Jurnalisme Warga
Peran Syekh Al Kalali sebagai Pionir Gerakan Literasi di Aceh
Tujuan literasi adalah membantu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman individu dan masyarakat dengan cara membaca informasi

OLEH ISWADI SYAHRIAL NUPIN. S.Sos., M.M., Pegawai Negeri Sipil pada Universitas Andalas Padang, melaporkan dari Padang, Sumatera Barat
LITERASI merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi dalam proses membaca dan menulis.
Tujuan literasi adalah membantu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman individu dan masyarakat dengan cara membaca informasi yang bermanfaat.
Literasi bermanfaat meningkatkan kemampuan analisis dan berpikir individu dalam mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan subjek ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.
Kemampuan individu menguasai bentuk literasi menjadikan individu tersebut berwawasan luas dalam memahami ilmu pengetahuan.
Syekh Al Kalali telah memiliki kemampuan literasi dan membagi pengetahuannya kepada khalayak di zamannya.
Tak banyak orang mengenal peran Syekh Al Kalali dalam bidang literasi.
Beliau lahir di Singapura pada 1846 dan keturunan Arab dari Hadramaut, Yaman.
Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad bin Salim Al Kalali.
Panji Masyarakat Online menyebutkan bahwa marga Al-Kalali merupakan salah satu nama keluarga Hadhrami (berasal dari Hadhramaut, Yaman).
Keluarga Al-Kalali (Kulali) ini berasal dari daerah Tubalah, Shihr.
Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa Al Kalali lahir dari Hadramaut.
Ini diketahui dari informasi Fatma, cicit Al Kalali.
Baca juga: Saat Berkunjung ke Aceh, Wamenag Akui Literasi Karya Ulama Masa Lalu di Aceh Berlimpah
Baca juga: Membaca Bencana, Literasi Keagungan
Ia pernah ke kampung asal Al Kalali, dekat Pelabuhan Mukalla, saat Fatma merantau ke Yaman.
Menurut Fatma, ia tak banyak tahu sejarah Syekh Al Kalali karena berada di perantauan sejak umur 17 tahun.
Yang beliau tahu, sebelum ke Aceh, Syekh Al Kalali tinggal di Singapura.
Istri pertama beliau asal Penang, bergelar Syeikha.
Ini gelar wanita bangsawan keturunan Arab yang umum digunakan di Yaman atau Uni Emirat Arab.
Setelah hijrah ke Aceh dan lama tinggal di Lhokseumawe, Al Kalali berangkat ke Jawa hingga menikah dengan perempuan Plered, Cirebon.
Tak diketahui siapa nama istri beliau tersebut.
Syekh Al Kalali sempat mendirikan sekolah Al Irsyad di Cirebon bersama ulama dan cendekiawan muslim lainnya.
Kemudian, beliau pulang ke Lhokseumawe dan meninggal tahun 1946 dalam usia 100 tahun.
Posisi rumah beliau berada di lokasi Panti Asuhan Muhammadiyah, Hagu Selatan.
Setelah meninggal, tanah rumahnya diwakafkan oleh anaknya untuk panti asuhan anak yatim.
Al Kalali memiliki sembilan anak dari dua istri.
Lima anak laki-laki Syekh Al Kalali adalah Asad (meninggal di Cirebon), Abdul Muin dan Abdul Hamid (meninggal di Irak), Ahmad dan Umar (meninggal di Jeddah).
Empat lainnya perempuan, Rukaiyah (meninggal di Pekalongan), Fatimah (meninggal di Lhokseumawe), Hamidah (di Jawa Barat), dan Aisyah saat ini berdomisili di Pekalongan.
Syekh Al Kalali adalah sosok multitalenta yang mampu menguasai berbagai keahlian dan keterampilan dalam disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda.
Beliau memainkan peran sebagai pejuang, ulama, guru, saudagar, dan pionir gerakan literasi.
Sebagai pejuang beliau berpartisipasi dalam Perang Aceh membantu logistik pejuang Aceh dari Pulau Pinang.
Peran beliau sebagai ulama ditandai dengan dakwahnya yang berusaha memerangi takhayul, bid’ah, dan khurafat melalui organisasi Al Irsyad.
Organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan Islam.
Didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati, cendekiawan Islam asal Sudan yang tinggal di Makkah lalu datang ke Indonesia atas permintaan organisasi Jamiat Kheir sebagai guru.
Baca juga: Wamenag Akui Literasi Karya Ulama Masa Lalu di Aceh Berlimpah
Organisasi Al Irsyad memiliki semangat yang sama dengan Muhammadiyah, terutama dalam memerangi taklid.
Syekh Al Kalali merupakan guru dari Teungku Hasbi Ash Shiddieqy yang memberikan pencerahan pentingnya mendalami karya Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Qayyim sehingga di dalam diri Teungku Hasbi terbuhul semangat tajdid atau pembaruan dan pemurnian Islam.
Beliau juga memberikan rekomendasi kepada Teungku Hasbi untuk melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Al Irsyad di Jawa di bawah bimbingan Syekh Ahmad Soorkati.
Peran beliau sebagai saudagar dapat diketahui dari bisnisnya di bidang ekspor impor yang berkembang pesat di Cirebon, Pulau Pinang, dan Lhokseumawe.
Syekh Al Kalali dapat dikatakan sebagai pionir gerakan literasi karena mendirikan Majalah Al Imam yang memengaruhi pemikiran Islam tidak hanya di Aceh, tapi juga Asia Tenggara.
Pernyataan di atas dikuatkan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dalam bukunya “Ayahku” yang terbit tahun 1950, dijelaskan bahwa keberadaan Majalah Al Imam ini seluruhnya dibiayai oleh Syekh Al-Kalali yang juga bertindak sebagai mudir (direktur) majalah tersebut.
Dengan kata lain, modal pendirian Majalah Al Imam itu seluruhnya berasal dari Syekh Al Kalali.
Alasan Syekh Al Kalali mendirikan Majalah Al Imam dilatarbelakangi oleh kecintaannya kepada wathan (tanah air).
Peran Syekh Al Kalali
Syekh Al Kalali dapat dikatakan sebagai pionir gerakan literasi di Aceh.
Ini dapat dilihat dari perilaku beliau memasuki suatu negeri.
Baihaqy (2021) menyatakan jika beliau datang ke suatu negeri, beliau akan selidiki sejarah negeri tersebut, adat istiadat penduduknya, dan perkembangan agamanya.
Berdasarkan perilaku ini dapat disimpulkan bahwa beliau telah memainkan peran sebagai pegiat literasi yang paham literasi perpustakaan, yakni kemampuan memahami informasi hingga mampu membuat karya tulis sebagai hasil penelitian.
Syekh Al Kalali juga berperan dalam literasi media karena memiliki kemampuan memahami cara pemanfaatan majalah bagi masyarakat.
Baca juga: Kadisdik Ajak BSI Perkuat Literasi Keuangan Syariah di Aceh
Sebagai salah seorang pendiri Majalah Al Imam yang diterbitkan di Singapura, beliau juga berkonstribusi menuliskan gagasannya tentang pembaruan dan pemikiran Islam yang merujuk kepada Al-Qur’an dan hadis sahih serta mengikuti Manhaj Salafush Shaleh.
Pemikiran beliau adakalanya bertentangan dengan pemahaman kaum tua, yaitu mereka yang ingin melestarikan tradisi lama yang pada umumnya bermazhab Syafi’i yang fanatik dan bertaklid buta kepada ulamanya atau mengikut perkataan ulama panutannya tanpa merujuk langsung pada Al-Qur’an dan hadis.
Syekh Al Kalali sangat mahir membaca epitaf (tulisan yang terdapat pada batu nisan).
Snouck Hurgronye pernah meminta bantuannya untuk mengetahui epitaf pada nisan Sultan Aceh dan Samudera Pasai.
Beliau juga memahami epigrafi (cabang arkeologi yang berusaha meneliti benda-benda bertulis yang berasal dari masa lampau).
Salah satu contohnya prasasti.
Ini menunjukkan bahwa beliau telah menguasai literasi visual karena kemampuannya dalam menginterpretasi dan memberi makna dari suatu informasi yang berbentuk gambar atau visual.
Penutup
Berdasarkan kiprah Syekh Al Kalali dalam bidang pendidikan Islam, bisnis ekspor impor, dan literasi media, serta literasi visual maka sangat tepat dikatakan beliau adalah perintis jalan gerakan literasi di Aceh.
Majalah Al Iman yang beliau dirikan memiliki pengaruh dalam pemikiran dan pembaruan pendidikan Islam di Asia Tenggara.
Hendaknya Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA) mengabadikan nama beliau sebagai anugerah atau penghargaan bagi pegiat literasi Aceh, khususnya yang bergerak di bidang media massa.
Terlepas dari pemahaman keagamaan yang diyakini oleh beliau selama hidupnya.
Nama penghargaan itu adalah Al Kalali Award.
Di samping itu, perlu diagendakan webinar atau seminar nasional bertajuk Kiprah Syekh Al Kalali dalam Dunia Pendidikan dan Literasi Islam oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh dengan mengundang stakeholders terkait.
Ke depan Al Kalali dapat diusulkan sebagai pahlawan nasional karena ketokohannya dapat disamakan dengan Haji Oemar Said Cokroaminoto sebagai pemimpin Sarekat Islam (SI).
Baca juga: IGI Gelar Pameran Literasi Karya Guru Kota Lhokseumawe
Baca juga: Ditjen Pol & PUM Kemendagri Gelar Webinar Memperkuat Literasi Digital Indonesia Bersama MyEduSolve