Kupi Beungoh
Kekerasan Seksual dan Rusaknya Budaya Kita
Kasus asusila tersebut melibatkan pasangan muda yang belum menikah, juga mereka yang telah menikah, namun berani melakukan "hubungan gelap"
Aceh sebagai provinsi bersyariat dan masyarakat yang Islami dan berbudaya tentu harus menjadi tempat yang aman bagi setiap perempuan dan anak-anak, dan itu membutuhkan tegaknya hukum dan adanya keadilan.
Namun masalahnya tidak sampai hanya di situ. Kita harus berpikir bukan dalam tahapan hanya menghukum pelaku, namun bagaimana setiap individu di dalam masyarakat sama sekali tidak ada yang berhasrat untuk melakukan kejahatan seksual semisal itu.
Masalah mendasar yang puncaknya adalah kekerasan seksual dan perilaku asusila adalah rusaknya moral masyarakat kita hari ini.
Kerusakan moral adalah bukti bahwa banyak yang belum benar-benar beragama secara baik. Tidak terserapnya ajaran agama yang sangat mencela perbuatan asusila, ke dalam batin tiap-tiap insan masyarakat Aceh.
Artinya, kerusakan moral adalah suatu masalah yang dapat kita sebut rusaknya kita masyarakat Aceh dalam beragama.
Yang kedua, krisis moral dalam perilaku kekerasan seksual dan perilaku asusila mencerminkan bagaimana budaya Aceh yang secara tradisional bernafas dan bersendikan nilai-nilai Islam—sebagaimana budaya Melayu Nusantara lainnya—telah rusak sendinya.
Budaya dan nilai-nilai kebudayaan kita tidak lagi mendapat tempat utama di hati sebagian masyarakat Aceh. Padahal masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang sangat membanggakan dan berpegang teguh pada nilai-nilai budaya.
Baca juga: Tentara Wanita Korea Utara Kabur dari Rezim Kim Jong-un, Mengaku Disiksa dan Alami Pelecehan Seksual
Sampah Modernitas
Krisis kebudayaan ini kita alami, sebagaimana budaya masyarakat Muslim lainnya di belahan dunia, adalah dengan tercemarnya kebudayaan kita dengan sekularisasi dan liberalisasi budaya yang datang dari Barat.
Semangat kebebasan dari Barat yang tak hanya soal kebebasan politik dan kebebasan berpendapat, namun juga soal kebebasan ekspresi seksual yang sebenarnya tidak sejalan dengan budaya kita yang menjunjung tinggi nilai kesopanan dan kepatutan dalam berpakaian dan mengatur mengenai relasi dengan lawan jenis dengan norma-norma susila dan kesopanan.
Kita telah melihat bagaimana seksualitas di Barat dikomodifikasi dan dikomersialisasi sebagai sebuah industri yang menghasilkan uang.
Kebebasan dalam relasi seksual di Barat telah merusak institusi keluarga yang bagi kita adalah pondasi kebudayaan kita, yang mengatur rapi masalah keluarga dan pernikahan.
Pikiran kita telah diracuni dengan ide-ide berkedok kebebasan berekspresi, padahal hanya kedok bagi pemuasan syahwat yang menjadi tabiat bagi manusia yang kehilangan potensi ruhaninya.
Syahwat sendiri adalah bagian dari tabiat manusia yang diatur dalam batasan tertentu oleh aturan agama dan nilai budaya sehingga tidak menjadi dominan dalam diri manusia. Dominasi syahwat sendiri adalah bentuk rusaknya manusia dan hilangnya sisi kemanusiaan pada manusia.
Sejauh ini kita masyarakat Aceh adalah masyarakat yang gagal megadopsi modernitas. Kita gagal membangun daerah, membangun institusi-institusi ekonomi atau industrialisasi yang modern yang membuat kita menjadi masyarakat modern.