Berita Banda Aceh

Revisi Qanun Hukum Jinayat Hampir Final, Aceh ‘Perang’ Kekerasan Seksual

Perubahan ini untuk memperkuat qanun dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual yang saat ini sudah sangat mengkhawatirkan

Editor: bakri
FOR SERAMBINEWS.COM

Padahal kejahatan ini bisa digolongkan kepada extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena merusak masa depan anak dan perempuan serta nilai-nilai syariat Islam yang diberlakukan di Aceh.

Dari hasil konsultasi terakhir Komisi I DPRA ke Mahkamah Agung (MA), menyebutkan bahwa Qanun Hukum Jinayat boleh menerapkan hukuman berlapis kepada pelaku.

“Kalau selama ini ada bahasa dalam qanun, pelaku bisa diterapkan hukuman cambuk, denda atau kurungan, ke depan akan diubah dan dipertegas menjadi pelaku akan dihukum cambuk ditambah hukuman penjara dan denda.

Jadi tidak ada lagi kata memilih,” ungkap Darwati.

Untuk diketahui dalam Qanun Hukum Jinayat terdapat sepuluh jarimah yang diatur, yaitu khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (bersepi-sepi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan antara pria dan wanita yang bukan suami istri), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh orang berzina), liwath (homoseks/sodomi), dan musahaqah (lesbi).

Di antara kesepuluh jarimah tersebut, hanya dua jarimah yang berkaitan dengan kekerasan terhadap tubuh orang lain, yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual.

Kesehatan dan Pendidikan

Saat memimpin rapat paripurna pengukuhan dan pelantikan Saiful Bahri alias Pon Yaya sebagai Ketua DPRA sisa masa jabatan 2019-2024, Jumat (13/5/2022) lalu, Safaruddin juga menyampaikan sejumlah catatan penting kepada Pon Yaya, selain persoalan di atas.

Safaruddin mengingatkan bahwa Aceh saat ini juga sedang dihadapkan pada persoalan kesehatan dan isu stunting yang masih menjadi kekhawatiran semua.

Ia mengajak semua pihak untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap permasalahan ini.

"Salah satu solusinya adalah mempertahankan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dan program pemerintah lainnya yang berorientasi kepada upaya peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan," tambah dia.

Kemudian permasalahan lain yang tidak kalah penting, menurut Safaruddin, terkait dengan kualitas pendidikan Aceh dimana masih di bawah rata-rata pendidikan nasional.

Padahal pendidikan merupakan hak dasar warga negara sebagaimana diamanahkan oleh undang-undang.

Di sisi lain, dana otsus yang digelontorkan untuk menanggulangi masalah tersebut cukup besar (minimal 20 %).

"Maka hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi kita bersama demi generasi Aceh yang lebih baik ke depan," sebut putra asli Aceh Barat Daya (Abdya) ini.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved