Opini
Memaknai Stunting di Aceh
Aceh, dengan otonomi khusus yang dimiliki, merupakan salah satu provinsi dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang tinggi.

Di dalam budaya masyarakat tertentu, akses makanan yang bergizi didahulukan untuk suami. Dalam budaya tersebut perempuan dididik untuk mendahulukan kepentingan suami dalam segala hal, termasuk akses makanan yang tersedia, karena adanya pandangan suami sebagai pencari nafkah sehingga layak mendapatkan gizi makanan yang terbaik. Sehingga akses perempuan pada gizi yang seimbang, berpeluang tidak diperoleh secara memadai.
Pengambilan keputusan dalam keluarga juga berdampak pada asupan makan ibu hamil yang dipengaruhi oleh suaminya dan/atau mertua sebagai orang yang mengambil keputusan mengenai makanan apa yang akan dibeli dan dikonsumsi.
Selain itu, masalah gizi seolah hanya menjadi masalah perempuan. Ini tercermin dari riset TNP2K yang menemukan bahwa 75% responden masih meyakini persoalan gizi dianggap sebagai tanggung jawab perempuan.
Pandangan bahwa masalah pemenuhan gizi adalah tanggung jawab perempuan juga berdampak pada rendahnya dukungan suami saat kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Posisi sosial perempuan mempengaruhi kesenjangan dalam perawatan kesehatan ibu dan anak, dimana bergantung pada keputusan suami.
Dalam pola pengasuhan anak, masyarakat masih memandang pengasuhan anak merupakan tanggung jawab perempuan semata.
Beranjak dari beberapa catatan kritis di atas, pertanyaan mendasar sebagai refleksi terhadap realitas stunting hari ini di Aceh adalah “apakah dalam pengembangan perencanaan ataupun intervensi yang telah dilakukan selama ini sudah bercermin pada potret dinamika sosial budaya diatas?”
Stunting dapat dicegah dengan intervensi yang holsitik dan integratif dengan memasukkan faktor sosial budaya sebagai aspek utamanya, baik dalam penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program dan intervensi. Selain itu, karena stunting bersifat multi-dimensional, maka keterlibatan berbagai pemangku kepentingan menjadi sebuah keniscayaan.
Salah satu intervensi mendasar non-kesehatan yang wajib dilakukan (tentunya dengan menyandingkan dengan intervensi lainnya) adalah dengan melakukan perubahan cara pandang dalam masyarakat, khususnya tentang (i) pola relasi di antara anggota keluarga, terutama antara suami dan istri, untuk dapat berbagi peran yang seimbang dan
memberikan dukungan satu sama lain, termasuk dalam hal pemenuhan gizi bagi anak dan pemenuhan peran pengasuhan; (b) dalam pengambilan keputusan di dalam rumah tangga; (c) serta memastikan adanya akses ke sumberdaya yang ada.
Perubahan cara pandang ini akan mendorong adanya kesalingan untuk mendukung antara suami dan istri dalam pengasuhan, akses gizi, dan pemenuhan tangung jawab keluarga lainnya.
Upaya terkait perubahan cara pandang ini dapat dilakukan melalui sosialisasi, edukasi dan kampanye publik yang dapat dilakukan secara berkesinambungan, tidak hanya oleh Dinas Kesehatan tapi juga dapat menjadi kegiatan cross cutting oleh SKPA terkait lainnya dengan mengintegrasikan kedalam program dan kegiatan yang dilakukan.