Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun
Pygmalion Mughayatsyah tidak berakhir dengan kematiannya, akan tetapi terus berlanjut berabad-abad kemudian.
Pygmalion Mughayatsyah berlanjut pada keturunannya dan raja-raja berikutnya.
Rentang waktu itu menjadi bukti betapa Mughayatsyah jenius dan sangat cakap dalam membentuk kerangka besar kerajaan Aceh dalam permainan geo-politik yang bertahan cukup lama.
Kecuali Portugis, eksistensi Kerajaan Aceh dalam pergumulan dengan bangsa-bangsa Eropa unik, karena Aceh seakan menjadi kawasan “strategic ambiguity”- ambiguitas strategis, terutama oleh Inggris.
Aceh tetap saja tidak diperangi, dan tidak dipaksa untuk berperang melawan mereka.
Bagi penjajah bangsa Eropa, keamanan selat Malaka sangat mutlak untuk keperluan perdagangan dan penjajahan kawasan lain di Nusantara.
Keamanan Selat Malaka tentu saja sangat tergantung kepada keamanan dan kesediaan Aceh untuk tidak menyerang kegiatan bangsa-bangsa itu.
Traktat London pada tahun 1824 antara Inggris dan Belanda tidak memberi ruang kepada Belanda untuk menyerang kerajaan Aceh.
Menggunakan kosa kata geo strategi kontemporer, seolah interaksi kerajaan Aceh dengan tiga kekuatan bangsa Eropa pada masa itu tak ubahnya seperti koeksistensi yang saling menguntungkan.
Menggunakan terminologi perang dingin abad ke 20 antara AS dan Rusia seolah apa yang terjadi lebih dari 300 tahun yang lalu itu sebagai sebuah “detente” -penghentian ketegangan antara pihak yang sangat berpeluang untuk saling menyerang.
Resiko perang diminimilasir sedemikian rupa secara sangat dinamis, karena jika hal itu terjadi, tidak ada pihak yang diuntungkan.
Aceh menjadi variabel penting keamanan wilayah yang membuat perdagangan di kawasan Asia Tenggara dapat berjalan dengan baik.
Hal itu menguntungkan semua pemangku kepentingan-utamanya Inggris, Belanda, dan sampai tingat tertentu, Perancis.
Memang benar dalam perjalanan sejarah, Inggris tetap saja berupaya membuat perangkap terhadap Aceh, namun tidak berhasil.
Detente itu kemudian berobah dengan Traktat Sumatera, ketika terjadi barter wilayah kekuasaan antara Belanda dan Inggris.
Kepentingan strategis Inggris berubah dengan berpindahnya pusat ekonomi kawasan ke Singapura.