Jurnalisme Warga

Mangrove Kuala Gigieng, Surganya Bangau di Aceh Besar

JALAN-JALAN sore atau JJS istilahnya anak muda, tentulah sangat menyenangkan sembari menikmati pemandangan di sekitar kita

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Mangrove Kuala Gigieng, Surganya Bangau di Aceh Besar
IST
AMRULLAH BUSTAMAM, Dosen Hukum Pidana Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, melaporkan dari Neuheun, Aceh Besar

OLEH AMRULLAH BUSTAMAM, Dosen Hukum Pidana Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, melaporkan dari Neuheun, Aceh Besar

JALAN-JALAN sore atau JJS istilahnya anak muda, tentulah sangat menyenangkan sembari menikmati pemandangan di sekitar kita.

Namun, bagi yang bosan dengan pemandangan di Kota Banda Aceh atau sekitarnya silakan memutar sedikit setir mobil atau setang sepeda motornya ke arah hutan mangrove (bakau) di pesisir Kuala Gigieng, tepatnya di dekat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gampong Lambada Lhok.

Ya, lebih kurang 100 meter arah timur pintu Tol Sibanceh (Sigli-Banda Aceh).

Sesampai di sini Anda tidak hanya akan melihat hutan mangrove yang hijau nan asri serta perahu-perahu nelayan yang tertambat rapi di tepinya.

Anda juga akan terpukau oleh riuhnya kicau para bangau “cicem kuk” atau burung kuntul putih yang memenuhi rimbunnya pepohonan mangrove Lhok Gigieng.

Burung bangau atau kuntul (Bubulcus ibis) ini merupakan burung terkecil dari bangsa kuntul-kuntulan (sekitar 50 cm).

Burung ini suka mencari makanan di area persawahan yang baru dibajak atau ditanami.

Bentuk tubuhnya lebih ramping daripada blekok sawah (Ardeola speciosa), meskipun tidak seramping kuntulkuntul yang lebih besar.

Seluruh bulunya berwarna putih, tetapi selama musim kawin bulu-bulu pada kepala, leher, punggung,dan dada berwarna kuning.

Burung kuntul kerbau (Bubulcus ibis) memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil bila dibandingkan dengan jenis kuntul lain.

Panjang tubuh berkisar ± 50 cm, leher lebih pendek, kepala berbentuk bulat, dan kelihatan lebih tebal.

Baca juga: Pangdam IM Tanam 1.000 Mangrove di Pulau Seumadu Rancung, Ini Harapan Mayjen TNI Mohamad Hasan

Baca juga: TNI Hijaukan Aliran Sungai Desa Lamnga, Tanam Ratusan Bibit Pohon Mangrove

Paruhnya lebih pendek daripada jenis kuntul lainnya, sekitar 8,5-10 cm.

Paruh dan tungkai kakinya berwarna kuning.

Jenis hewan yang menjadi mangsanya sebagian besar adalah serangga dan hewan-hewan berukuran kecil, seperti moluska, crustasea, amfibi, dan reptilia.

Makanan utama Bubulcus ibis terdiri atas serangga, katak, tikus, orongorong, dan udang.

(http:// kamicintapeternakan.blogspot.com/) Keberadaan bangau (kuk) atau istilah lainnya burung kuntul putih ini sangat menarik perhatian siapa pun yang lewat.

Apalagi bagi orang yang hendak membeli ikan di sekitar kawasan pasar ikan (TPI) Lambada Lhok atau pasar ikan dekat Jembatan Gampong Labui, akan terkesima dengan pemandangan eksotis ratusan burung kuntul dan kuatnya bau kotorannya nan menusuk hidung.

Sensasi fantastis Anda saat jalan-jalan sore akan terasa luar biasa jika bertandang ke sudut Kecamatan Baitussalam ini.

Nah, sebenarnya perkembangan ekosistem kuk atau burung kuntul ini sudah lama berlangsung di kawasan hutan mangrove pesisir Kecamatan Baitussalam.

Bupati Aceh Singkil, Dulmusrid bersama Pemimpin Redaksi Serambi Indonesia berjalan kaki di ekowisata hutan mangrove yang dikelola Badan Usaha Milik Kampong (BUMK) Bina Cita Kreasi Gosong Telaga Selatan, Senin (22/2/2021).
Bupati Aceh Singkil, Dulmusrid bersama Pemimpin Redaksi Serambi Indonesia berjalan kaki di ekowisata hutan mangrove yang dikelola Badan Usaha Milik Kampong (BUMK) Bina Cita Kreasi Gosong Telaga Selatan, Senin (22/2/2021). (Serambi Indonesia)

Seingat saya, sebelum tsunami 2004 kawanan kuntul ini sempat menempati satu lokasi tambak yang dipenuhi pohon mangrove milik salah satu warga Gampong Lamnga.

Dalam artikel hasil penelitian Ruskhanidar di hutan mangrove Lam Nga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, tahun 2006 menyebutkan bahwa sebelum tsunami, masyarakat Gampong Lam Nga sering memanen telur burung pada waktu musim burung bertelur.

Jumlah telur yang diambil dari sarang terkadang mencapai satu karung ukuran besar.

(Ruskhanidar, 2007) Namun, pascatsunami lokasi tersebut tidak diminati lagi oleh kawanan burung kuntul tersebut.

Mungkin karena masa pascatsunami banyak ekosistem mangrove di Lam Nga juga dimanfaatkan untuk lahan pembibitan mangrove sebagai bagian rehabilitasi pantai yang rusak akibat tsunami.

Baca juga: Ratusan Hektare Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Gundul Akibat Dirambah

Baca juga: Lestarikan Mangrove, Dua Kampung di Aceh Tamiang Sepakat Tegakkan Reusam

Kemudian, menurut Ruskhanidar, suara bising yang ditimbulkan oleh alat berat yang digunakan untuk merehabilitasi kembali tambak yang rusak juga berdampak negatif bagi kehidupan burung dan membuat mereka tidak betah di lokasi sebelumnya.

Lalu, kawanan burung tersebut pindah (ruana) ke tempat yang lebih aman, karena tak mampu beradaptasi dengan kebisingan.

Saat ini, lokasi hutan mangrove yang dijadikan rumah bersama para cicem kuk ini, hanya 200 meter dari lokasi sebelumnya, yakni hanya berpindah ke sebelah barat Gampong Lam Nga, tepatnya di hutan Mangrove Kuala Gigieng.

Keberadaan kawanan burung kuntul ini sekali lagi menjadi daya tarik bagi masyarakat yang bersantai di sore hari.

Mungkin Anda bertanya, mengapa hanya pada sore hari? Jawabannya, karena di pagi hari semua cicem kuk ini terbang meninggalkan sarangnya menuju sawah, rawa, atau kebun-kebun masyarakat di kawasan Aceh Besar.

Hal ini mereka lakukan karena tabiat mereka adalah mencari makanan di sawahsawah warga.

Sejauh yang saya amati, burung kuntul ini mulai meninggalkan sarangnya di Kuala Gigieng sejak pukul 07.00 WIB dan akan kembali lagi di sore hari bakda asar.

Di saat sore hari inilah kita bisa menyaksikan beragam cara si burung kuntul ini dalam melakukan manuver untuk melakukan pendaratannya di “surga mangroveKuala Gigieng.

Ada yang langsung hinggap di pepohonan bakau, ada juga yang mendarat di pinggir sungai dulu, untuk sekadar mencuci kakinya yang panjang selepas sepanjang hari bermain di sawah.

Mereka datang dari berbagai penjuru mata angin, ada yang datang dari timur, ada yang mendarat dari arah selatan, dan ada yang mendarat dari arah barat.

Bahkan, ada yang berputar- putar dulu seolah-olah ingin mengajak kawan-kawannya menari-nari di udara seperti kapas-kapas putih yang betebangan tertiup sepoinya angin Kuala Gigieng.

Terlepas dari meningkatnya perkembangbiakan kuk atau burung kuntul ini secara alami, saya melihat bijaknya masyarakat di sekitar ekosistem burung kuntul seperti tidak merusak sarang, tidak menggangu habitat dengan menembak menggunakan senapan angin, dan lainnya adalah nilai plus yang harus kita berikan apresiasi.

Baca juga: Hutan Mangrove Kuala Langsa jadi Penyeimbang di Era Deteriorasi dan Pemanasan Global

Ekosistem cicem kuk di Kuala Gigieng seharusnya menjadi salah satu lokasi tujuan wisata yang bisa mendongkrak perekonomian masyarakat sekitar hutan mangrove tersebut.

Budi daya mangrove harus menjadi prioritas Pemeritah Kabupaten Aceh Besar guna terus mengupayakan pelestarian para cicem kuk ini dari kepunahan.

Satu hal lagi, dalam beberapa hari ini saya mengamati bahwa ada beberapa cicem kuk ini yang mengalami kondisi lemah, ada sebagian yang hanya berdiam diri di pinggir sungai tanpa bertengger di atas pohon mangrove.

Sebagian lagi ada yang jatuh sendiri serta selanjutnya terlindas kendaraan yang lewat.

Kondisi ini, menurut hasil penelitian Ruskhanidar, sebenarnya bisa diakibatkan oleh pengaruh makanan para burung bangau yang telah tercemari pestisida.

Penggunaan pestisida di persawahan dan tambak sebagai tempat mencari makan beberapa jenis burung air, diperkirakan memberi pengaruh negatif terhadap Kesehatan mereka.

Meskipun data yang ada tergolong kurang, terkait banyaknya burung air yang mati setelah makan racun, tetapi penelitian di berbagai tempat menunjukkan bahwa pestisida dapat meracuni burung air tersebut.

(Ruskhanidar, 2007) Indikasi ini sangat mungkin terjadi, mengingat di kawasan persawahan Kabupaten Aceh Besar sedang memasuki musim tanam padi.

Kemungkinan ada masyarakat yang merawat padi di sawahnya dengan menggunakan pestisida sangatlah besar.

Pada dasarnya penggunaan pestisida sendiri mengancam ekosistem di sawah.(https:// beritapasundan.com/).

Ya, begitulah faktanya.

Cukup memprihatinkan.

Baca juga: Peringati Hari Wetland Sedunia, AWF Ajak Semua Pihak Selamatkan Mangrove Aceh

Baca juga: Pangdam dan Wali Kota Pelopori Program Tanam Mangrove

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved