Opini

Anies, Pilpres, dan Restu Aceh

Pemugaran makam Sultan Aceh terakhir, Sultan Alaidin Muhamamd Daud Syah, selesai dilakukan

Editor: bakri
For Serambinews.com
Muhammad Alkaf 

Upaya ini merupakan cara dari pihak kerabat Sultan melakukan pembacaan ulang terhadap zaman yang telah berubah.

Namun, pertanyaannya yang patut diketengahkan sekarang adalah bagaimana posisi Sultan Aceh di dalam struktur budaya masyarakat Aceh itu? Apakah ingatan kolektif orang Aceh masih memberikan tempat kepada Kesultanan.

Atau, karena sejak awal Aceh mendukung gagasan mengenai Republik, memori tentang Kesultanan sudah terkubur di bawah alam berpikir demokrasi kerakyatan.

Sultan, perang, dan penyingkiran

Sebelum kedatangan Belanda, struktur sosial masyarakat aceh ditopang oleh tiga kekuatan: Sultan, Uleebalang, dan Ulama.

Struktur itu hidup rukun sampai kemudian kekuatan kolonial membongkarnya.

Sultan sebagai pihak yang paling dirugikan ketika Belanda melakukan invasi.

Belanda menghancurkan tidak hanya harta bendanya, namun juga melucuti tanpa ampun kekuasaannya yang telah berumur ratusan tahun.

Gubernur DKI Jakarta, Aneis Baswedan menerima Kupiah Meukeutop dan Siwah Meuneungi Sultan dari perwakilan keluarga Sultan setelah berziarah ke makam Sultan terakhir Aceh, Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (13/12/2021).
Gubernur DKI Jakarta, Aneis Baswedan menerima Kupiah Meukeutop dan Siwah Meuneungi Sultan dari perwakilan keluarga Sultan setelah berziarah ke makam Sultan terakhir Aceh, Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (13/12/2021). (Dok Instagram @TamanHutanDKI)

Sedangkan kaum uleebalang melakukan negoisasi dengan pihak Belanda sehingga golongan tersebut mendapatkan privilege selama masa pendudukan.

Hal ini yang memberi pengertian kepada kita mengapa uleebalang kemudian tersingkir di masa revolusi sosial, karena dianggap sebagai kaki tangan pemerintah kolonial, sekaligus naiknya golongan ulama yang sejak lama melakukan oposisi dengan Belanda.

Walaupun Sultan sudah tersingkir, wacana untuk mengembalikan posisi mereka dengan melakukan restorasi kesultan Aceh mulai dibicarakan di Aceh akhir tahun 1930-an.

Upaya itu gagal karena golongan bangsawan menolak usulan itu mengingat hal demikian akan melemahkan posisi mereka karena harus membagi kekuasaan dengan Sultan (Reid, 2012; Sjamsuddin, 1999) .

Narasi Kesultanan semakin hilang dan tak berjejak terutama ketika dentuman revolusi sosial meletus, Darul Islam bergejolak, dan Gerakan Aceh Merdeka hadir.

Ketiga peristiwa itu menjadi narasi utama dalam penulisan sejarah Aceh kontemporer.

Sultan Aceh tidak mendapatkan tempat yang signifikan, kecuali pada satu hal: bahwa Sultan melawan sampai akhir.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved