Breaking News

Opini

MPU bukan MUI

Demikianlah semangat para ulama saat melakukan musyawarah di Asrama Haji pada tanggal 25-27 Juli 2001 lalu

Editor: bakri
zoom-inlihat foto MPU bukan MUI
IST
Dr. Yuni Roslaili, MA. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Urgensi Lembaga MPU

Secara historis sosiologis peran ulama sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Baca juga: Heboh! Dorce Gamalama Ingin Dimakamkan Sebagai Perempuan, Ini Kata MUI, Buya Yahya dan Gus Miftah

Khazanah lama masyarakat telah menampilkan peran dan pengaruh ulama di tengah-tengah masyarakatnya.

Dalam rentang sejarahnya yang panjang, masyarakat Aceh telah menjadikan ulama sebagai suluh dalam kehidupan sehari- hari, sehingga lahir kehidupan dan budaya masyarakat Aceh yang islami.

Kenyataan inilah yang kemudian menghadirkan sebuah ungkapan “Hukom ngon adat lage zat ngon sifeut” sebuah sinyalemen yang meniscayakan keserasian adat kebiasaan masyarakat dengan syariat agamanya sebagai buah dari tuntunan ulama.

Di samping itu, gezag dan fibrasi ulama juga memberi pengaruh dalam system pemerintahan.

Meskipun kedudukannya tidak menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat askritif, namun seringkali sebelum seorang sultan atau ulee balang membuat putusan, terlebih dahulu bermusyawarah dengan para ulama untuk dapat dipertimbangkan apakah suatu putusan sah atau tidak menurut pandangan agama.

Dan pada masa Sultan Iskandar Tsani, mulai diletakkan dasar pengaturan sosial, seperti kemitraan antara pemegang otoritas politik dan pemegang otoritas spritual di seluruh tingkat pemerintahan.

Bukan hanya seorang sultan yang harus didampingi seorang kadhi malikul adil, tetapi pada pemerintahan tingkat gampong pun, seorang keuchik (kepala desa) harus didampingi oleh imam meunasah.

Meski pengaruh kepada struktur pemerintahan pernah hilang setelah kemerdekaan terutama di era orde baru yang menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik dan otoriter dengan sistem unifikasi hukum yang dibangun, pascareformasi, peran ulama dalam otoritas politik di Aceh diakomodir kembali melalui UU Nomor 44 Tahun 1999.

Undang- undang ini memberikan keistimewaan dan kewenangan khusus kepada Aceh untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan serta peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Dalam hal ini peran ulama yang dimaksud adalah kontribusi ulama dalam penetapan kebijakan daerah, dalam sebuah lembaga independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi syariah sebagaimana disebutkan dalam UU No.

44 Tahun 1999 Pasal 4-9, Perda No 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No.

11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Pasal 140 dan Qanun Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).

Pasca disahkan sejumlah undang- undang dan regulasi tersebut posisi lembaga ulama memiliki legitimasi yuridis yang super kuat bahkan melampaui sejarahnya.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved