Opini
Anies, Pilpres, dan Restu Aceh
Pemugaran makam Sultan Aceh terakhir, Sultan Alaidin Muhamamd Daud Syah, selesai dilakukan
Tidak menyerah.
Akibat sikap kerasnya itu, dia dan keluarganya dibuang ke luar dari negerinya, sampai wafat di Jakarta.
Seperti Cut Nya’ Dhien yang menjadi milik warga Sumedang, pun begitu dengan Sultan Aceh terakhir.
Dia wafat di Jakarta di tahun 1939.
Kematiannya diberitakan di salah satu koran dengan judul yang datar saja, tanpa menimbulkan implikasi apapun setelahnya.
Tidak ada gejolak politik sama sekali.
Jarak yang membentang lama itu membuat masyarakat Aceh memilih hidup tanpa Kesultanan.
Pemberitaan dengan judul demikian sekaligus memiliki makna semiotik bahwa Sultan tidak pernah lagi ada di Aceh sebagai pemimpin.
Hal itu terlihat dengan jelas ketika ulama memberi pernyataan setia pada proklamasi yang menjadi penanda ketiadaan Sultan.
Hal ini dipertegas dengan Memorandum PUSA 1950 yang menyebutkan garis perlawanan Teungku Chi’ di Tiro sebagai keabsahan ulama sebagai pemimpin Aceh, yang Oleh Hasan Tiro, narasi itu diambilnya sebagai pernyataan kalau kepemimpinan absah Teungku Chi’ di Tiro itu sebagai argumennya untuk mendapuk diri sebagai Wali Negara dalam narasi Gerakan Aceh Merdeka (Ali et al., 2008) .
Walaupun Sultan Aceh terakhir dalam peta politik, tetapi dia ditulis sebagai orang yang tidak pernah menyerahkan tanah kelahirannya kepada Belanda–oleh satu kisah di hadapan para pembesar militer Belanda, Sultan merobek-robek surat pernyataan untuk penyerahan kedaulatan.
Sultan Aceh terakhir ditulis dengan patriotik.
Walau sejarah juga mencatat, setelah tiga tahun setelah upacara “penyerahan yang tidak dilakukannya” Sultan masih berada di Banda Aceh selama tiga tahun, sampai kemudian dia dibuang ke Ambon karena ditenggarai ikut memprovokasi pemberontakan Kutaraja 1907.
Pemberontakan itu menunjukkan Sultan menolak untuk tunduk.
Dia percaya bangsa kulit putih bisa dikalahkan sebagaimana Jepang menunjukkan hal itu dua tahun sebelum meletusnya pemberontakan.