Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun

Pygmalion Mughayatsyah tidak berakhir dengan kematiannya, akan tetapi terus berlanjut berabad-abad kemudian.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Inggris sengaja membiarkan Aceh diperangi oleh Belanda, karena beberapa hal, terutama karena Aceh yang semakin lemah.

Pertengkaran yang tak pernah berhenti, baik di pusat kerajaan, maupun di berbagai wilayah kekuasaan semakin membuat Aceh berpotensi menjadi kawasan yang tidak aman.

Inggris juga menjadi jengkel dengan kehadiran Perancis dan AS, dan Italia di Aceh, Seiring dengan konsentrasi perdagangan Inggris yang lebih besar di Singapore dan penguasaan Myanmar, dan semakin maraknya praktek penjajahan Prancis di Indo Cina-, akhirnya jaminan keamanan Inggris untuk Aceh dilepas dengan Traktat Sumatera pada tahun 1871.

Belanda lega dengan perjanjian itu, dan akhirnya Aceh diserang pada  tahun 1873.

Untuk pertama kali dalam sejarah Aceh, bangsa Eropa datang dengan pengumuman perang yang membahana dan berlangsung di tanah Aceh.

Bangunan besar kerajaan Aceh “made in” Mughayatsyah mulai berhadapan dengan Belanda.

Harus diakui, Ali Mughayatsyah tidak hanya seorang pendiri kerajaan Aceh biasa.

Ia adalah seorang jenderal besar, negarawan, dan pemikir yang mempunyai kemampuan membaca arus besar peroraban zaman.

Kecuali kerajaan Siam, Aceh di bawah Mughayatsyah berjalan jauh di depan  kerajaan manapun di kawasan Melayu-Nusantara.

Pygmalionnya terus mengalami pasang surut sampai 235 tahun.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved