Opini

Mandulnya Hukuman Kebiri di Indonesia

Rentetan berita tentang kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak di Indonesia terus menjamur di media lokal

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Mandulnya Hukuman Kebiri di Indonesia
IST
Amrullah Bustamam, Dosen Hukum Pidana Fakultas Syariah dan Hukum dan Ketua Pusat Studi Hukum Pidana dan Kriminologi UIn Ar-Raniry

Oleh Amrullah Bustamam, Dosen Hukum Pidana Fakultas Syariah dan Hukum dan Ketua Pusat Studi Hukum Pidana dan Kriminologi UIn Ar-Raniry

Rentetan berita tentang kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak di Indonesia terus menjamur di media lokal maupun nasional, baik di media cetak maupun di berbagai media online di beberapa tahun belakangan ini.

Seperti kasus pilu pemerkosaan anak di Luwu Timur, kasus anak diperkosa 14 pria di Suka Makmu, Nagan Raya, Aceh (Kompas.com), guru di Bekasi cabuli bocah 12 tahun, guru di boarding school Bandung cabuli 21 siswanya, guru di Depok cabuli 10 muridnya, Guru cabuli muridnya di Tangerang (https://www.pikiran-rakyat.com).

Maraknya kasus kejahatan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia tentu saja berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat, hukuman seberat beratnya bagi pelaku adalah harapan yang penting untuk diperhatikan oleh pemerintah.

Kebiri sebagai hukuman yang diharapkan dapat diberlakukan untuk melahirkan keadilan dan menghadirkan efek jera bagi pelaku, sepertinya sampai akhir tahun 2021 mengalami kemandulan.

Hukuman kebiri yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pemgumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak ini memuat ketentuan Tindakan Kebiri Kimia, tindakan pemasangan dan pelepasan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, pengumuman identitas pelaku, pendanaan, dan pengawasan, tidak kunjung terealisasi.

Khusus dalam kasus Herry Wirawan, pelaku pencabulan 21 siswanya, Jaksa menuntut pelaku dengan tuntutan berlapis yaitu hukuman mati, plus hukuman kebiri kimia serta pemasangan alat pendeteksi kimia dan denda Rp 500 juta subsider 1 tahun kurungan.

Dalam hal ini, pemerintah melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah menunjukkan itikad baik dalam hal menuntut hukuman yang dapat menjerakan pelaku dan calon pelaku potensial lainnya.

Baca juga: Herry Dituntut Hukuman Mati dan Kebiri Kasus Pemerkosaan 13 Santriwati, Keluarga Korban Pesimis

Baca juga: 8 Alasan Jaksa Tuntut Herry Wirawan dengan Hukuman Mati dan Kebiri Kimia

Sementara itu, di sisi lain pihak Komnas HAM melalui Komisionernya Muhammad Choirul Anam menolak hukuman kebiri kimia terhadap terdakwa Herry, dengan alas an hukuman kebiri kimia ini tidak sesuai dengan prinsip HAM dan semangat perubahan hokum di Indonesia.

Komnas HAM mendukung hukuman berat terhadap pelaku, namun bukan bentuk hukuman mati dan kebiri.(Republika.co.id).

Di sisi lain polemik pro dan kontra siapa dan bagaimana hukuman kebiri kimia itu akan dilakukan sampai akhir tahun 2021 belum ada jawaban.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kejahatan kekerasan seksual tersebut.

Alasan penolakan bahwa kebiri kimia merupakan bentuk hukuman, bukan pelayanan medis.

Sehingga, hal itu tidak berkaitan dengan tugas dokter dan tenaga kesehatan.

Karena itu (menjadi eksekutor) dalam aturan pelayanan medis memang tidak membolehkan.(https://www.cnnindonesia.com).

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved