Kisah Rahmah, Ketua Koperasi Ketiara, dari Kopi Gayo Gelondong sampai Ekspor ke Luar Negeri
Kisah Rahmah dan Koperasi Pedagang Kopi (Kopepi) Ketiara, mulai dari jual beli kopi gelondong hingga ekspor ke luar negeri dengan omzet 100 Rp miliar
Penulis: Sara Masroni | Editor: Amirullah
Seiring berjalannya waktu, Rahmah bersama anggota Koperasi Ketiara mulai merasakan buah manis dari kerja keras mereka.
Setiap tahun pihaknya kini sudah mengirim sekitar 65 kontainer, yang satu kontainernya mencapai senilai Rp 1,6 miliar.
Jika ditotal, berarti omzet yang didapat sekitar Rp 100 miliar per tahun atau rata-rata Rp 8,3 miliar per bulan di Koperasi Ketiara.
Baca juga: Kisah Firman, Co-Founder Startup Asal Aceh Raih Omzet Miliaran, Dulu Hampir Tewas Diterjang Tsunami
Menjaga Kopi Tak Terkontaminasi Pestisida
Rahmah bercerita, setiap tahunnya para buyer datang ke tempatnya di Bebesen, Takengon.
Kecuali pada masa pandemi Covid-19 dalam beberapa tahun terakhir, para buyer tidak bisa berkunjung langsung karena adanya lockdown di sejumlah negara.
Dulu saat masih dibolehkan berkunjungan, buyer bahkan sempat membantu pendanaan pembuatan jalan rabat beton untuk memudahkan para petani membawa hasil panennya.
"Mereka kasihan melihat langsung para petani menurunkan kopi dari atas gunung, buyer ikut bantu pendanaan buat jalan," ungkapnya.
Kebaikan para buyer sejak pertama ekspor dulu dan berangkat-berangkat ke luar negeri, Rahmah bersama suami pun membuatkan bangunan semacam guest house di sekitar tempat produksi kopi.
Tempat ini tidak diperuntukkan kepada umum, melainkan untuk para buyer yang datang dan diberikan secara gratis untuk bermalam atau menginap di sana.
"Karena saya selalu dilayani dengan baik saat ke luar negeri, diberi tempat gratis dan sebagainya. Makanya suami bilang, kita bangun saja sebagai ucapan terima kasih," ungkap Rahmah.
"Dan ini sudah tiga tahun mereka menikmati, gratis," tambahnya.
Dalam menjaga kualitas kopi, ia selalu menyosialisasikan ke desa-desa agar para petani kopi tetap menjaga tanaman berkafein itu supaya tidak terkontaminasi oleh bahan kimia.
Para petani tak henti-hentinya selalu disosialisasikan agar tidak menyemprot tanaman kopi dengan pestisida dan mempertahankan penggunaan pupuk organik.
Petani kopi khususnya yang tergabung di Koperasi Ketiara diminta untuk memetik kopi yang sudah merah, kemudian langsung digiling di sore harinya.
Setelah itu para petani diminta untuk memfermentasi kopi selama semalaman, lalu langsung menjemurnya serta berbagai proses yang dilewati secara ketat hingga sampai branding dan pengiriman ke para buyer.
"Kopi harus tidur satu malam, biar setelah bland dari desa-desa, bisa satu rasa. Itu salah satu rahasia sebenarnya di sini," kata Rahmah.
Langkah-langkah ini dilakukan secara rapi untuk menjaga kualitas kopi yang dihasilkan.
"Ini dilakukan agar mereka (para petani) sehat dan pembeli (buyer) juga sehat," tambahnya.
Baca juga: Kisah Jusuf Hamka, Bos Tol Senilai Rp 15,5 Triliun, Dulu Pernah Ngasong dan Ingin Jadi Tukang Parkir
Pihaknya di Koperasi Ketiara punya tugas masing-masing, seperti kepala gudang, bagian kualitas, bagian lab dan sebagainya, semua sudah komplet di sana untuk menjaga kualitas kopi yang diterima buyer.
Hingga kini, koperasi tersebut terus beroperasi menghidupi banyak petani kopi di dataran tinggi Gayo, dan menjadi penyambung usaha mereka untuk sampai kepada para buyer di luar negeri.
Dari yang dulunya kios-kios kecil, kini tempat produksi Koperasi Ketiara berdiri di tanah seluas sekitar 1 hektare di Takengon, Aceh Tengah.
Menghasilkan omzet Rp 100 miliar per tahun, kisah Rahmah bukanlah sesuatu yang instan.
Ia mengawali semuanya dari jual beli gelondongan kopi, sampai akhirnya ekspor ke sejumlah negara di belahan dunia.
Rahmah menjadi salah satu promotor penggerak perekonomian di tanah Gayo.
"Koperasi ini bukan milik Rahmah, tapi milik bersama," ucapnya dalam wawancara pagi jelang siang itu bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network dan Pemred Serambi Indonesia.
Semoga menginspirasi!
(Serambinews.com/Sara Masroni)