Kupi Beungoh
Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XXI) - Putin Mengecoh Amerika vs Putin Penjahat Perang
Harapan terbesar AS kini sangat tergantung kepada Uni Eropa, dan kemampuan berbaik baik dengan Iran dan Venuezela.
Dan hal itu akan memudahkan Rusia, karena perbandingan kekuatan militer Rusia vs Ukraina hari ini adalah 10:1, baik dari personel, alat, dan bahkan anggaran pertahanan.
Apa yang dilakukan oleh AS hari ini, dengan satu atau lain cara adalah menghentikan pembelian minyak bumi dan gas alam Rusia itu, pertama oleh sekutu AS, dan juga bahkan masyarakat internasional.
Dan ini menjadi dilema tersendiri bagi AS, karena kondisi sumber daya energi AS sangat berbeda dengan apa yang dimiliki Eropa, Jepang, dan beberapa mitra AS lainnya.
Produsen terbesar minyak dunia hari ini adalah Saudi Arabia, Rusia, dan AS.
Pada tahun 2021, dari minyak bumi saja Rusia memperoleh pendapatan sekitar 110 miliar dollar, dua kali lebih banyak dari nilai ekspor gas alamnya yang benilai sekitar 55 miliar dolar.
Dari jumlah produksi minyaknya 11 juta barel per hari, Rusia menggunakan sekitar setengahnya, dan selebihnya mengekspor antara 5-6 juta barel per hari.
Pembeli minyak bumi dan gas Rusia tersebar di seluruh dunia, terutama negara-negara maju, mulai dari seluruh negara Uni Eropa, bekas negara-negara Uni Soviet, Cina, India, dan bahkan, walaupun jumlahnya tidak sangat besar, AS.
Alasan AS mengimpor minyak dari Rusia adalah untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya yang sangat besar.
Seruan AS kepada Saudi Arabia dan Uni Arab Emirat untuk meningkatkan jumlah produksi minyak belum, bahkan tidak mendapat respons sampai dengan hari ini.
Cina tetap saja membeli minyak dan gasnya dari Rusia, bahkan sedang mempersiapkan skenario untuk mengurangi pembeliannya dari Timur Tengah, seandainya skenario sanksi ekonomi AS, terutama penghentian pembelian komoditi energi diterapkan oleh negara-negara Uni Eropa.
India sudah menyatakan dengan terang-terangan menyebutkan, bukan hanya persoalan tetap membeli, bahkan membeli dengan lebih banyak lagi jika itu diperlukan.
AS lupa bahwa walaupun India kini sudah berkoalisi dengan AS, Australia, dan Inggris untuk menghadapi Cina di kawasan Indo Pasifik- Samudera India dan Samudra Pasifik, sebagian besar persenjataan India untuk menghadapi Cina masih menggunakan senjata buatan Rusia.
Ketergantungan India kepada Rusia dalam hal persenjataan dan keberlanjutannya bukanlah persoalan biasa.
Ini adalah dilema India yang tak bisa diselesaikan dalam tempo sehari dua walaupun sudah berkongsi dengan AS, dan sekutunya.
Persoaalan geopolitik kini menjadi lebih panjang, rumit, dan sangat melelahkan.
Kini kawan dan lawan menjadi sangat relatif, karena kepentingan nasional menjadi lebih penting, paling kurang dalam jangka pendek.
Keadaan mungkin menjadi lebih runyam, karena Cina membayar minyak Rusia dengan Yuan yang mudah ditukar oleh Rusia di pasar internasional.
Sementara itu India juga mungkin akan menggunakan Rupee atau bahkan Rubel-mata uang Rusia.
Selanjutnya ada beberapa negara kecil seperti Hongaria yang juga membeli minyak dari Rusia dengan mengguakan Rubel.
Semua kejadian itu kini telah mulai menaikan nilai rubel Rusia terutama dalam dua minggu terakhir.
Baca juga: VIDEO Sosok Shaun Pinner, Tentara Inggris yang Ditampilkan di TV Usai Jadi Tawanan Pasukan Rusia
Baca juga: VIDEO - Ini Dia ‘ALIGATOR’ Helikopter Pengintai Milik Rusia Dijamin Target Hancur
Baca juga: VIDEO - Rusia Luncurkan Serangan Massal, 6.824 Tentara Bayaran Bantu Ukraina
Berharap Pada Iran dan Venezuela
Harapan terbesar AS kini sangat tergantung kepada Uni Eropa, dan kemampuan berbaik baik dengan Iran dan Venuezela untuk melepaskan cadangan minyaknya yang selama ini terkena sanksi AS.
Melunaknya AS terhadap Venezuela dan Iran diharapkan akan membuat kedua negara itu mau mengimbangi produksi minyak Rusia.
Kedua negara yang akan dijadikan lagi “kawan” AS setelah dimusuhi sekian lama, mungkin juga tak akan didengar, karena bagi kedua negara itu, AS adalah pihak yang tidak dapat dipegang dan sering meninggalkan mereka, karena definisi kepentingan nasional AS sering berobah, apalagi dengan perobahan pemerintahan.
Kecuali Inggris yang juga produsen minyak bumi, banyak anggota G7 sekutu AS yang masih tergantung dengan Rusia dalam pemenuhan energi.
Pengurangan 8 persen kebutuhan minyak AS dari Rusia tidak berpengaruh banyak untuk Rusia, akan tetapi jika Jerman, Jepang, dan Italia menghentikan pembeliannya, Rusia berpotensi besar untuk kalang kabut.
Persoalannya kini, energi dari mana negara-negara “penurut” AS itu akan diimport untuk menggantikan minyak dan gas Rusia.
Sebagai catatan 40-45 persen kebutuhan gas Uni Eropa masih bergantung pada Rusia, dan dialirkan dengan pipa melalui Ukraina.
Kontrak itu masih tetap berjalan sampai hari ini.
Berbeda dengan gas yang harus jelas pasarnya, dalam hal minyak bumi ada pasar bebas, persis seperti ibu-ibu membeli kebutuhan pokok sehari hari di Pasar Penanyong Banda Aceh.
Sementara itu negara-negara Uni Eropa menggantungkan kebutuhan minyaknya sekitar 2.5 juta barel per hari dari Rusia.
Jepang juga tergantung 11 persen batu baranya dan juga menjadi satu dari lima besar sumber gas alamnya dari Rusia.
Baru saja satu bulan yang lalu sanksi disebutkan, harga minyak dan gas bumi dunia langsung melonjak, dan itu menciderai ekonomi global, terutama para sekutu AS.
Para sekutu gusar, karena AS punya cukup cadangan energi, baik minyak bumi, gas alam, bahkan batu bara.
Di tengah kenaikan harga itu Rusia kini menawarkan discount 20 persen bagi pembelinya, dan itu segera disambar oleh Cina dan India.
Indonesia-melalui Petamina juga mulai berkeinginan untuk membeli minyak bumi Rusia.
Hanya saja yang kita belum tahu apakah akan cukup kuatkah Indonesia menahan “tekanan” AS dengan berbagai jurusnya untuk menekan Indonesia, sebagaimana kokohnya India dan Cina dalam menghadapinya.
Banyak pengamat meragukan ketangguhan Indonesia untuk menghadapi tekanan itu.
Sekalipun sejumlah sanksi lain sudah mulai berdampak, dalam hal minyak bumi dan gas, sampai hari ini pencarian alternatif minyak dan gas bumi untuk menggantikan komoditi Rusia itu belum tuntas, dan uang untuk mesin perang Putin masih tetap mengalir.
Sekalipun semua anggota NATO mengutuk Rusia, mengirim berbagai alat tempur ke Ukraina, menampung pengungsi Ukriana, membela Ukraina dengan berbagai cara, namun mereka masih saja belum bisa melepaskan diri dari ketergantungannya kepada energi Rusia.
Sebuah analisa dan perhitungan terbaru kini menyebukan, jika hal ini terus berjalan, maka sampai dengan akhir tahun ini Rusia akan mendapatkan pemasukan dari ekspor energinya sekitar 320 miliar dolar.
Dan uang itu akan menjadi darah segar keberlanjutan mesin perang Putin di Ukraina.
Apalagi untuk mengurus wilayah Ukraina Timur Selatan yang nyaris sudah hampir selesai dikuasainya.
Ini artinya NATO dan sejumlah negara “sahabat” AS, akan menjadi lawan tak langsung di medan perang Ukraina, namun menjadi “kawan” dalam membayai Rusia untuk melanjutkan perangnya Putin di tempat yang sama.
Di antara kawan AS yang paling “burek” dan “peurancuet” itu adalah Turki.
Edorgan naik perahu AS, mengutuk agresi Rusia di Ukraina, membeli minyak dan gandum Rusia dan kebutuhan lainnya, membiarkan sejumlah miliarder Rusia tinggal di Istanbul, namun juga menjual drone canggih Bayraktar kepada Ukraina yang membuat tentara Rusia kucar kacir.
Uniknya Turki juga menjadi tempat perundingan perang antara Rusia dan Ukraina yang direstui AS.
Ini adalah sebuah ironi, yang mungkin telah dihitung Putin sebelumnya.
Putin tidak memberikan pilihan bagus musuh utamanya AS, Putin hanya memberikan “dilema” bagi AS yang sangat sukar untuk dipecahkan.
Membiarkan Putin mengambil Ukraina jelas kesalahan yang amat fatal.
Membiarkan Rusia menjadi sumber energi sekutunya di Eropa dan sebagian Asia justru lebih bahaya lagi.
Menghadapi itu, AS kini mengeluarkan truf terbarunya.
Banyak pihak sepakat bahwa setiap perang yang dilancarkan oleh Putin dalam menaklukkan sebuah wilayah, baik dalam kawasan pengaruhnya, maupun di luar negeri seperti di Yordania adalah perang yang brutal, sadis, dan sangat mengerikan.
Dan dengan teknologi informasi digital hal itu kini sedang akan diekploitasi oleh AS untuk melemahkan Rusia.
Berbeda dengan kebrutalan AS yang terus menerus mendapat pengawasan berbagai media nasional ataupun internasional, Putin tidak peduli dengan siapapun ketika ia melaksanakan keinginananya.
Aleppo dan Idlib di Suriah adalah contoh nyata kebrutalan peperangan yang dimotori Rusia, yang menimbukan kematian dan penderitaan masyarakat sipil yang luar biasa, padahal mereka tidak berurusan dengan perang.
Kartu AS kini adalah mulai menuduh langsung Putin sebagai penanggung jawab berbagai tindakan kriminal dalam peperangan di Ukraina.
Narasi dan berbagai bukti kini setiap hari ditayangkan oleh berbagai media internasional tentang kekejaman tentara Rusia di berbagai kota di Ukraina.
Peristiwa kota Bucha dengan mayat bergelimpangan, bahkan dengan mutilasi kepada penduduk sipil kini menjadi pekerjaan baru berbagai lembaga internasional untuk mencari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan tentara Rusia.
Mantan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown bahkan kini sedang menginisiasi sebuah kelompok kerja pemuka HAM mancanegara utuk pengadilan HAM internasional Ukraina dengan menjadikan Putin sebagai penjahat perang atas dua alasan.
Alasan pertama adalah agresi terhadap negara berdaulat, dan yang kedua adalah tindakan kriminal terhadap penduduk sipil Ukraina tak berdosa.
Tindakan pembunuhan, penganiayan, perkosaan, dan pengusiran paksa adalah basis yang solid yang kini sedang dikumpulkan dan dibangun untuk membuat Putin berpikir dua kali untuk melakukan tindakan brutal yang menjadi kebiasaannya dalam setiap keterlibatan perang Rusia selama ini.
Untuk mengimbangi itu AS dan sekutunya mempersiapkan berbagai tehnologi canggih untuk digunakan oleh tentara Rusia seperti senjata peluncur bahu Javelin untuk menghadapi tank Rusia, yang selama telah menjukkan keampuhannya.
Disamping itu senjata peluncur bahu Stinger juga semakin banyak dikirim untuk melumpuhkan serangan udara Rusia.
Apalagi bebagai jenis drone AS telah pula dikirimkan yang menjadi salah satu senjata yang sangat sulit ditangani oleh Rusia.
Jumlah bantuan terbaru AS itu saja telah mencapai nilai sekitar 2,6 miliar dolar.
Dengan berbagai senjata canggih bantuan AS, dan dengan hanya penggunaan unit kecil tentara Ukraina itu seringkali membuat pihak Rusia frustrasi dalam berperang.
Itu artinya serangan sporadis skala besar dan berat yang menghancurkan berbagai bangunan, infrastruktur, dan permukiman penduduk sipil menjadi pilihan Rusia yang tak terelakkan.
Selanjutnya kemarahan tentara Rusia akibat pertahanan Ukraina yang canggih itu seringkali dilampiaskan kepada “perang mental” terhadap rakyat sipil dengan berbagai penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan.
Dan kini, dengan berbagai teknologi canggih pemintai dan pemindai, apapun kejadian di atas bumi Ukraina membuat Rusia kesulitan untuk melanjutkan kebrutalannya terhadap rakyat sipil.
Sementara itu AS dan sekutunya bersama pemerintah Ukraina memfasilitasisi akses media ke daerah-daerah yang berbahaya sehingga apapun kejadian di lapangan akan masuk ke setiap Android dan berbagai media internasional hanya dalam hitungan detik atau menit.
Inilah perang narasi baru yang akan sangat menentukan.
Narasi inilah yang akan membuat publik negara maju pengimpor minyak dan gas Rusia yang akan memprotes pemerintahnya, bahkan mungkin dengan resiko membayar ongkos lebih mahal seandainya negara yang bersangkutan membatalkan pembelian energi dari Rusia.
Perang abad ke 21 ini kini telah diinovasi menjadi alat canggih kekuatan orang per orang yang tergabung dalam jejaring digital untuk mendikte kebijakan negaranya, terutama di negara-negara demokrasi.
Persoalannya kini adalah siapa yang paling bertahan.
Jika Rusia cepat dan berhasil menerapkan plan B dengan cepat, Rusia bisa langsung mengajak Ukraina ke meja perundingan, dengan berbagai persyaratan yang mungkin menguntungkan Rusia.
Jika Rusia berlama-lama atau “diperlamakan” oleh strategi AS dan Ukraina, ekonomi Rusia bisa kolaps dan bahkan dapat mengancam pribadi Putin yang kini sedang ditunggu oleh musuh-musuhnya di Rusia, untuk dimakzulkan.
Bahkan Putin, bila gagal dapat dihukum, bahkan dijadikan musuh kolektif masyarakat Rusia dan negara-negara barat layak penjahat perang Jepang dan Nazi pasca Perang Dunia ke II.
Lagi-lagi bagi Putin, semakin cepat menguasai wilayah Timur Selatan semakin baik.
Lagi-lagi bagi AS seberapa cepat seruannya didengar, seberapa cepat pula sumber energi alternatif pengganti Rusia didapatkan.
Seberapa cepat pula AS dapat mempertontonkan kepada dunia kebrutalan Rusia di Ukraina yang membuat Putin layak mendapatkan perlakuan seperti apa yang terjadi terhadap penjahat perang di Jerman dan jepang, setelah sekutu menang dalam perang Dunia II.
Seperti diketahu setelah sekutu memenangkan Perang dunia ada dua pengadilan penjahat perang yang dibuat.
Pertama adalah Pengadilan Nuremberg untuk penjahat perang Nazi, dan yang kedua adalah Pengadilan Tokyo terhadap penjahat perang Asia Timur Jauh, yang ditujukan kepada Perdana Menteri Tojo dan kawan-kawannya.
Kejadian terakhir adalah pengadilan terhadap penjahat perang Bosnia yang melakukan pembersihan etnis muslim pada awal tahun sembilan puluhan.
Pengadilan yang disponsori oleh AS dan sekutunya pada saat itu dilakukan terhadap beberapa petinggi Serbia yang mendapat dukungan dari Rusia.
Radovan Karadžić, Ratko Mladić, dan Slobodab Milosevic diadili di Den Haag oleh pengadilan HAM internsional, dan mereka dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Kini AS dan sekutunya sedang mempersiapkan skenario itu kepada Vladimir Putin.
Tuduhannya tidak main-main. Penjahat perang, sekaligus pejahat kemanusiaan.
Ini adalah sebuah teater perang abad ke 21 dengan segala kemunafikan dan keluhuran kemanusiaan yang sedang digelar oleh kedua negara adi kuasa itu dan para sekutunya.
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI