana, efek rumah kaca dijelaskan sebagai ‘terperangkap’nya panas matahari di bumi.
Dianalogikan seperti suhu dalam mobil yang meningkat drastis saat mobil terparkir di bawah terik matahari dengan kondisi pintu dan kaca tertutup.
Pada dasarnya efek rumah kaca dibutuhkan untuk menjaga suhu permukaan bumi tetap hangat, supaya rantai kehidupan dapat terus berlangsung.
Namun dengan adanya emisi gas buangan yang naik ke atmosfer, maka panas yang dipantulkan keluar, akan memantul kembali ke bumi. Sehingga permukaan bumi mendapatkan panas yang berlebih.
Pertanyaan yang muncul adalah, darimana emisi gas ini berasal?
Tentu yang terbesar adalah dari penebangan dan pembakaran hutan. Seperti yang sudah diketahui, hutan merupakan paru-paru dunia.
Baca juga: Raja Salman Sampaikan Pesan Perubahan Iklim, Kerjasama Global, Satu-satunya Cegah Pemanasan Global
Tumbuhan membantu mengurangi jumlah karbon dioksida dengan memakainya dalam proses ‘pernapasan’ mereka, dan melepaskan oksigen ke udara.
Pembakaran hutan, selain asapnya yang mencemari udara, mengurangi jumlah tumbuhan tentu berdampak signifikan terhadap emisi gas rumah kaca.
Sumber selanjutnya adalah pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara, yang banyak disumbang oleh sektor industri dan sektor transportasi.
Aktivitas riil dari sumber ini adalah, pembakaran batu bara, pembangkit listrik, asap kendaraan.
Hasil pembakaran tersebut, disamping menghasilkan energi untuk memudahkan kehidupan manusia, juga menghasilkan gas-gas seperti karbon dioksida, nitrogen oksida, dan sulfur dioksida yang akan mencemari atmosfer bumi.
Industri pertanian juga menyumbang emisi melalui pestisida anorganik-nya. Limbah rumah tangga, sebagai salah satu penghasil limbah padat terbanyak namun belum dapat dikelola secara efektif, membuat limbah melepaskan metana dan karbon dioksida sebagai hasil penguraian oleh bakteri.
Bidang fashion juga disebut menghasilkan 10% dari total emisi gas rumah kaca, menyusul tren fashion yang berkembang cepat, membuat perusahaan tekstil besar berlomba-lomba menghasilkan pakaian dengan jumlah besar dan dalam waktu yang singkat.
Baca juga: Greta Thunberg Desak Kanselir Jerman Angela Merkel Pimpin Perlawanan Pemanasan Global
Proses produksi dari kapas, benang, kain, hingga menjadi sebuah pakaian tentu membutuhkan sumber energi yang tidak sedikit.
Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi memberikan banyak kemudahan yang tidak didapatkan pada masa sebelumnya.
Hampir setiap rumah memiliki kendaraan bermotor, handphone yang bukan hanya sebagai alat komunikasi, tapi juga berfungsi sebagai alat sosisalisi, hiburan, hingga bisnis.
Membeli barang dan makanan semudah mengetukkan ujung jempol ke layar smartphone, serta banyak kemudahan lainnya.
Namun ada sisi gelap lain yang menyertai seluruh kemudahan tersebut, yakni pembuangan energi yang berlebihan, menghasilkan emisi gas rumah kaca, hingga akhirnya bertanggung jawab menjadi penyebab pemasan global.
Lantas bagaimana upaya untuk mengurangi pemanasan global?
Terlepas dari usaha berbagai organisi dunia dan pemerintah setempat, diperlukan juga aksi individual dari tiap orang sebagai upaya mengurangi ‘permintaan’, sehingga ‘penawaran’ yang diberikan oleh berbagai industri juga dapat berkurang. Upaya individu bisa dimulai dari aksi kecil yang sederhana.
Berjalan kaki atau bersepeda tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik dan mental, namun turut mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika jarak tempuh dapat dijangkau dengan berjalan kaki, lebih bijak rasanya menyimpan kendaraan tetap di garasi rumah.
Baca juga: Potensi Mega Tsunami Akibat Mencairnya Es Kutub, Pemanasan Global Kian Mengkhawatirkan
Pupuk anorganik seperti pestisida dapat dikurangi dengan mengubah teknik penyemprotan dan menanam tumbuhan yang dapat menyerap gas residu dari pestisida.
Di rumah, ada banyak langkah yang bisa dilakukan. Menghemat energi seperti mematikan lampu dan alat elektronik saat tidak terpakai, bijaksana dalam penggunakan air.
Termasuk juga membuat perencanaan makan/meal plan, agar dapat berbelanja dan menyediakan makanan dengan efisien.
Hal ini selain untuk menghemat pengeluaran, juga dilakukan untuk mengurangi limbah rumah tangga yang bersumber dari sisa makanan harian.
Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa sampah sisa makanan amat mendominasi, melebihi sampah plastik.
Beralih kepada suistainable fashion, yakni memperhatikan dampak produksi pakaian terhadap lingkungan.
Karena setiap detail proses produksi membutuhkan energi listrik dan air. Dengan menyadari hal ini, kita sebagai konsumen tentu akan lebih bijak dalam memilih pakaian yang akan dibeli.
Baca juga: Ibu Hadidah Tiga Tahun Terbaring di Rumah, Haji Uma Biayai Pengobatan ke Rumah Sakit
Harapannya, dapat memperpanjang umur pemakaian pakaian, bukan hanya tersimpan atau dibuang
Cara yang juga sudah lama terdengar, namun sedang ramai diterapkan akhir-akhir ini adalah dengan menerapkan manajemen sampah yang merujuk pada hierarki 3R.
Reduce (mengurangi sampah) sebagai tahap tertinggi,kemudian Reuse (menggunakan kembali), dan terakhir Recycle (mendaur ulang).
Mengurangi sampah, terutama sampah plastik dengan membawa kantong belanja sendiri, alat makan dan sedotan, botol minum, sehingga tidak perlu memakai kantong plastik, alat makan dan minum sekali pakai.
Termasuk juga sampah kertas, dengan menggunakan metode paperless, memakai kembali sisi kertas yang kosong, dan penggunaan kertas daur ulang.
Baca juga: Senat USK Tetapkan Hanya Tiga Calon Rektor, Satu Orang Gugur
Menggunakan kembali barang yang sudah terpakai, dengan tidak langsung membuang botol bekas sabun, cairan pembersih, lotion, skincare, make up dan masih banyak lagi.
Gunakan kembali botol bekas dengan mengisi ulang, atau dialih fungsikan untuk keperluan lain.
Pakaian bekas dapat diberikan kepada orang lain, dijual kembali, atau dilakukan metode upcycling yakni memperbaharui pakaian lama menjadi pakaian baru, memakai pashmina menjadi outer baju atau gamis, membuat kaos bekas menjadi keset yang cantik dan estetik, menjahit jeans bekas menjadi tas, dan lain-lain.
Dampak besar dan serius dari pemanasan global ternyata dapat dicegah dengan usaha kecil dari tiap individu.
Baca juga: Pemanasan Global Ancam Dunia, Setengah Biaya Perubahan Iklim Diplotkan ke Negara Miskin
Perubahan pada hal-hal sederhana, namun berefek besar bisa menjadi langkah awal dan nyata untuk menjaga bumi dari agar tetap menjadi hunian yang nyaman.
Karena seperti yang kita ketahui bersama, bumi bukan peninggalan nenek moyang, namun merupakan warisan untuk generasi selanjutnya.
*) PENULIS Adalah Mahasiswa Pasca Sarjana USK Program Magister Kesehatan Masyarakat
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis