Opini
MPU bukan MUI
Demikianlah semangat para ulama saat melakukan musyawarah di Asrama Haji pada tanggal 25-27 Juli 2001 lalu
Bagaimana tidak, yang dahulunya di dalam sejarahnya, otoritas ulama dalam politik penguasa di Aceh hanya sebagai tempat bertanya, tidak dalam wujud institusi.
Namun sejak disahkan undang-undang keistimewaan dan kekhususan untuk Aceh pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah membawa babak baru dalam proses pemerintahan, di antaranya telah menempatkan ulama dalam konteks lembaga sebagai mitra legislatif dan eksekutif dalam menentukan arah kebijakan daerah seiring dengan perubahan dan transformasi social politik yang terjadi di Aceh.
Sampai di sini jelaslah bahwa posisi MPU tidak equal dengan MUI.
Dan seharusnya tidak untuk mereduksi lembaga MUI karena keduanya mempunyai legal standing, peran dan status yang berbeda.
Meskipun pada awal berdiri lembaga MPU, para pengurus MUIlah yang kemudian didaulat menjadi pengurus MPU.
Hal demikian agaknya dikarenakan situasi Aceh yang dalam suasana konflik.
Jadi posisi menurut penulis adalah karena keadaan darurat.
Oleh karena itu setelah kondisi kembali normal seperti saat ini, jika ada gagasan untuk menghidupkan kembali lembaga MUI di Provinsi Aceh adalah sesuatu yang sah saja agar terlihat distingsi yang jelas antara fungsi MPU sebagai lembaga daerah dengan organisasi keulamaan lainnya di Aceh.
Dengan demikian semakin banyak pula lembaga ulama yang berkontribusi dalam mengisi keistimewaan di Aceh dalam frame fastabiqul khairat.
Baca juga: MUI: Vaksin Merah Putih Sudah Dapat Sertifikat Halal
Baca juga: Kontroversi Haji Virtual Melalui Metaverse, MUI: Ibadah Haji di Metaverse Tak Penuhi Syarat