Opini
MPU bukan MUI
Demikianlah semangat para ulama saat melakukan musyawarah di Asrama Haji pada tanggal 25-27 Juli 2001 lalu
Konsep Trias Politica ala Aceh
Salah satu dari beberapa indikasi sebuah negara dikategorikan negara hukum dalam pandangan Julius Sthal adalah adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan.
Pemisahan kekuasaan atau yang dikenal dengan istilah trias politica merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut di berbagai negara di belahan dunia.
Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function); ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function).
Trias politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Baca juga: Ibadah Haji di Metaverse Tak Penuhi Syarat, MUI: Beberapa Ritual Butuh Kehadiran Fisik
Dengan demikian hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.
Konsep relasi legislatif, eksekutif, dan ulama di Aceh ini nampak menyerupai konsep politik Trias Politica oleh John Locke yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu.
Menurut Montesquieu dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan; yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif .
Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya.
Pada dasarnya, konsep trias politica tersebut tidak bertentangan dengan fikih siyasah.
Implementasi pembagian kekuasaan ini dapat dilihat pada masa Khulafaurrasyidin.
Saat itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legeslatif dipegang majelis syura, dan kekuasaan yudikatif dipegang qadhi atau hakim.
Kemudian, pada masa khilafah kedua yaitu masa Umar bin Khattab, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif dirinci lewat undang-undang.
Pada masa ini juga, Umar bin Khattab membuat undang-undang yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan legeslatif, dengan tujuan agar para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara bisa bebas dari pengaruh eksekutif.
Sampai di sini jika dianalogikan kepada konteks Aceh, nampak bahwa di Aceh telah mempunyai sebuah sistem daulah islamiyah yang demoktratis dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.