Breaking News

Kupi Beungoh

Kelalaian Kolektif Dana Otsus Aceh dan Tugas Berat Berikutnya

jumlah total dana otsus definitif yang telah diterima dan digunakan oleh Aceh selama 15 tahun adalah sebesar 95.740 triliun rupiah

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

Bumi berputar, matahari bersinar, tak terasa komiten pemerintah pusat seperti yang termaktub dalam UUPA No 11 tentang Dana Otonomi Khusus Aceh tahap pertama akan berakhir 6 buan lagi.

Seperti yang tertulis dalam legislasi tentang pemerintahan Aceh, sebagai puncak dari perdamaian Gerakan Aceh Merdeka, UUPA No 11 mengatur banyak hal tentang kewenangan dan keuangan.

Dalam hal keuangan Aceh mendapat alokası dana otonomi khusus 2 persen dari setara dan alokasi umum, selama 15 tahun (2008-2022).

Angka itu kemudian berakhir dan dilanjutkan dengan 1 persen dari dan alokasi umum selama 5 tahun ( 2023-2027).

Perhitungan terakhir seperti yang dilaporkan oleh pemerintah daerah baru-baru ini, menyebutkan jumlah total dana otsus definitif yang telah diterima dan digunakan oleh Aceh selama 15 tahun adalah sebesar 95.740 triliun rupiah.

Selanjutnya dengan pertambahan 5 tahun dana otsus 1 persen mulai tahun depan, 2023, sampai dengan 2027, berapakah uang yang akan diterima Aceh dalam jangka waktu itu?

Perhitungan Indikatif yang dibuat oleh pemerintah daerah menunjukkan total penerimaan Aceh dalam 5 tahun ke depan sebesar 31.575 triliun Rupiah.

Tidak ada istilah lain yang dapat digunakan dalam menyambut tahun-tahun yang akan datang, mulai tahun depan, selain dari kata prihatin, sekaligus mengkawatirkan.

Baca juga: Berikhtiarlah Mencegah Penyetopan Dana Otsus

Prihatin, karena secara tiba-tiba, publik akan merasakan dadakan belanja pembangunan Aceh nyaris turun 50 persen.

Uniknya, masyarakat nyaris tidak tahu apa yang akan terjadi dengan keuangan daerah.

Karena memang komunikasi elit formal Aceh dengan masyarakat dalam hal ini nyaris tak pernah terdengar, bahkan ketika 6 bulan dana otsus tahap pertama akan selesai.

Sebenarnya kata tiba-tiba dan mendadak tidak layak digunakan, karena semua pihak tahu jangka waktu penerimaan itu telah diatur, dan tertulis.

Ada semacam kelalaian kolektif “kulit bawang” tentang “kelelapan” tidur para elit daerah tentang akan berakhirnya tahap pertama dana Otsus itu.

Buktinya cukup banyak, namun satu hal yang paling penting untuk dicatat bahwa jangankan persiapan yang matang jauh hari sebelum dana ini berakhir, hampir tidak ada bukti solid kerseriusan elit untuk menghadapi tantangan itu.

Contoh yang paling nyata adalah rencana revisi UUPA yang paling kurang salah satunya tentang revisi dana Otsus- seperti halnya kasus Papua yang telah berhasil diperjuangkan dan menjadi tonggak baru anggaran pembângunan Papua untuk tahun-tahun yang akan datang.

Baca juga: 4 Pulau Hilang, KIA Ladong Mati dan Bualan Aceh Hebat

Kalaulah kelalaian itu dilihat dalam metafora kulit bawang, maka FORBES Aceh, DPRA, dan Eksekutif adalah pihak yang lalai, untuk tidak menyebutkan tidak bertanggung jawab karena gagal mengantisipasi tenggat waktu tahap pertama dana Otsus.

Apakah disadari atau tidak, jangankan sebuah kerja kolaboratif diantara ketiga pihak itu dilakukan, secara individu, kinerja lembaga itu yang mencerminkan keseriusan perjuangan perpanjangan dana Otsus juga belum terwujud.

Ini sangat berbeda dengan dinamika kelahiran UUPA pada tahun awal perdamaian, dimana tidak hanya ketiga lembaga itu yang berjuang, akan tetapi komponen eks GAM, masyarakat sipil, perguruan tinggi, juga terlibat sangat intens.

Pekerjaan kolaboratif itu akhirnya menjadi energi besar bagi FORBES Aceh untuk menggegolkan tidak hanya point dana Otsus, namun juga banyak point-point penting desentralisasi asimetris lainnya untuk pemerintahan Aceh.

Penelusuran digital tentang kesiapan menyambut berakhirnya dana Otsus tahap pertama itu secara serius, nyaris tak dapat ditemui, baik di catatan resmi ketiga lembaga itu maupun di berbagai media cetak.

Teriakan kecil para pengamat dan sejumlah komponen masyarakat sipil-terutama LSM tentang hal itu juga tidak disambut dengan baik. Apa ukuran kelalaian dan kegagalan itu ?

Pertama, sampai dengan pertengahan tahun terakhir dana Otsus tahap pertama, belum ada sebuah draft solid revisi UUPA yang menjadi komitmen ketiga lembaga itu.

Baca juga: Bandara SIM, Pintu Penggerak Ekonomi dan Menjaga Marwah Aceh

Idealnya tidak hanya soal draft revisi UUPA, FORBES juga telah memasukkannya ke rencana Prolegnas 2022 di DPR RI.

Namun, ketika Badan Legislasi DPR-RI menetapkan 40 judul RUU Tahun 2022, agenda Revisi UU Nomor 11 tahun 2006 tentang UUPA tidak tercantum dalam rencana tahunan itu.

Kedua, kegagalan antisipasi legislasi dana Otsus, -revisi UUPA juga tersambut dengan baik dengan ketiadaan rencana “phasing out” anggaran pembangunan Aceh untuk tahun 2023, dan bahkan untuk tahun-tahun berikutnya.

Apakah Aceh boleh optimis bahwa rencana revisi UUPA , katakan untuk perpanjangan 2 persen, atau bahkan seperti layaknya Papua - 2,25 persen akan dipenuhi oleh DPR-RI dan pemerintah?

Apakah Aceh punya cukup alasan untuk perpanjangan dana Otsus 2 persen?

Apakah secara “moral politik” Aceh punya kredibilitas terhadap penggunaan dana Otsus 2 persen untuk 15 tahun pertama?

Apakah dana Otsus yang diberikan telah dipergunakan dengan baik dan benar?

Apakah drama pertengkaran legislatif dan eksekutif Aceh tentang APBA berubah dengan pergantian pemerintahan?

Apakah dana yang diberikan telah sepenuhnya dipergunakan untuk tujuh bidang, seperti amanat UUPA, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Baca juga: Catatan Penting Safaruddin untuk Pon Yaya, Mulai Otsus, Narkoba, Kekerasan Seksual dan Kemiskinan

Apakah dana yang telah disepakati oleh eksekutif dan legislatif setiap tahunnya mampu direalisasikan sepenuhnya setiap tahun oleh pemerintah Aceh.

Terhadap semua keprihatinan itu, akankah ada sebuah “narasi keniscayaan” bahwa DPR RI bersama dengan Pemerintah cukup beralasan untuk mengabulkan perpanjangan dana Otsus, berikut dengan sejumlah point penting revisi UUPA lainnya?

Asumsi ketidakpastiannya harus mengemuka dalam strategi anggaran pembangunan daerah, paling kurang butuh waktu lebih dari setahun untuk memastikan bahwa rencana revisi itu akan diterma.

Disinilah tertangkap kesan bahwa bahwa antisipasi terhadap ketidakpastian tidak ditanggapi.

Kelanjutannya adalah alpanya rencana “phasing out” atau strategi anggaran keluar secara sistematis dan terstruktur dari disrupsi anggaran sekitar 30 persen dari anggaran pembangunan Aceh selama ini.

Pilihan yang tersedia saat ini tidak banyak. FORBES, DPRA, dan eksekutif harus segera bekerja secara lebih kuat untuk menebus kelalaian dan kelemahan yang telah terjadi selama ini.

Konkritnya tantangan di dua front, legsilasi-revisi UUPA dan solusi terhadap disrupsi anggaran tahun 2023 dan mungkin juga tahun-tahun berikutnya harus ditanggapi dengan sangat serius.

Selanjutnya, betapapun pesimisme publik terhadap keberadaan dan kinerja elit formal daerah, keterlibatan publik dalam kerja untuk kedua gugus tantangan itu mesti mendapat perhatian yang besar.

Untuk tantangan pertama, rute perjalanan penyusunan UUPA tahun 2006 layak untuk diulangi dengan berbagai penyesuaian sesuai dengan keadaan saat ini.

Baca juga: Pengelolaan Dana Otsus Harus Fokus

Keterlibatan perguruan tinggi dan masyarakat sipil yang intens, bahkan diaspora Aceh sekalipun sangat perlu.

Hal itu tidak hanya menyangkut dengan penggalian substansi point-point revisi, terutama perpanjangan dana Otsus 2 persen atau lebih.

Namun juga menjadi energi daerah yang dapat dikonversikan untuk mendapat perhatian kekuatan politik nasional, baik di DPR RI maupun pemerintah.

Pekerjaan-pekerjaan formal dalam perdebatan di lembaga legislatif akan lebih lancar jika disertai dengan loby-loby yang intens dengan simpul dan jaringan “kekuasaan” di luar parlemen yang berpengaruh terhadap produk legislasi.

Adagium yang menyebutkan bahwa hal-hal strategis tentang legislasi nasional lebih gampang diselesaikan di luar gedung legislatif daripada di dalam gedung, cukup menjadi alasan tentang pentingnya pendekatan dan perhatian dari pusat-pusat kekuasaan.

Sampai di sini, siapa mengerjakan apa dalam konteks revisi UUPA menjadi sangat penting untuk diperhatikan.

Halaman sejarah relasi Aceh dengan pusat kekuasaan di Jakarta, dalam hal-hal strategis, sangat sering berurusan dengan sejumlah pihak yang berperan sebagai “connector” dan “fixer”, baik orang Aceh, maupun non Aceh.

Kejelian melihat dan memanfaatkan komponen ini tidak kurang pentingnya dari apa yang akan dilakukan oleh FORBES dalam diskusi dan perdebatan di parlemen.

Dalam hal tantangan kedua, apa yang disebut dengan disrupsi anggaran pembangunan Aceh mulai tahun 2023- mudah mudahan hanya satu tahun saja, kehadiran sebuah gugus kelompok kerja lintas lembaga dan individu kunci sangat diperlukan.

Baca juga: DOKA 2023 untuk Kabupaten/Kota Dipotong, Jubir: Dana Otsus Aceh Berkurang Jadi Satu Persen

Pekerjaan utamanya adalah mencari strategi kunci mengatasi disrupsi anggaran pembangunan yang pasti akan memberikan gocangan di tingkat pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.

Akan ada sektor-sektor yang harus dinomorduakan, bahkan dinomortigakan, yang di dalam kenyataanya sesuatu yang gampang diucapkan, namun sangat sukar untuk dilaksanakan.

Kemampuan berinovasi dengan berbagai gagasan untuk mencari sumber pembiayaan pembangunan dari pemerintah pusat tentu saja sangat terbuka lebar.

Sifat “malas” Aceh mengurus proyek-proyek APBN, seperti yang terjadi selama sudah saatnya dihentikan secara total.

Kelompok kerja antar lembaga dan individu kunci untuk memikirkan strategi, dan bahkan loby-loby intens dengan pihak-pihak terkait di tingkat nasional mutlak diperlukan.

Tantangan kali ini tidak mudah, karena membutuhkan pikiran-pikiran cerdas yang disertai dengan komitmen yang tinggi.

Disamping itu, kemampuan membaca “psikologi nasional” tentang Aceh yang sangat berbeda dari tahun 2006 juga menjadi sangat penting untuk diperhatikan.

Baca juga: Abusyik Protes Pemotongan DOKA, Minta Gubernur Aceh Kaji Ulang

Harus diakui berbagai isu tentang Aceh pada tahun 2006 sangat “sexy” secara politik, sehingga “banyak tangan” yang membantu.

Keadaan itu kini telah berubah. Harus diakui ada sindrom “Aceh fatigue” -lelah Aceh, di kalangan elit nasional tentang Aceh, karena kelakuan Aceh selama 15 tahun terakhir.

Kita tidak boleh menyerah sekalipun mereka lelah, karena kalau kita menyerah, Aceh dan bahkan pemerintah pusat pun akan mengalami masa depan yang sangat sulit untuk dibayangkan.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Baca juga: 20 Persen DOKA Dipotong untuk JKA, Daerah Semakin Sulit Berkembang

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved