Fearure
Persamaan Nasib dan Hukum Adat Laot, Mengikat Aceh Sambut Rohingya
Warga Aceh sudah tahu tentang stigma yang melekat pada orang Rohingya, namun ini masalah kemanusiaan dan warga Aceh pernah hidup dalam konflik.
Penulis: Muhammad Nasir | Editor: Nurul Hayati
Ia juga mengetahui, jika kedatangan warga Rohingya ke Aceh, menimbulkan pro kontra di kalangan warga Indonesia.
Namun, ia dan warga lainnya, tidak mempedulikan perdebatan soal Rohingya.
Menurutnya, kondisi Rohingya di dalam kapal harus ditolong.
Sehingga, atas nama kemanusian, mereka tetap menerima dan menyambut para pengungsi ini.
Baca juga: Direktur Diaspora Transnasional Asia Tenggara : Imigran Rohingya Sebaiknya Ditampung di Pulau Khusus
Cerita hampir sama disampaikan oleh Rahmat (27), warga Krueng Geukueh, tempat Rohingya mendarat pada 30 Desember 2021.
Di mata Rahmat, ulah dan tingkah laku Rohingya yang sudah terlebih dahulu tiba di Aceh membuat pengungsi ini punya “nama buruk” .
Ia mencontohkan, para pengungsi yang datang dalam pendaratan sebelumnya sempat ditampung di Camp Blang Adoe, Aceh Utara, dan BLK Kandang, Lhokseumawe.
Hanya beberapa bulan di camp itu, mereka kabur.
Bahkan, ada informasi membayar orang lain, untuk menyelundupkan mereka ke Medan.
Pasalnya, di Medan juga banyak terdapat Rohingya.
Namun, ketika melihat ada kapal pengungsi yang datang lagi, dengan berisi anak-anak dan kaum perempuan, warga tak kuasa menolak.
Baca juga: VIDEO 115 Rohingya Jalani Karantina di BLK Lhokseumawe, Perwakilan UNHCR Ucap Terima Kasih
Rasa kemanusian yang dimiliki oleh orang Aceh, khususnya nelayan, mengalahkan pandangan negatif tadi.
“Kita dulu pun waktu konflik pernah mengungsi-ngungsi, kita rasa pedihnya orang kita dulu, nggak mungkin kita tolak orang itu,” ujar Rahmat.
Apalagi, katanya, warga Rohingya itu setiba di darat akan ditempatkan di sebuah camp yang terpisah dengan warga.
“Mereka pun di sini biasanya sementara, nanti bakal di bawa ke Medan,” ujarnya.
Iswadi dan Rahmat secara pribadi menyampaikan, jika ke depan pun Rohingya datang lagi, mereka siap-siap saja memberi pertolongan.
Baca juga: Pemerintah Izinkan Pengungsi Rohingya Didaratkan di Aceh, PMI Pusat Segera Kirim Bantuan
Pendaratan terbaru
Setelah Lancok, sejumlah etnis Rohingya lainnya juga mendarat di Aceh pada akhir Desember 2021 lalu.
Edi Saputra, nelayan asal Jeunieb dan sejumlah nelayan lainnya sedang mencari ikan di perairan Selat Melaka ketika diberitahu nelayan lain, jika ada kapal berisi warga asing di kawasan itu.
Boatnya pun langsung mendekat ke lokasi.
Di sana ia melihat pemandangan yang sangat menyentuh rasa kemanusian di kapal tersebut.
Anak-anak dan kaum perempuan berbaring berhimpit-himpitan di atas geladak kapal.
Untuk menghalau teriknya matahari, hanya dipasang kain seadanya yang kian lusuh.
Mereka dalam kondisi dehidrasi, karena kekurangan air dan makanan.
Mesin kapal sudah dalam kondisi rusak.
“Saya pribadi sangat kasihan saat melihat anak-anak kecil dan kaum perempuan di dalam kapal itu, kondisinya sangat tidak layak, susah saya gambarkan. Saya pun menangis di situ, saat melihat mereka teringat sama anak sendiri,” ujarnya.
Mereka sudah masuk ke perairan Bireuen sejak 26 Desember 2021.
Baru empat hari kemudian mereka diizinkan mendarat, dengan pengawalan TNI-AL.
Selama menunggu izin mendarat, nelayan secara bergantian menyuplai air dan makanan untuk mereka.
Bahkan saat malam, beberapa kapal nelayan menemani para pengungsi, mengelilingi kapal Rohingya tersebut.
“Kondisi kapal sudah rusak mesin, mereka mengaku sudah 26 hari terombang-ambing di laut, kondisi kapal yang kecil, kalau kita dibiarkan dan dihempas gelombang atau badai, saya yakin mereka tidak selamat,” ujarnya.
Baca juga: Yayasan Geutanyoe Galang Dana Untuk Pengungsi Rohingya
Hukum adat laot
Rasa kemanusiaan dan merasa senasib ketika konflik, bukan hanya alasan mengapa nelayan Aceh begitu peduli pada etnis Rohingya.
Ternyata mereka juga terikat oleh hukum adat laot, untuk menolong siapapun yang didera kemalangan di lautan.
Nilai-nilai itu juga dianut oleh warga yang hidup di sepanjang pesisir pantai Aceh.
Keterikatan dengan hukum adat laot juga, yang selama ini membuat para nelayan dan masyarakat pesisir Aceh dengan terbuka menerima kedatangan pengungsi Rohingya dari Myanmar.
Meski, para pengungsi ini ditolak di sejumlah negara jiran.
Keharusan untuk memberikan pertolongan ke sesama di tengah laut, sebenarnya sudah menjadi aturan tak tertulis bagi nelayan maupun pelaut di berbagai belahan dunia.
Namun di Aceh, hukum adat laot kini sudah menjadi hukum tertulis, yang dilengkapi dengan sanksinya.
Mereka juga memiliki lembaga yang mengawasi dan mengaturnya, yaitu Lembaga Panglima Laot Aceh.
Tak heran jika dalam 10 tahun terakhir, gelombang kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh, disambut dengan tangan-tangan hangat.
Bahkan, nelayan rela tak mencari ikan, berbondong-bondong menarik kapal mereka ke darat.
Sementara, Sekjen Panglima Laot Aceh, Miftah Cut Adek kepada Serambinews.com, mengatakan, Aceh memiliki hukum adat laot, yang salah satu isinya mengamanahkan nelayan/pelaut supaya menolong semua makluk hidup yang mengalami kesusahan atau membutuhkan pertolongan.
Selama mereka tidak membahayakan nyawa para penolongnya.
“Jadi yang harus ditolong itu bukan hanya orang yang hanyut, orang yang terombang-ambing dalam kondisi butuh makanan, ya seperti orang Rohingya ini. Bahkan bukan hanya manusia, hewan yang hanyut di laut pun wajib ditolong,” ujarnya.
Katanya, jika para nelayan mengabaikan memberi pertolongan untuk makluk hidup yang membutuhkan pertolongan, mereka bisa disanksi.
Sesuai hukum adat laot yang berlaku, sanksi yang diberikan berupa larangan melaut, mulai 3 hingga 7 hari.
Selain itu, kata Miftah Cut Adek, selain karena terikat dengan hukum adat laot, ada sejumlah alasan lain membuat nelayan ini sangat terbuka terhadap kedatangan pengungsi Rohingya.
Katanya, persaudaraan sesama muslim menjadi alasan yang cukup kuat bagi para nelayan dan masyarakat pesisir ini.
Apalagi, Aceh dengan nilai-nilai keislaman yang kuat, membuat warganya sangat terbuka terhadap saudara muslim lainnya.
Dalam kurun 1,5 tahun terakhir, terdapat tiga gelombang kedatangan kapal pengungsi Rohingya ke Aceh.
Pertama Juni 2020 di Lancok, Kecamatan Syamtaliara Bayu, Aceh Utara.
Kemudian, September 2020 di Ujong Blang, Kota Lhokseumawe.
Terbaru, mereka mendarat di Pelabuhan Krueng Geukueh, Dewantara, Aceh Utara, Kamis, 30 Desember 2021.
“Walau gimana pun mereka, kita di laut ini harus saling membantu, apalagi ini soal kemanusian, tidak kuat kita menolaknya” ujar Keuchik Lancok, Nasrudin, salah satu desa yang menjadi tempat mendarat Rohingya pada 26 Juni 2020.
Menurut dia, sebagai warga pesisir dan nelayan, mereka sangat berpegang teguh pada hukum adat laot, yang mengharuskan mereka membantu jika ada orang yang dalam musibah atau kesusahan di tengah laut.
Sehingga ketika ada Rohingya tiba, nelayan dengan sigap membantu.
Bahkan, nelayan rela tidak mencari ikan, warga-warga pesisir rela tidak ke tambak garam, hingga menutup warung usaha.
Mereka berjibaku membantu orang-orang bernasib malang itu, mulai menarik ke arah daratan dengan boat, hingga menyumbang makanan.
Nasrudin bercerita, saat kedatangan Rohingya ke desanya, warga sempat melakukan aksi karena pengungsi dilarang turun dan dibiarkan di atas kapal.
Mereka meminta supaya para pengungsi Rohingya segera diturunkan, dengan alasan kemanusian.
Video warga Lancok yang berteriak-teriak meminta pengungsi Rohingya didaratkan pun sempat viral.
“Dulu ketika kita dilanda bencana tsunami, orang dari mana-mana, dari berbagai negara datang ke sini memberikan bantuan. Ya sekarang orang lain yang butuh bantuan, harus kita berikan, maka warga bersemangat membantu,” ujarnya.
Baca juga: VIDEO TNI AL Tarik Kapal Pengungsi Rohingya yang Terapung di Lautan
Keinginan berbaur terkendala bahasa
Dalam beberapa kali kedatangannya ke Aceh, para pengungsi Rohingya ini ditampung di BLK Lhokseumawe, yang berada di Desa Meunasah Mee, Kandang, Lhokseumawe.
Di tempat penampungannnya, Rohingya tidak hanya mengurung diri di dalam kompleks camp.
Namun mereka juga ke luar, mencoba berbaur dengan warga kampung setempat.
Namun perkara bahasa, menjadi kendala dalam komunikasi antara pengungsi Rohingya dengan warga setempat.
Berdasarkan keterangan warga sekitar tempat penampungan, orang-orang Rohingya itu memang mencoba dekat dengan warga dan menyapa.
Namun karena tidak mengerti bahasa, satu sama lain, akhirnya hanya sekedar melepas senyum dan salam.
“Mereka ada ke luar-ke luar, tapi karena mereka ga ngeri bahasa kita, kita nggak ngerti bahasa dia, akhirnya hanya senyum-senyum aja dan bilang “assalamualaikum” saja udah,” ujar Ida, warga setempat.
Warga lainnya, Fachreza juga menyampakan, biasanya warga Rohingya bertemu dengan masyarakat lokal, saat duduk-duduk di warung kopi di sekitar camp.
Kemudian, mereka juga sering melaksanakan shalat berjamaah di masjid.
Kata Reza, selama ini memang tidak ada penolakan terhadap Rohingya di kampung mereka.
Warga pun merasa tidak ada gangguan dengan ditempatkan Rohingya di tengah pemukiman mereka.
“Warga sebenarnya sedikit tahu tentang latar belakang mereka hingga bisa ke sini, dan juga tau hal-hal yang kurang baik dari mereka. Akhirnya warga, kalau disenyumin ya senyum, di kasih salam, ya dibalas,” ujarnya.
Katanya, sebagian besar aktivitas Rohingya ada di dalam camp, yang dipagar tinggi.
Oleh karena itu, warga tidak mengetahui banyak tentang kegiatan mereka selama di penampungan.
Warga hanya melihat mereka saat keluar berbelanja di kedai, warung kopi, atau ke masjid.
Baca juga: Kapal Boat yang Membawa Pengungsi Rohingya Masih Bertahan di Laut Lepas
Semangat solidarits muslim
Antropolog Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Pasya membenarkan, jika stereotip tentang Rohingnya tidak mempengaruhi keinginan masyarakat Aceh untuk membantu para imigran yang datang dengan perahu tersebut.
Namun, katanya, selain beberapa faktor yang dikemukan oleh masyarakat, seperti hukum adat laot, kesamaan penderitaan saat tsunami dan konflik bersenjata.
Kemal Pasya menyimpulkan, ada faktor yang paling kuat yang membuat masyarakat sangat terbuka, yaitu rasa solidaritas seiman dan seagama.
“Ketika yang terapung-apung itu manusia muslim, yang terusir dari kampung halamannya, maka masyarakat akan sangat menolong,” ujarnya.
Ia menjelaskan, antara Aceh dengan Rohingya ada kerikatan DNA ras.
Katanya, orang Melayu merupakan komposit dari ras Dravida, dari Asia Selatan.
Sehingga hubungan itu membangkitkan simpati yang besar di masyarakat Aceh.
“Kalau kita lihat-lihat, orang Aceh di beberapa daerah seperti Krueng Mane dan Beureunuen kan masih mirip mirip dengan orang asia selatan, seperti Benggali dan Tamil. Jadi ada perasaan yang datang itu saudara jauh, jadi harus diterima, apalagi mereka Islam,” ujarnya.
Kesamaan ras dan persaudaraan sesama Islam, mendorong rasa kemanusian yang lebih besar di hati orang-orang Aceh.
Sehingga, meski kehidupan mereka di dalam serba kekurangan, masyarakat rela menyumbang untuk Rohingya.
Teuku Kemal mengatakan, penerimaan masyarakat Aceh itu merupakan penerimaan secara antropologis dengan sangat banyak latar belakang.
Mulai kesamaan sosio-biologi, agama, hingga sejarah penderitaan.
Kesamaan itulah yang mengikat Aceh dengan Rohingya.
Menyambut kedatangan 'manusia perahu' itu dengan tangan-tangan hangat mereka. (*)
Baca juga: VIDEO - Nelayan Antar Bantuan Untuk Pengungsi Rohingya di Tengah Laut