Jurnalisme Warga

Kisah Waled Nu dan Korban Tsunami yang Inspiratif

Gerakan kultural yang biasanya dilakukan oleh dayah telah mampu mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang seimbang antara pengetahuan sosial

Editor: bakri
M.AIDIL ADHAA, Lc, Putra Pante Garot, mengabdi di STIS dan Dayah Ummul Ayman III, melaporkan dari Meunasah Bie, Pidie Jaya PESANTREN di Indonesia ini merupakan salah satu lembaga pendidikan yang juga ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa. 

OLEH M.AIDIL ADHAA, Lc, Putra Pante Garot, mengabdi di STIS dan Dayah Ummul Ayman III, melaporkan dari Meunasah Bie, Pidie Jaya PESANTREN di Indonesia ini merupakan salah satu lembaga pendidikan yang juga ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa.

Di Aceh, lembaga berasrama ini lebih dikenal dengan sebutan ‘dayah’.

Gerakan kultural yang biasanya dilakukan oleh dayah telah mampu mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang seimbang antara pengetahuan sosial dan agamanya.

Salah satu yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial adalah Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Ummul Ayman.

Berlokasi di Desa Gampong Putoh, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.

Pendirinya Asy-Syaikh Tgk H Nuruzzahri Yahya, lebih dikenal dengan panggilan ‘Waled Nu Samalanga’.

Pada dasarnya, pesantren ini berorentasi pada anak yatim piatu dan fakir miskin.

Seiring berkembangnya waktu, Waled juga menerima santri-santri nonyatim yang ingin belajar di dayahnya.

Bahkan hingga saat ini, saban tahun, sekitar 250 santri yatim dan yatim piatu yang tampung Waled di bawah Yayasan Ummul Ayman ini.

“Setiap jalan yang ditempuh karena Allah, maka Allah akan permudah jalan kepadanya.

” Jargon itu selalu dipegang Waled dalam menjalankan misinya.

Periode 1991-2003, saat konflik bersejata di Aceh masih berkecamuk, Waled memprioritaskan santri-santri korban konflik untuk dididik di dayah tersebut.

Sementara sejak 2004, Ummul Ayman juga menampung sekitar 75 anak korban tsunami Aceh.

Salah satunya yang hingga saat ini sudah berhasil Waled didik adalah Ustaz Saifuddin MPd.

Dalam reportase ini, saya ingin berbagi kesaksiannya melawan banjir tsunami hingga perjuangannya menjadi seorang teungku yang sukses.

Tulisan ini tentu menjadi spirit bagi kita bahwa semua yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil jua.

Kisah korban tsunami Pagi itu, Minggu (26/12/2004), sedang asyik mandi di pantai, tiba-tiba bocah kecil itu digulung air.

Ombak besar tak seperti biasanya itu menghantam tubuh mungilnya.

Ia terseret.

Baca juga: Erdogan Doakan Korban Tsunami Aceh

Baca juga: Korban Tsunami Aceh Tinggal di Kolong Jembatan

Terjatuh dalam tambak yang mengelilingi sepanjang bibir pantai Angkieng, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.

Melawan arus air yang deras, ia berlari sekuatnya.

Menuju jalan raya.

Melintasi persawahan yang melintang sepanjang Tanjongan-Batee Iliek.

Tujuannya mencari tempat tinggi: pegunungan Batee Iliek.

Sembari berlari, matanya sesekali melirik ke belakang.

Dalam kesempitan penglihatannya itu, ia melihat desa yang dicintainya itu hancur dihantam ganasnya air laut.

“Ho ka mak lon, ho ka ayah lon [Di mana ibu saya, di mana ayah saya],” teriaknya memanggil-manggil kedua orang tuanya.

Hatinya bergemuruh.

Bocah kelas 5 SD itu terpisah dari keluarganya.

Dua hari kemudian, mereka bertemu kembali.

Di Batee Iliek, berminggu-minggu, keluarga ini diberi fasilitas oleh salah seorang warga di sana.

Beberapa minggu setelahnya, mereka tinggal di barak-barak pengungsi.

Tak lama kemudian.

Asy-Syaikh Waled Nuruzzahri melalui Yayasan Ummul Ayman-nya membuka peluang.

Anak-anak korban tsunami Waled gratiskan belajar di dayah.

Lokasinya di Gampong Putoh.

Bisa ditempuh sepuluh menit menggunakan sepeda motor dari Batee Iliek.

Seperti bocah lainnya, Saifuddin juga ingin ke dayah.

Namun ia telat.

Teman-temannya sudah duluan.

Ia ketinggalan.

Tak berkecil hati, dengan berjalan kaki, ia melangkah menuju ke dayah.

Sebanyak 75-an anak korban tsunami mendiami satu kamar di dayah itu.

Waled sangat perhatian kepada mereka.

Tiap hari, anak-anak itu Waled beri jajan.

Mereka masih harus bersekolah di luar kompleks.

SD Desa Kandang itu adalah sekolah favoritnya.

Mereka diantar jemput dengan mobil Chevrolet merah yang hingga saat ini masih digunakan Abon Muhammad, Pimpinan Dayah Putri Muslimat saat ini.

Bertahun-tahun, Ummul Ayman membiayai mereka.

Waled menganggap mereka bak anak kandungnya.

Namun, satu per satu bocah-bocah itu ke luar.

Beragam alasan mereka saat ke luar dari dayah.

Ada yang beralasan tak betah, karena dayah tak seperti yang dibayangkan.

Ada juga yang ingin bekerja bersama saudaranya, bahkan ada yang izin pulang, tapi tak kembali lagi hingga saat ini.

Berbeda dengan Saifuddin.

Ia tinggal sendirian.

Penuh sabar.

Ayah ibu telah mendahuluinya.

Berpulang ke sisi Allah Swt.

Ia benar-benar terpukul.

Namun, ia tetap sumringah, Waled hadir menjadi ayah keduanya.

Untuk selamanya.

Di tahun 2021 ini, Ustaz Saifuddin berbangga hati.

Kesabarannya dalam berjuang kini telah membuahkan hasil.

Baca juga: Sejarah Kain Putih dan 21.165 Nama Korban Tsunami

Tak sekadar lulus di jenjang madrasah aliah, Waled juga memberinya beasiswa jenjang strata 1 dan strata 2.

Bagi Waled, Saifuddin adalah putra lahir batin.

Bahkan di sela-sela pengajian umum, Waled selalu meneteskan air mata saat bercerita mengingat tentang perjuangan mengayomi Saifuddin bersama puluhan korban tsunami lainnya.

Perjuangan Waled tak sampai di situ.

Waled juga membersamai Saifuddin di majelis akad nikahnya.

Pagi menjelang siang (15/8/2021), Ustaz Saifuddin mengabulkan pernikahan.

Ijab kabulnya lancar.

Putri Trienggadeng yang telah lama didamba, kini sudah dalam genggamannya.

Selepas acara, Waled izin pamit kepada kedua orang tua mempelai wanita.

Sembari pamit, Waled berujar, “Ho teuh ayah dan mak Ayu, nyoe Saifuddin aneuk lon beh.

Neujaga beuget.

Nyoe aneuk lon [Mana ayah dan ibu Ayu –nama mempelai wanita.

Saifuddin ini anak saya, ya.

Tolong jaga dia baik-baik],”ujar Waled kepada kedua mertua Saifuddin.

Saya yang menyaksikan dan mendengarkan pesan Waled ikut terharu.

Saifuddin menangis.

Waled juga meneteskan air mata.

Berkali-kali Waled mengusap tetesan air mata, menggunakan masker yang beliau kenakan.

Sedih bercampur bahagia; terharu.

Anak kecil yang sejak 2005 diasuhnya itu kini telah berkeluarga.

Ruangan pernikahan itu pun semakin syahdu.

Jam pun bergulir.

Senja di hari itu juga begitu teduh.

Ia turut meneteskan air mata; adem, nyaman.

Menyambut kemesraan Saifuddin-Ayu di atas pentas pelaminan itu.

Saat ini, Saifuddin termasuk dewan guru senior sekaligus beraktivitas sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Ummul Ayman.

Melalui reportase ini, saya ingin berpesan kepada pembaca sekalian bahwa peribahasa ‘Siapa yang bersungguh-sungguh pasti mendapat’ itu benar adanya.

Kesuksesan bisa diraih oleh siapa pun.

Bahkan oleh yang tak berpunya pun, akan mampu meraihnya.

Kisah Ustaz Saifuddin ini menjadi contoh nyata keberhasilan karena faktor kesungguhan.

Ia tak pernah berputus asa.

Semangatnya dalam belajar membuatnya diunggulkan dalam kelas dan menjadi sosok yang inspiratif.

Asy-Syaikh Waled juga sangat mendukung dan sangat bahagia melihat semangat yang ditularkannya.

Akhirnya, mari kita tingkatkan kepedulian terhadap anak-anak korban tsunami dan yatim piatu lainnya agar mereka tetap semangat dalam menjalankan berbagai aktivitas dan akan banyak melahirkan Saifuddin-Saifuddin lainnya yang menginspirasi.Semoga!

Baca juga: 16 Tahun Bencana Berlalu, Puluhan Korban Tsunami di Aceh Utara Belum Dapat Rumah Bantuan

Baca juga: Kilas Balik Tsunami Aceh | Kisah Pria Cacat Tidur Bersama Mayat Korban Tsunami di Bubungan

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved